Mitigasi Gempa dan Tsunami Harus Jadi Budaya Masyarakat

oleh -51 kali dilihat
https://gaya.tempo.co/read/1539406/yang-perlu-dipahami-dan-lakukan-saat-terjadi-gempa-bumi
Ilustrasi - Foto/CNN Indonesia

Klikhijau.com – Bagi kamu yang sudah mengunduh aplikasi BMKG, tentu sering dikagetkan dengan kabar gempa yang terjadi hampir setiap saat.

Gempa di Indonesia rasa-rasanya memang telah sangat biasa terjadi. Karena negara ini  berada di zona batas pertemuan empat lempeng utama, yakni lempeng India-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Karolina-Filipina.

Itu pula yang menjadikan  Indonesia  sebagai negara yang mempunyai tingkat aktivitas seismik yang sangat tinggi karena adanya pergerakan empat lempeng tersebut.

Hampir semua wilayah di Indonesia rawan terhadap bencana gempa. Karena kepulauan Indonesia  terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil yang dibatasi  banyak jalur sesar aktif.

KLIK INI:  Warga Aceh Serahkan Petisi Bagi Perusahaan Perusak Lingkungan ke MA

Namun meski begitu, penelitian tentang data sesar aktif, dan gempa masih minim. Hal ini pula yang menjadi penyebab pengetahuan tentang gempa umumnya masih belum cukup detail untuk diimplementasikan dalam hal mitigasi bencana.

Tentu masih segar di ingatan,  gempa-tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Sejak saat itulah wilayah barat Indonesia seperti tiada henti diteror gempa.

Dan lebih mengejutkan lagi, hanya selang tiga bulan pasca Tsunami Aceh. Gempa megathrust (sesar naik di batas lempeng subduksi dangkal) dengan kekuatan Mw 8,7 kembali menghentak wilayah Simeuleu dan Nias pada tanggal 28 Maret 2005.

Deretan gempa besar yang meneror Indonesia sejak tahun 2000, menjadi bukti sahih jika Indonesia merupakan wilayah dengan potensi gempa yang sangat tinggi.

Butuhkan pengetahuan yang cukup

Pada hari Selasa, 27 Juli 2021 lalu, Danny Hilman dari Pusat Penelitian Geoteknologi (Geotek) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam orasi pengukuhan Profesor Riset LIPI di bidang kebumian mengungkapkan, untuk mengetahui potensi gempa di seluruh wilayah Indonesia, dibutuhkan  pengetahuan yang cukup tentang sesar aktif dan gempa.

“Tanpa mengetahui dan memahami sumber gempanya dengan baik. Usaha mitigasi, termasuk sistem peringatan dini, tidak akan tepat sasaran,” ujar Danny.

Indonesia bagi Danny adalah  laboratorium alam yang luar biasa untuk area riset terkait sesar aktif dan kegempaan. Hal ini sekaligus menjadi tantangan besar bagi upaya mitigasi bahaya dan risiko gempa.

Danny  mengingatkan bahwa sumber gempa adalah sesar yang aktif. Sesar akan disebut aktif jika masih bergerak dalam kurun 125 ribu tahun terakhir/memotong lapisan Holosen/Pleistosen akhir.

“Indonesia merupakan The Crown dari Ring of Fire,” ujar Danny.

Menurut Danny, meski gempa bersifat “misterius” bukan berarti tidak bisa diprediksi. Ada beberapa hal terkait gempa bisa diprediksi, diperhitungan, atau dipetakan mengenai gempa. Semisal lokasi terjadinya, besaran gempa, hingga risiko kerusakan yang akan ditimbulkan. Hanya ada satu yang  yang nyaris mustahil diketahui, yakni kapan gempa akan terjadi.

Karena itulah mitigasi bencana sangat penting, karena tujuannya untuk meminimalkan efek merusak dari berbagai bahaya yang sudah diperkirakan atau diperhitungkan.

“Mitigasi gempa harus menjadi budaya masyarakat. Harus menjadi bagian terpadu dalam pengembangan wilayah dan pembangunan infrastruktur,” tegas Danny.

KLIK INI:  Daftar Lengkap Nominasi Penerima Penghargaan Kalpataru 2023 Kategori Pembina lingkungan
Mitigasi bencana gempa berbasis sains

Danny sendiri telah terlibat  dalam proyek-proyek pemetaan jalur sesar aktif dan karakterisasinya. bahkan terlibat dalam revisi Peta Seismic Hazard Indonesia.

Peta Seismic Hazard adalah peta yang dipakai dalam standarisasi kode bangunan tahan gempa yang sesuai dengan zonasinya.

Pada  peta pembuatan bahaya tsunami di Indonesia, Danny juga ikut berperan aktif. Dan Kota Padang menjadi yang pertama dibuatkan peta bahaya tsunami.

“Waktu itu saya dan tim LIPI-Caltech. Dan menjadi pelopor utama dalam propaganda mitigasi bahaya tsunami di Padang,” terangnya.

Danny mengungkapkan bahwa ada tiga mitigasi bencana gempa berbasis sains, yaitu:

  • Mitigasi deformasi besar,
  • Goncangan gempa, dan
  • Mitigasi bahaya ikutan.

Selai n itu, ada pula mitigasi bahaya tsunami yang meliputi pembuatan peta (tinggi/genangan) tsunami,  rencana tata ruang aman tsunami, jalur evakuasi dan rencana darurat, pendidikan dan latihan masyarakat, serta sistem peringatan dini.

“Sistem peringatan dini harus didesain spesifik yang sesuai dengan kondisi geologi dan masyarakatnya,” jelasnya

Danny mencontohkan sistem peringatan dini berbasis kearifan lokal “Smong”. Sistem inilah yang menyelamatkan warga Pulau Simeuleu ketika tsunami melanda 2005 silam.

Danny mengawali karie risetnya mengenai sesar aktif pada Tahun 1993. Topiknya adalah Sesar Sumatera di wilayah Kota Liwa. Riset itu terjadi satu tahun sebelum terjadi gempa di Liwa.

Pada saat itu di Indonesia  riset sesar aktif nyaris belum dikenal. Pada tahun tahun 1994, Danny   bertemu Professor Kerry Sieh, yang berlanjut dengan mengambil program PhD.

Baik di Di Amerika Serikat maupun saat kembali ke Indonesia pada tahun 2004. Dirinya termasuk peneliti yang gigih dan giat mempropagandakan ancaman bahaya gempa dan tsunami di wilayah Sumatra.

“Kampanye” Danny itu terjadi hanya beberapa bulan sebelum tsunami meluluhlantakkan Aceh–Bumi Serambi Mekah.

KLIK INI:  Ecopolybag, Pengganti Polybag Plastik yang Lebih Ramah Lingkungan

 Sumber: lipi.go.id