- Melihat Rombongan Sampah Melintasi Kanal Kota Makassar di Musim Hujan - 28/11/2024
- Bagaimana Tanaman Mendengarkan Kita? - 21/04/2024
- Defisit Narasi Lingkungan dalam Politik Lokal di Indonesia - 28/12/2023
Klikhijau.com – Hujan di awal November akhirnya datang juga. Dimulai dari rerintih yang tipis, malu-malu. Bagi warga Kota Makassar, hujan kali ini ibarat tamu yang datang terlambat.
Berbulan-bulan, panas memanggang kota dengan terik menukik tiada terkira. Kerinduan akan hujan, membuat Halimah (45), seorang ibu rumah tangga tampak kegirangan. Lewat story Whatsapp miliknya ia menulis: “Alhamdulillah akhirnya hujanmi!”
Kegembiraan Halimah seolah mewakili perasaan jutaan warga Makassar yang telah lama berharap hujan. Kota memang sudah terlampau lama gerah. Tanaman hias mati berjamaah. Kipas angin banyak yang rusak di rumah-rumah warga karena harus kerja keras berputar nyaris dua puluh empat jam setiap harinya. Tagihan listrik naik. Dan kabar paling menghentak tentu saja karena kriminalitas meningkat—itu terlihat dari berita-berita viral yang tayang melalui sosial media dan media mainstream. Dari kasus pembunuhan, bunuh diri, tabrak lari hingga perkelahian di jalan raya.
“Semakin banyak kriminalitas aneh-aneh di makassar kak. Banyak tindak kekerasan di luar nalar. Mungkin karena panas kota ini!” cerita Isal (Nama samaran), seorang wartawan isu kriminal satu portal ternama di Makassar.
Dalam Bahasa Makassar, panas dinamai bambang. Kondisi panas membuat emosi gampang meledak-ledak. Orang Makassar menyebutnya “pabbambangan na tolo”: emosional dan bodoh. Frase ini juga diambil dari kata “panas” atau “bambang”. Sebuah idiom yang menggambarkan sikap seseorang yang temperamental. Gampang terhasut dan tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan dari tindakannya. Idiom ini sering diidentikkan dengan oknum orang Makassar yang bertingkah terlampau emosional dan barbar.
“Bambangna alloa de’ehh….tena kucoco’” begitu ujaran seorang lelaki kemayu yang marah mengutuk cuaca panas yang kemudian ditirukan banyak orang di sosial media. Musim panas yang terlalu lama membuat banyak orang kehilangan akal sehat. Maka hujan yang mengguyur di awal November ibarat lembaran baru bagi warga Makassar. Air yang mengalir dari langit tidak saja membasahi ibu pertiwi, tetapi juga mendinginkan otak yang bambang.
Hujan simalakama
Wajarlah bila hujan membuat banyak warga kegirangan. Tidak terkecuali anak-anak.
Pemandangan itu terlihat di area kanal PDAM Makassar yang membelah jalan Abdullah Daeng Sirua. Pada air di kanal yang berkelimpahan kecoklatan, anak-anak berenang-renang seperti ikan raksasa. Semua merayakan sensasi hujan.
Seperti lagu “November rain” yang dipopulerkan “guns and roses”, orang-orang Makassar meyakini bahwa hujan sudah pasti akan turun di November. Mengapa? Sebab inilah bulan yang berakhiran ere (air dalam Bahasa Makassar). Nenek moyang di Makassar menyebutnya Novembere. Meski sejatinya, orang-orang Bugis-Makassar sejak dahulu menyakini bahwa hujan akan dimulai pada Oktobere—keyakinan ini sekaligus dijadikan petunjuk bagi para petani dalam kalender musim tanam.
Beberapa hari setelah hujan seperti melakukan pemanasan, tetiba datang sekali waktu hujan yang cukup lebat. Inilah hujan yang sebenarnya. Bumi seperti disiram berkontainer air tanpa henti. Durasinya kira-kira tak lebih dari satu jam. Sore di suatu Jumat yang keramat. Langit Makassar pekat menghitam. Curah hujan sangat tinggi berbulir-bulir besar seperti kelereng. Dalam sekejap, kota Makassar kebanjiran di beberapa titik. Dua jalan protokol kebanjiran cukup parah yakni di Jalan Pettarani dan Urip Sumahardjo. Tepat di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan, jalanan menjelma tambak. Lalu lintas melambat. Kemacetan pun tidak terhindarkan karena bertepatan dengan jam pulang kantor. Belasan pohon tumbang karena hujan dimulai dengan angin kencang.
