Klikhijau.com – Aksi Draw The Line yang digelar di Desa Darubiah, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba menjadi panggung perlawanan terhadap rencana pembangunan industri petrokimia di kawasan hutan Kelurahan Tanah Lemo. Melalui pemutaran film, diskusi tematik, dan pertunjukan seni perlawanan, masyarakat menyuarakan penolakan terhadap proyek yang dinilai mengancam ekosistem, kesehatan, dan masa depan pariwisata berkelanjutan di Bulukumba.
Aktivis lingkungan dan relawan Kolaborasi Biru, Anjar, menegaskan bahwa investasi petrokimia bukan sekadar pabrik pupuk, melainkan mencakup produksi urea, amonia, dan kilang minyak yang bergantung pada energi fosil seperti gas alam dan minyak bumi. Pembangunan infrastruktur energi fosil baru bertentangan dengan arah transisi energi global menuju sumber terbarukan dan ekonomi hijau.
“Carbon Capture and Storage (CCS) hanya menjadi tameng hijau untuk melanjutkan eksploitasi bahan bakar fosil tanpa mengurangi emisi secara nyata. Ini adalah langkah mundur yang mengabaikan masa depan generasi mendatang,” tegasnya.
Kekhawatiran juga datang dari masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada laut dan pariwisata. Tokoh masyarakat Darubiah, Sukardi, menyampaikan bahwa industri pariwisata telah tumbuh sejak 1990 dan menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Ia juga menyesalkan minimnya pelibatan masyarakat dalam perencanaan proyek tersebut.
“Kehadiran pabrik ini bisa membunuh pariwisata, bukan hanya di Bira, tapi juga di Pantai Lemo-lemo dan wilayah lain di Bontobahari,” ungkapnya.
Perwakilan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Bulukumba, Awal, menyatakan bahwa aksi ini tidak berhenti di ruang diskusi. Rencana investasi petrokimia di Bulukumba menjadi isu ekslusif bagi masyarakat. Bahkan yang berada di Kelurahan Tanah Lemo sendiri masih banyak yang tidak tahu dengan adanya penandatangan MoU oleh Bupati Bulukumba dengan investor terkait Petrokimia yang merupakan pabrik yang pernah beoperasi di Tabangao, Filifina.
“Kami bersama masyarakat siap melakukan penolakan aktif, termasuk menyuarakan hak atas lahan dalam aksi Hari Tani Nasional pada 24 September,” katanya.
Diskusi juga menghadirkan Ayunia Muis dari Torobulu Melawan, yang membagikan pengalaman komunitasnya menghadapi janji manis pemerintah soal lapangan kerja. Menurutnya waktu berlawan terbaik sebelum industri mengantongi AMDAL, setelahnya masyarakat yang berlawan akan semakin kesulitan.
“Tanpa industri pun, masyarakat bisa hidup lebih baik. Jangan gadaikan masa depan demi investasi yang merusak,” ujarnya.
Aksi Draw The Line Bulukumba menjadi penanda bahwa masyarakat tidak diam. Mereka sedang menggambar garis tegas: menolak eksploitasi, menuntut partisipasi, dan memilih masa depan yang berpihak pada laut, hutan, dan anak-anak mereka.