DWF Desak Pemerintah Batalkan PP Perihal Pengelolaan Sedimentasi Laut, Ini Alasannya!

oleh -164 kali dilihat
DWF Desak Pemerintah Batalkan PP Perihal Pengelolaan Sedimentasi Laut, Ini Alasannya!
Ilustrasi pantai - Foto: Ist

Klikhijau.com – Destructive Fishing Watch (DWF) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Pencabutan ini didasari karena landasan, latar belakang, kebutuhan, dampak dan tujuan penerbitan PP ini tidak memenuhi aspek dan kaidah hukum, kebijakan publik, pertimbangan dan dampak lingkungan, ekologi, sosial, dan ekonomi.

Hal itu disampaikan DWF Indonesia yang dikirim oleh Mohamad Abdi Suhufan, Koordinator Nasional DWF Indonesia pada 2 Juni 2023.

Seperti diketahui pada 15 Mei 2023, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Sedimentasi laut.

Peneribitan Peraturan Pemerintah ini diduga kuat menjadi landasan bagi Pemerintah untuk membuka keran penambangan dan ekspor pasir laut yang sudah dihentikan sejak tahun 2003.

KLIK INI:  Memanen Hikmah dari Sehimpun Peribahasa tentang Laut beserta Maknanya

Ini alasannya

Penerbitan PP 26/2023 oleh DWF Indonesia dinilai merupakan salah satu praktik pembentukan kebijakan yang tidak bijak atau Imprudent Policy. Pernyataan ini didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :

  • Rapuhnya Landasan Penyusunan PP 26/2023

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa sebuah peraturan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang “diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” dan “dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Dalam konsideran PP 26/2023 disebutkan selain pasal 5 ayat 2 UUD 1945, satu-satunya rujukan PP adalah UU No. 32/2014 tentang Merujuk pada berbagai konsiderans tersebut, tidak ada satupun diantaranya yang memerintahkan penerbitan peraturan pemerintah untuk melakukan peningkatan kesehatan laut dengan cara-cara yang merusak lingkungan.

Jika ditelaah lebih jauh dalam Pasal 27 Undang-undang No 32/2014 tentang Kelautan, untuk mengelola ekosistem pesisir dan laut yang ditujukan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan.

Sedangkan PP yang secara spesifik mengatur soal Hasil Sedimentasi Laut bukanlah kebutuhan dalam upaya memulihkan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kebijakan ini dibuat tanpa prinsip dasar dan tujuan yang jelas bagi lingkungan dan ekosisitem laut.

KLIK INI:  Peneliti Temukan Karang di Hawai Tangguh di Laut yang Lebih Hangat
  • Kebijakan Tanpa Data Dukung dan Kajian Teknis

Selain berdasarkan pada perintah undang-undang, pembentukan Peraturan Pemerintah haruslah didasarkan pada tahapan kajian yang lengkap dan Namun, hingga saat ini publik tidak dapat mengakses laporan, dokumentasi kajian, notulensi dan bukti ilmiah (kajian akademis) yang menggambarkan proses dan hasil yang memuat justifikasi hukum, sosial, lingkungan dan ekonomi atas terbitnya kebijakan ini.

Narasi pemerintah bahwa PP 26/2023 adalah upaya untuk “pembersihan laut dari sedimentasi” merupakan hal yang tidak masuk akal. Sebab sejauh ini Kementerian Kelautan dan Perikanan belum mempunyai data dan informasi tentang lokasi, potensi dan nilai hasil sedimentasi laut.

Secara serampangan, Kementerian Kelautan dan Kelautan menyebut angka 23-24 miliar kubik potensi sedimentasi di laut yang bisa dimanfaatkan, padahal belum ada survey, penelitian, laporan ilmiah yang menjelaskan hal tersebut. Artinya, tidak mungkin instrumen aturan pembersihan dapat dibuat tanpa data awal, urgensi, kebutuhan dan atau situsi mendesak yang mengharuskan hal ini segera dilakukan dan merupakan satu-satunya opsi kebijakan.

