Klikhijau.com – Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung menggelar sejumlah kegiatan di Hotel Harper Makassar. Kegiatan ini terselenggara atas dukungan mitranya: Fauna & Flora Indonesian Programme. Salah satu kegiatannya adalah bedah buku, karya petugas lapangan mereka. Buku yang baru dirilis akhir tahun lalu.
Pada hari pertama, Selasa, 4 Februari 2025, berlangsung deseminasi hasil penelitian dan bedah buku. Membedah buku “Burung Endemik Sulawesi: Kisah Temu di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung“.
Dua orang penulis menjadi perwakilan, memaparkan bukunya di hadapan sejumlah undangan. Undangan yang berasal dari beberapa instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan akademisi. Setidaknya ada sekitar 30 peserta yang hadir.
Tak hanya itu sejumlah peserta daring juga masih antusias, menunggu sesi pembahasan buku karya staf taman nasional itu.
Yusuf Liling, Widyaiswara Balai Pelatihan Kehutanan Makassar menjadi moderator. Memandunya jalan bedah buku.
Pada sesi pertama, Taufiq Ismail dan Ramli, penulis buku, memaparkan materi tentang isi buku mereka. Taufiq menjadi pembicara pertama. Menyajikan proses pembuatan buku. Merunutkan tata waktu pembuatan, sumber ide, kronologi penulisan, hingga kendala yang mereka hadapi selama menulis.
“Kami berlima menulis buku ini: Kamajaya, Ramli, Muasril, Hendra, dan saya. Menyatukan persepsi itu tidaklah mudah. Namun kerendahan hati tim yang terlibat membuat komunikasi lebih mudah dalam pengambilan setiap keputusan,” tutur Taufiq Ismail dalam materinya.
Pada paparannya, Taufiq menyampaikan bahwa kelima penulis memiliki hobi memotret burung, namun koleksi mereka terbatas karenanya mereka sepakat untuk berkolaborasi. Berkolaborasi untuk ciptakan suatu karya.
Memotret perjumpaan penulis
Apa yang menarik dari buku ini? Selain karena spesies burungnya yang endemik. Berisi 30 spesies burung yang hanya dijumpai di Sulawesi, bahkan beberapa spesies hanya bisa dijumpai di Makasar dan sekitarnya.
Selain itu, ada sebelas cerita populer yang tersaji. Mendendangkan kisah perjumpaan penulis dengan si burung endemik di alam. Menjadi pembeda dengan buku sejenisnya.
Tulisan dalam buku ini seolah membawa pembaca berada di hutan belantara. Mengendap, bersembunyi, dan kamera betele panjang menjadi senjata. Nampaknya begitu seru.
Taufiq kemudian menutup presentasinya dengan menampilkan setiap lembar buku dengan video pendek berdurasi dua menit. Peserta kemudian bertepuk tangan di akhir presentasi.
Moderator kemudian menyilakan pembahas memberikan penilaian atas bukunya. Riza Marlon, Fotografer Satwa Liar sebagai Penanggap, kemudian memberi komentar. Ia hadir melalui Zoom Meeting. Jarak tak menghalangi hikmatnya prosesi bedah buku ini. Ada teknologi yang memudahkannya.
“Saya apresiasi tim penulis. Mereka telah mampu berkarya. Buku yang bagus adalah buku yang jadi. Saya juga salut sama mereka karena keterbatasan yang dimiliki, mereka mampu mengatasinya dengan berkolaborasi,” ungkap Riza Marlon.
Tak cukup sampai di sana. Bang Caca, sapaan akrabnya terus memotivasi dan memberikan masukan atas buku satwa itu. Menjadi bahan perbaikan untuk penulisan buku berikutnya.
“Untuk penulisan buku burung atau satwa lain, kita butuh editor foto dan kurator foto. Editor foto bertugas mengatur rona warna desain terutama dalam proses cetak. Kurator foto sendri memiliki tugas untuk memilih foto yang layak masuk di buku,” tambah Bang Caca.
Beberapa peserta kemudian mengajukan pertanyaan untuk mengkonfirmasi isi buku. Memberi masukan dan saran. Salah satu di antaranya menyarankan untuk mendaftarkan bukunya sebagai hak cipta.
“Salut sama tim penulis atas kegigihannya menulis buku burung ini. Saya sudah baca beberapa artikel. Saat membaca artikel tentang julang sulawesi, saya seolah terbawa pada suasana petualangan penulis. Seolah-olah saya berada di hutan sedang memotret si julang. Tulisan story telling-nya membangkitkan imajinasi saya,” ujar Khalid, Anggota Balla Konservasi.
Begitulah buku, melalui untaian narasinya, mampu membawa pembaca menerawang. Menciptakan imajinasi yang berbeda pada setiap pembacanya. Menjadikannya melambat di tengah gempuran teknologi yang hasilkan informasi pendek yang massif dan instan.
Pada akhir sesi Yusuf Liling kemudian memberikan kesempatan kepada kepala balai taman nasional memberikan tanggapan atas bedah buku itu.
“Tugas saya sebenarnya sebagai provokator bagi teman-teman. Provokator dalam artian positif ya. Membangkitkan semangat teman-teman fungsional untuk menghasilkan karya inovatif, salah satunya melalui buku,” ucap Heri Wibowo, Kepala Balai Taman Nasional.