Mengenal Capung, Habitat dan Filosofi Hidupnya

oleh -2,867 kali dilihat
Buku "Naga Terbang Wendit". Foto: Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Saat masih kanak-kanak, di kampung saya di bagian Selatan Sulawesi Selatan, capung adalah kawan bermain yang menggemaskan. Kami menyebutnya pedo atau dudduk.

Capung yang terbang rendah, bertubuh mungil dan bercorak khas sangat menarik diamati. Dengan sedikit kenakalan masa kanak-kanak, capung itu kami tangkap dan memasukkannya ke dalam botol. Tak jarang, sayapnya kami potong dan terbanglah ia kelimpungan.

Di masa itu, capung memang melimpah. Seringkali kami bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak yah kawanan capung ini? Sebegitu banyak yang sering kami tangkap sebagai kawan bermain, seolah tak mengurangi populasinya yang beterbangan di alam bebas.

Kawanannya semakin melimpah bila musim kemarau tiba, usai matahari terbit hingga di siang terik. Lalu, suatu waktu kami mendapat semacam warning dari orang-orang tua kami agar jangan selalu menangkapnya berlebihan. Katanya, anak-anak yang selalu mappedo atau maddudduk (menangkap capung) akan diserang sakit demam.

Walau terdengar menakutkan, kami lebih sering abai dengan peringatan itu. Kami tetap saja bermain, berburu capung dan mengoleksinya. Klimaksnya, saat beberapa diantara kami mendadak jatuh sakit. Demam tinggi. Orang-orang tua menimpali kami lantaran tak mau mendengar dan tetap ngotot berburu capung. Akhirnya, kami sedikit punya keyakinan betapa pamali-nya menangkap capung berlebihan.

KLIK INI:  Kisah "Mata", Refleksi Kritis Pendidikan Anak di Indonesia

Itulah satu-satunya pengetahuan kami seputar capung. Mitos-mitos tak jelas yang kelak kami paham maknanya, betapa orang-orang tua kami punya suatu kearifan lokal (local wisdom) dalam memperlakukan capung. Selebihnya, hanya ingatan dan pengalaman menyaksikan habitat capung yang terjaga dan lestari di balik pohon-pohon dan tanaman yang subu

Literatur yang terbatas

Di sekolah, kami belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) lalu belajar biologi, tetapi informasi tentang capung tetap saja nihil. Begitulah adanya, pendidikan kita yang tidak menggiring ke daya cinta pada keanekaragaman hayati di alam semesta.

Hingga suatu waktu, semua pertanyaan dan rasa penasaran saya sedikitnya terobati setelah membaca buku “Naga Terbang Wendit”. Suatu buku menarik tentang keanekaragaman capung di Perairan Wendit, Jawa Timur.

Buku yang diterbitkan pada 2013 oleh Indonesia Dragonfly Society ini rasanya sangat berarti ditengah kelangkaan sumber literatur mengenai capung.  Rasanya terlambat menjumpai bacaan ringan nan lengkap seputar capung. Beruntung, di lembaran awal buku ini penulisnya menyentil dengan suatu dialog begini:

X     : “kenapa harus capung?”

IDS : “karena capung juga sumber belajar”

X    : “kenapa tidak dari dulu?”

IDS : “karena bisa dimulai dari sekarang”

KLIK INI:  Lelaki Asal Sinjai Ini Angkat Isu Lingkungan di Bukunya “Kepada Jauh yang Dekat”

Terbilang wajar, sebagaimana dicakapkan Karyadi Baskoro (Dosen, Pengelola Foto Biodiversitas Indonesia) pada prolognya. Berapa ahli peneliti khusus mengenai capung di Indonesia? Jawabnya kurang dari 5 orang, dan itu semua dari bangsa asing. Belum ada dari bangsa Indonesia.

Selanjutnya, berapa publikasi ilmiah tentang capung Indonesia? Hanya ada beberapa belas judul, semua ditulis oleh orang asing yang sumber literaturnya tak mudah didapatkan. Apakah ada buku panduan identifikasi capung Indonesia? Jawabannya belum ada satu judul pun. Malaysia sudah punya dua judul dan Singapura satu judul (setidaknya hingga periode 2013).

Padahal, jumlah spesies capung di Indonesia mencapai 900 jenis (bisa lebih). Ini ironis bukan? kabarnya, Indonesia sangat kaya spesies capung, mendekati 15 persen dari sekitar 5680 jenis yang ada di dunia. Dalam konteks ini, kita sungguh-sungguh memerlukan upaya keras  agar karya dan riset lebih dalam tentang capung kelak lebih berkembang.

Rasanya penting berterima kasih pada 5 penulis buku ini (Wahyu Sigit, Bambang Feriwibisono, Magdalena Putri Nugrahani, Barnadeta Putri dan Tabita Makitan).  Mereka masih muda-muda saat buku ini dituliskan. Kerja kerasnya mengamati capung di Wendit, satu kampung di Desa Wangliawan Kecamatan Pakis Kabupaten Malang, layak diapresiasi.

KLIK INI:  Begini Cara Capung Menangkap Mangsa di Udara Menurut Peneliti!

Selama dua tahun, kelimanya telaten mengumpulkan bahan dan informasi yang detail hingga buku ini diterbitkan. Menariknya, mereka menulisnya dengan gaya bahasa ringan ala blogger dan penulis populer. Sesuatu yang juga menginspirasi betapa riset-riset ilmiah ke depan, sudah saatnya dituturkan dengan gaya bahasa dan narasi yang lebih empuk dan ringan.

Di dalam buku inillah, capung (ordo odonata), satu jenis serangga yang konon muncul sejak zaman karbon (360 -290 juta tahun yang lalu) diperkenalkan. Saya membacanya dan menjumpai jenis-jenisnya yang lengkap.

Kehidupannya yang unik, makanan dan kemampuan terbangnya yang canggih layaknya pesawat terbang. Lalu, di ujungnya saya menghayati suatu narasi sederhana: dimana ada capung yang lestari di situ ada kondisi  lingkungan yang masih harmonis, juga sebaliknya.

Saya cemas dengan perihal ini, pasalnya dalam beberapa kali pulang kampung, capung mulai jarang bergentayangan di desa saya. Di banyak desa lain yang pernah saya jumpai juga begitu. Saya khawatir, kita kehilangan satu yang istimewa bernama capung. Serangga dengan beragam filosofi melekat pada hidupnya.

KLIK INI:  Cara Penyair Menginspirasi Kita Mencintai Lingkungan