Melihat Perjuangan Masyarakat Adat Indonesia dalam 75 Tahun Kemerdekaan

oleh -379 kali dilihat
Melihat Perjuangan Masyarakat Adat Indonesia dalam 75 Tahun Kemerdekaan
Ilustrasi - Foto/Antaranews

Klikhijau.com – Buku-buku sejarah dan buku sekolah nyaris tidak ada yang menuliskan peran masyarakat adat dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia melawan kolonialisme.

Padahal, tak dapat dimungkiri kalau sebenarnya, mereka telah berjuang bersama dengan gerakan Pemuda untuk membentuk NKRI. Identitas mereka kalah pamor ketimbang peran para elit pemuda yang terdidik.

Rendahnya representasi dan tidak adanya pengakuan ini menjadi bukti bahwa marginalisasi masyarakat adat masih saja berlanjut hingga sekarang, hingga Indonesia merdeka 75 tahun lamanya.

Padahal, pengetahuan tradisional dan cara hidup Masyarakat Adat adalah kekuatan penting, yang bahkan bisa bertahan terhadap pandemi covid-19 yang sedang melanda dunia. Mereka juga garda terdepan penjaga hutan dan lingkungan dari generasi ke generasi.

Namun, faktanya sampai sekarang mereka juga berjuang melawan stigma dan menghadapi tekanan-tekanan di negara sendiri.

Masyarakat Adat, yang berjumlah sekira  20 juta dari 268 juta penduduk Indonesia, kerap mendapatkan pandangan negatif sebagai masyarakat primitif, bodoh, tertinggal, dan kotor.

Komunitas Adat juga menghadapi represi dan preassuer akibat pilihan ekonomi pemerintah yang membuat mereka kehilangan hutan adat atau tanah ulayat demi investasi sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan skala besar.

Masyarakat adat sang penjaga hutan

Masyarakat Adat memiliki peran yang penting dalam melindungi hutan dan lingkungan bagi Indonesia.

Antropolog Sophie Chao, dalam risetnya mengenai Masyarakat Adat Marind-Anim di kabupaten Merauke di Papua, mengatakan mereka merawat hutan, menghormati semua tanaman dan hewan, dan memelihara hubungan dengan alam.

Di bawah pemerintahan presiden Soekarno, komunitas Adat mendapatkan pengakuan melalui UU nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Peraturan ini mengakui keberadaan hutan adat sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara.

Ketika Soeharto mengambil tampuk pemerintahan di tahun 1966, ada penghancuran sistematis pada lembaga-lembaga adat melalui penyeragaman institusi desa, perampasan wilayah-wilayah adat melalui penetapan kawasan hutan dan pemberian izin kehutanan, pertambangan dan perkebunan-perkebunan berskala besar.

Singkat cerita, perubahan terhadap masyarakat adat terjadi sejak lengsernya orba.

Sejak desentralisasi tahun 2001, para kepala daerah (bupati dan gubernur) berhak mengeluarkan ijin di atas kawasan hutan, termasuk Hutan Adat. Hal ini lebih banyak dilakukan tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat.

Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945, yang berlaku pada tahun 2000, akhirnya mengakui “kekayaan budaya tradisional” dan “nilai-nilai budaya” dari Masyarakat Adat, hal ini termaktub dalam pasal 18b Ayat 2.

Landasan inilah yang kemudian menjadi dasar hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan Hutan Adat sebagai hutan negara di tahun 2012.

Namun semakin ke sini, konstitusi itu seperti dicederai karena komunitas adat semakin tak mendapat haknya dan mengalami yang Namanya bentuk lain dari kolonialisme.

Padahal, dengan kearifan lokalnya, komunitas adat-lah yang paling dekat dengan alam. Mereka menjaga dengan baik hutan adat dan tidak mengeksploitasi sumber daya alamnya.

Mereka yang terkena dampak modernisasi dan kebijakan pemerintah tak mendapat fasilitas kesahatan dan pendidikan, rentan terkena represi, bahkan kehilangan pekerjaan.

Nyatanya bisa dilihat saat kondisi pandemi seperti ini. Mereka beraktivitas seperti biasanya, mempraktikkan pengetahuan-pengetahuan tradisionalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di saat masyarakat lainnya kelimpungan ke sana-ke mari di tengah ketidakpastian.

Mereka sangat gigih dan bertahan tatkala melawan stigmasisasi yang selama ini menghantam mereka, menghadapi ancaman-ancaman serius terhadap lahan dan cara hidup mereka.

75 tahun bukan waktu yang sebentar. Cukup kiranya laku kolonial terhadap komunitas adat. Sudah seyogianya tak ada lagi stigmatisasi dan diskriminasi kepada masyarakat adat hanya karena perbedaan rasial dan cara hidup.

Aspirasi dan harapan masyarakat adat perlu didengar, dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan negara. Hak-hak atas lahan dan hak hidup mereka mesti terjamin, supaya kesetaraan tercipta.