Peran Perempuan dan Anak Muda dalam Advokasi Kasus Lingkungan Hidup

oleh -43 kali dilihat
Peran Perempuan dan Anak Muda dalam Advokasi Kasus Lingkungan Hidup
Ilustrasi aksi - Foto: Unsplash

Klikhijau.com – Krisis ekologi yang semakin meluas menempatkan perempuan dan anak muda dalam posisi strategis sebagai agen perubahan. Mereka bukan hanya pewaris bumi, tetapi juga korban langsung dari kerusakan lingkungan yang diwariskan generasi sebelumnya.

Hal itu ditegaskan Rahmawati, Narasumber pada Webinar yang digelar Klikhijau pada Rabu (30/4/2025). Sebagai seorang aktivis perempuan dan juga advokat yang banyak terlibat mendampingi kasus-kasus pidana lingkungan, Rahmawati memandang pentingnya generasi muda dalam mengawal kasus-kasus kerusakan lingkungan.

Karena itu, prinsip keberlanjutan tidak bisa lagi ditunda, generasi sekarang harus menjadi batas terakhir dari praktik-praktik yang merusak alam.

“Keterlibatan perempuan dan anak muda menjadi kunci penting dalam memastikan bahwa perjuangan lingkungan tidak hanya berlanjut, tetapi juga berkembang ke arah yang lebih adil dan inklusif,” tegas rahma.

Rahma menambahkan, anak muda memiliki keunggulan dalam hal energi, kreativitas, dan penguasaan teknologi.

“Di era digital, mereka mampu memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan informasi, membangun solidaritas, dan menggerakkan kampanye secara luas dan cepat. Kampanye digital ini bukan sekadar pelengkap aksi massa di jalan, tetapi menjadi kekuatan utama yang menjangkau banyak kalangan,” tuturnya.

KLIK INI:  TN Taka Bonerate Melakukan Pemeliharaan Hasil Transplantansi Terumbu Karang

Dengan semangat kolektif dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan, anak muda semakin berani mengambil peran dalam membela hak atas lingkungan hidup yang sehat dan layak bagi semua orang.

“Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini merupakan dampak dari ekspansi besar-besaran sektor industri, mulai dari perkebunan sawit, pertambangan, hingga pembangunan infrastruktur yang mengabaikan keberlanjutan. Penggunaan bahan kimia di pertanian, aktivitas peternakan berskala besar, dan buruknya tata ruang perkotaan telah memicu polusi, deforestasi, krisis iklim, bencana ekologis, hingga kepunahan keanekaragaman hayati. Sayangnya, negara kerap gagal hadir untuk melindungi warga dari dampak tersebut, bahkan justru berpihak pada kepentingan pemodal,” tambahnya.

Rahma juga menegakaskan perihal hak atas lingkungan yang baik dan sehat telah diakui secara hukum, baik dalam ranah internasional maupun nasional. Antara lain melalui deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM): pasal 25, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) pasal 11, hingga konstitusi Indonesia melalui UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) menjamin hak masyarakat atas lingkungan yang layak. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga memperkuat dasar hukum bagi perjuangan lingkungan yang berkeadilan.

“Dalam konteks ini, partisipasi anak muda menjadi krusial. Mereka bisa terlibat melalui edukasi publik, pengorganisasian komunitas, advokasi kebijakan, hingga pemanfaatan teknologi untuk memproduksi narasi tandingan yang berpihak pada rakyat dan alam. Inovasi dan pendekatan kreatif menjadi kekuatan tersendiri yang membedakan gerakan anak muda dengan pendekatan konvensional. Gerakan yang mereka bangun juga tidak melulu berskala besar, aksi kecil di tingkat lokal, jika dilakukan secara konsisten, bisa menjadi pondasi kuat perubahan yang lebih luas,” jelasnya.

Advokasi lingkungan lahir dari kegelisahan atas ketimpangan pengelolaan sumber daya alam dan dampak buruk yang ditimbulkannya bagi masyarakat.

KLIK INI:  Bersihkan Wajah Pakai Benda Ini Bisa Sebabkan Masalah Kulit Serius

“Ini bukan sekadar persoalan pencemaran atau perusakan alam, tetapi soal keadilan sosial, hak hidup, dan ruang eksistensi komunitas. Advokasi berarti membela dan memberdayakan, mendorong perubahan kebijakan, memperbaiki tata kelola, serta memperkuat posisi masyarakat sipil agar tidak terus-menerus menjadi korban dari sistem yang timpang,” kata aktivis perempuan yang kini bermukim di Kalimantan Barat.

Di berbagai wilayah, masyarakat lokal yang tinggal di sekitar proyek industri skala besar menjadi kelompok paling terdampak. Mereka kehilangan lahan, sumber air, dan mata pencaharian.

“Rendahnya literasi sering kali dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melemahkan posisi tawar warga. Dalam kondisi seperti ini, suara perempuan dan anak muda kerap tidak didengar. Namun gerakan seperti perlawanan ibu-ibu yang pernah terjadi di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, membuktikan bahwa suara yang selama ini dianggap lemah justru memiliki daya dobrak yang kuat ketika menyatu dalam kesadaran kolektif,” katanya.

Untuk tetap vokal dan aman dalam menyuarakan isu lingkungan, Rahma mengajak anak muda perlu memperkuat posisi melalui data yang akurat, analisis yang tajam, serta cara penyampaian yang cerdas. Mereka tidak harus bersuara dengan cara konfrontatif, melainkan bisa memilih jalur intelektual yang elegan namun efektif. Mengajak masyarakat juga tidak selalu harus lewat seminar atau forum formal, pendekatan personal dan kultural, seperti diskusi santai atau memanfaatkan kebiasaan lokal, sering kali jauh lebih efektif dalam membangun kesadaran.

“Di tengah sistem yang tidak adil, membangun gerakan tidak harus dengan kekerasan. Pendekatan damai berbasis pengetahuan, empati, dan kreativitas justru menjadi senjata paling ampuh. Narasi bisa dibangun lewat konten visual, video singkat, atau tulisan yang menyentuh hati. Media sosial pun menjadi ruang perjuangan yang bisa memperluas jangkauan dan menggerakkan simpati publik. Pada akhirnya, menjaga lingkungan bukan hanya soal menyelamatkan alam, tetapi juga soal memperjuangkan hidup yang lebih adil bagi semua, dan di dalam perjuangan itu, perempuan dan anak muda bukan sekadar pelengkap, melainkan garda depan,” pungkasnya.

KLIK INI:  Forsi LHK Sulsel Gelar Temu Pejabat Fungsional dan Pilih Ketua Baru