Malapetaka setelah hujan lebat memang sangat terasa di Kota Makassar. Di sosial media, warga kota sangat rajin melaporkan kondisi rumah, kompleks perumahan atau perkampungan bahkan jalan banjir yang dilewati saat pulang kerja. Genangan! Yah, genangan ada dimana-mana. Lelucon ini belakangan paling hits di kota Makassar setiap kali air meluber mengairi lorong-lorong dan rumah-rumah. Istilah “genangan” pertama kali dipopulerkan oleh Walikota Makassar Danny Pomanto yang seolah tidak sepakat dengan fakta bahwa Kota Daeng kebanjiran.
Walhasil, selera humor orang Makassar sedikit bangkit dengan istilah “genangan”—jadi, setiap banjir datang di kota Daeng, sebut saja ia “genangan” bukan banjir agar kita bisa tertawa. Ahhhay. Genanganji!
Hujan memang seperti buah simalakama. Di balik kegembiraan menyambutnya, ada kecemasan menghantui di sisi lainya. Pertama tentu “genangan”, kemacetan, penyakit musiman, hingga kecelakaan lalulintas adalah langganan musiman yang menyertai musim hujan. Satu lagi, sampah yang bergentayangan. Sampah seperti tahanan yang dibebaskan hujan.
Rombongan sampah menuju laut lepas
Di sebuah kanal yang membelah Kecamatan Manggala dan Panakkukang, airnya pasang saat hujan lebat di awal November. Kanal ini menampung jejak ratusan mulut selokan yang memuntahkan airnya. Selokan itu seolah membawa gono-gini berupah sampah-sampah. Didominasi plastik segala jenis dan potongan kayu. Tak ketinggalan sampah popok dan Styrofoam.
Rombongan sampah itu akhirnya berjumpa di kanal. Menumpuk tidak beraturan memperlambat aliran air yang tampak kotor, kecoklatan.
Pemandangan itu memantik saya menepi dari kendaraan. Persis ketika hujan tidaklagi selebat dua-tiga jam sebelumnya. Saya mengamati saksama. Memotret dari berbagai sudut. Kepala saya menggeleng secara alami. Inilah pemandangan paling menyebalkan yang tidak ingin saya tongkrongi lama-lama.
Rasa sedih bercampur marah menggumpal di dada. Terutama karena saya sadar betul bahwa sampah-sampah itu datangnya dari manusia. Manusia yang berpikir bahwa sampah yang dibuang menjauh dari dirinya tidak ada sangkutpautnya lagi dengan hidupnya. Mereka yang mengira tempat sampah terbaik adalah bumi di luar dari lingkaran rumahnya.
Tidak terhitung berapa ton sampah bergerak lambat menuju laut lepas hari itu. Rombongan massal yang seperti tiada habisnya. Dari kejauhan pemandangan ini menyerupai lukisan abstrak yang menggambarkan runtuhnya etika lingkungan warga kota.
Lalu, apa pedulinya bagi mereka yang melihatnya? Para pengguna jalan sebagian besarnya tidak mau ambil pusing. Mungkin karena sudah lazim dan akrab dengan sampah-sampah yang memenuhi got-got di mana-mana. Atau mungkin karena situasi demikian sudah biasa terjadi saat musim hujan tiba.
Jangan-jangan warga kota sudah malas memikirkan perkara sampah yang berpuluh tahun tidak bisa diselesaikan para pengambil kebijakan. Sudahlah, saya bergegas pulang dan terus mengamati pemandangan itu dari kejauhan. Entah bagaimana situasinya saat rombongan sampah itu memasuki laut lepas?
Sesampai di rumah, story whatsapp Halimah menyita perhatian saya lagi. Kini, ia sedang mengumpat sampah-sampah yang menyumbat selokan di depan rumahnya. “Wattunnami lagi mengurusi sampah jalanan, ana’ sundala! Tulisnya yang membuat saya tertawa ringan.