Menguliti Persepsi Masyarakat tentang Kaitan Covid-19 dan Satwa Liar

oleh -682 kali dilihat
Meretas Jalan Satwa Liar Kembali ke Alam di Masa Covid-19
Kelelawar/foto-padangkita
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Covid-19 dan satwa liar sepertinya dua hal yang tak terpisahkan. Itu karena satwa liar masih dianggap biang kerok penyebaran Covid-19.

Jika itu benar, patutkah satwa liar disalahkan atau dimusnahkan? Ataukah yang patut disalahkaan adalah manusia itu sendiri?

Satwa liar sesungguhnya akan baik-baik saaja tanpa manusia. Namun, sebaliknya manusia membutuhkan satwa liar sebagai penyeimbang ekosistem.

Lalu bagaimana pandangan masyarakat Indonesia tentang kaitan antara satwa liar, zoonosis, dan Covid-19? Pertanyaan itu sungguh menarik dan coba dipecahkan oleh  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

KLIK INI:  Sekolah Harus Ramah Lingkungan, Lies F Nurdin : 3 Hal Ini Wajib Dibenahi!

Maka sejak tanggal 27 Mei hingga 8 Juni Pusat Penelitiaan Kependudukan dan Pusat Penelitian Biologi LIPI melakukan survei persepsi masyarakat terhadap kaitan Covid-19 dan satwa liar.

Survei itu melibatkan 2.871 responden dengan  data valid 2.603 responden di seluruh Indonesia. Hasilnya mencengangkan, yakni pengetahuan masyarakat tentang korelasi tiga hal itu masih rendah.

Survei dari LIPI itu dirilis Selasa, 7 Juli 2020 lalu melalui webinar “Sosialisasi Hasil Survei Persepsi Masyarakat terhadap Coovid-VID-19 dan Satwa Liar”.

Survei yang dilakukan oleh LIPI tersebut menemukan 17 persen responden mempersepsikan Covid-19 adalah penyakit yang menular dari satwa liar ke manusia. Sebagian besar responden berpendaapat jika pandemi Covid-19 disebabkan jenis virus baru.

Hasil survei itu juga  menunjukkan hanya sedikit responden yang mempersepsikan kaitan satwa liar sebagai cara penularan virus Corona.

Sekitar 9 persen responden yang menganggap virus Corona menular lewat menyentuh dan mengonsumsi satwa liar, sedangkan mayoritas mempersepsikan virus Corona menular melalui droplet di udara dan benda-benda yang ditempelinya.

KLIK INI:  Apa yang Terjadi Pada Tanaman Berbunga Jika Kekurangan Serangga Penyerbuk?
Karena perubahan lingkungan

Hasil survei tersebut menurut Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara, bisa menjadi  arahan terhadap kebijakan-kebijakan oleh berbagai pemangku kepentingan di masa mendatang terkait dengan upaya pengendalian Covid-19.

Sementara Taufik Nugraha dari peneliti bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan,  satwa liar merupakan inang alami dari virus Corona pemicu Covid-19. Bahkan, sejak tahun 1940 hingga 2000, 70 persen penyakit infeksi baru berasal dari satwa liar.

Karena itu, minimnya persepsi responden terhadap keterkaitan satwa liar dan penularan virus Corona itu menjadi catatan tersendiri bagi LIPI bahkan oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri.

Interaksi antara manusia dan satwa liar saat ini cukup intens. Itu membuka peluang bagi penyakit lain dari satwa liar menjangkiti manusia.

Taufik mengungkap jika dulu satwa liar terisolasi, namun karena perubahan lingkungan menyebabkan mereka tak lagi terisolasi. Adapun faktor pendorong perubahan lingkungan itu antara lain urbanisasi, modernisasi, fragmentasi habitat, perambahan hutan, dan perubahan iklim.

Perubahan lingkungan itulah yang menyebabkan habitat satwa liar banyak yang hilang. Sehingga mau tak mau harus keluar untuk mencari tempat berlindung dan makanan.

Maka konflik satwa liar dan manusia kerap terjadi, belum lagi adanya satwa liar yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga diburu untuk diperdagangkan.

Nah, pemanfaatan langsung, berupa perdagangan, konsumsi, hobi, dan ekshibisi, satwa liar juga bisa menyebabkan zoonosis.

KLIK INI:  Membatasi Pasar Basah Berpotensi Tingkatkan Perdagangan Ilegal Hewan
Apa yang harus dilakukan?

Berdasarkan hasil survei LIPI tersebut, terungkap  lebih banyak masyarakat yang mempersepsikan pemerintah tak memiliki aturan tentang konsumsi satwa liar. Namun, pemerintah telah mengatur perdagangan satwa liar, penelitian, pemeliharaan, perburuan, dan pertunjukan. Rupanya aturan itu tak cukup.

Selain itu, menurut Taufik aturan  pemerintah tentang satwa liar yang tumpang tindih. Maka dibutuhkan  pendekatan one health. Yakni, metode yang menekankan pemahaman dan hubungan antara lingkungan, keanekaragaman hayati, masyarakat, dan penyakit manusia dengan menyatukan kesehatan publik, serta ilmu kedokteran hewan dan lingkungan.

Tentang pencegahan penyakit baru sebenarnya telah diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.

KLIK INI:  Akhir Kisah Buronan Perusak Mangrove di Belitung Timur

Inpres tertanggal 17 Juni 2019 tersebut mengamanatkan sejumlah kementerian, lembaga, dan jajaran pemerintah daerah untuk melakukan upaya pencegahan, deteksi, dan respons terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat. Juga disebut tentang pendekatan one health untuk meningkatkan implementasi rencana aksi.

Meski Covid-19 diduga kuat berasal dari satwa liar,  Indra Exploitasia, direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KHLK), berharap survei LIPI tidak menggelapkan mata  masyarakat dengan menganggap pemutusan rantai penularan virus Corona bisa dilakukan dengan pemusnahan satwa liar.

“Ini perlu disampaikan dengan hati-hati, jangan sampai justru keliru dimengerti oleh masyarakat,” ujar Indra.

Apa yang dikatakan Indra memang benar. Kemusnahan satwa liar justru akan menimbulkan masalah baru bagi manusia dan lingkungan.

KLIK INI:  Rehabilitasi DAS Beri Manfaat Nyata kepada Masyarakat