Sedimentasi laut yang diakibatkan oleh aktvitas oseanografi sejauh ini tidak signifikan menghasilkan substrat pasir untuk dimanfaatkan bagi kegiatan pembangunan termasuk reklamasi. Sedimentasi yang terjadi selama ini lebih dominan berasal dari daratan dan berbentuk lumpur.

KLIK INI:  Segala yang Hanyut ke Laut
  • Sejarah Kelam Masa lalu Ekspor Pasir Laut

Momentum, maksud dan tujuan penerbitan PP 26/2023 sangat tidak tepat. PP 26/2023 seakan menarik mundur bandul sejarah setelah 20 tahun lalu, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno menghentikan ekspor pasir laut melalui SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Penghentian tersebut disebabkan karena implikasi yang muncul dari kegiatan ekspor pasir laut telah menyebabkan kerusakan lingkungan pantai dan pesisir, abrasi, tenggelam dan hilangnya pulau kecil khususnya di pulau terluar-perbatasan Indonesia serta buruknya aspek tata kelola yang menimbulkan permasalahan hukum.

Artinya penerbitan PP 26/2023 saat ini dilakukan tanpa melakukan evaluasi atas kebijakan pelarangan ekspor pasir laut sebelumnya, implikasi yang muncul dan penolakan publik dalam beberapa hari terakhir

  • Ketiadaan Urgensi dan Tidak Sejalan dengan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Dari segi kebutuhan dan prioritas, PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut untuk kebutuhan pembangunan dan ekspor saat ini sangatlah tidak tepat. Mengingat selama ini Indonesia cukup aktif mempromosikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Pembangunan Berkelanjutan, Blue Economy, Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Publik meragukan bahwa pengelolaan hasil sedimentasi laut hanya “cover” tapi terdapat maksud lain yaitu upaya melakukan pengambilan pasir di laut yang merupakan kegiatan ekstratif untuk meraup pendapatan jangka pendek. Juga mengindikasikan perspektif tata kelola jangka pendek dan lemahnya kapasitas serta strategi mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan.

Keuntungan jangka pendek tidak akan sebanding dengan kerusakan dan masalah yang didatangkan, termasuk ancaman abrasi dan tenggelamnya pulau, kekeruhan dan terganggunnya ekosistem dan biodiversity, potensi konflik dan terganggunya aktifitas mata pencaharian nelayan dan masyarakat sekitar.

  • Salah Kaprah Sedimentasi

Saat ini Indonesia mengalami ancaman perubahan iklim diantaranya kenaikan muka air laut sebesar 0,3-,7 cm/tahun. Ada juga ancaman abrasi pantai di wilayah Kalimantan, Kepulauan Riau dan Utara Jawa rata-rata 1-10 meter/tahun. Pada sisi lain, bumi mempunyai mekanisme tersendiri untuk beradaptasi dan mencari titik keseimbangan.

Di beberapa tempat terdapat material sedimentasi yang terbentuk dari akumulasi pasir dan sebagian gosong pasir karena hasil dan akumulasi proses pengangkatan dasar laut. Jika ini yang dianggap sebagai hasil sedimentasi dan kemudian menjadi lokasi pembersihan atau pengerukan dengan alasan pengelolaan hasil sedimentasi maka dipastikan akan menyebabkan abrasi pantai yang makin meningkat dan kerugian lingkungan. Jika terjadi abrasi, biaya pemulihan lingkungan menjadi harga yang sangat mahal, yakni mencapai Rp 6 juta/meter.

  • Sedimentasi Akibat Lemahnya Pengendalian Pembangunan di Daratan

Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut semestinya adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan Oleh karena itu yang harus dikelola dan kendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan atau sumber sedimentasi tersebut yakni aktifitas dari hulu terutama kegiatan penambangan, perkebunan dan pembangunan reklamasi pesisir.

Memperbaiki dan membersihkan bagian hilir tanpa perbaikan dihulu akan menjadi pekerjaan yang sia-sia sebab sedimentasi akibat pembangunan didaratan akan terus terjadi. Upaya untuk membersihkan laut akan jauh panggang dari api.

KLIK INI:  Sampah Terbanyak Kedua di Pantai, Kemasan Makanan dan Minuman