Lawan Krisis Plastik: Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan UNS Dorong Inovasi Hayati

oleh -30 kali dilihat
Lawan Krisis Plastik: Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan UNS Dorong Inovasi Hayati (Foto: Ist)

Klikhijau.com – Bak kran air yang tak henti mengucur, begitulah sampah plastik membombardir bumi, perlahan namun pasti menyusup ke setiap jengkal kehidupan.

Namun, di tengah gempuran ini, secercah harapan muncul dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakart, Jawa Tengah. Mahasiswa Program Studi Ilmu Lingkungan, baik S2 maupun S3, tak tinggal diam.

KLIK INI:  Ternyata Sedotan Besi tak Ramah Lingkungan, Lho Kenapa?

Mereka menggalakkan gerakan stop plastik sekali pakai, sebuah seruan lantang untuk menghentikan laju polusi yang kian mengkhawatirkan. Rabu, 25 Juni 2025.

Membendung Banjir Mikroplastik: Komitmen dan Inovasi dari UNS

Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup (HLH), diskusi publik yang digagas oleh Sekolah Pascasarjana UNS menjadi panggung bagi para ahli untuk menyuarakan keprihatinan dan solusi.

“Bumi ini adalah titipan yang harus dikembalikan dalam bentuk yang baik,” tegas Prof. Dr. rer.nat Sajidan M.Si, Dekan Sekolah Pascasarjana UNS.

Lebih lanjut dirinya menekankan pentingnya inovasi dalam menciptakan bahan plastik hayati dari singkong, kentang, dan ubi sebagai alternatif untuk mengurangi polusi plastik.

Ancaman mikroplastik menjadi sorotan utama. Prof. DR. Mohammad Masykuri M.Si, Kepala Program Studi S2 Ilmu Lingkungan UNS, menjelaskan bahwa partikel berukuran kurang dari 5 mm ini telah ditemukan di sungai, udara, dan biota. Bahkan, mikroplastik berukuran femto, yang lebih kecil dari 0,2 mikrometer, sanggup menembus sel tubuh manusia.

“Mikroplastik disebut sebagai ‘cocktail of contaminants’ karena sifatnya yang aktif menyerap polutan berbahaya,” jelas Prof. Masykuri. Solusinya? Menerapkan gaya hidup “reuse” dan mengurangi konsumsi plastik sekali pakai.

Prediksi mengerikan tentang polusi plastik di masa depan turut dibahas. DR. Dewi Gunawati S.H., M.Hum, Dosen Hukum Lingkungan UNS, memaparkan bahwa pada tahun 2040, polusi plastik diprediksi mencapai 23-27 ton, mengancam perairan dan rantai makanan kita.

Menurutnya dibutuhkan komitmen kuat dari setiap individu untuk menumbuhkan “sense of belonging” terhadap lingkungan dan memulai gerakan pengurangan plastik dari diri sendiri, secara terus-menerus.

Menghentikan Aliran Polusi dari Hulu ke Hilir

Puncak acara ditutup dengan aksi simbolis lebih dari 100 peserta yang berfoto bersama di depan replika kran raksasa mengucurkan botol plastik.

Lawan Krisis Plastik: Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan UNS Dorong Inovasi Hayati (Foto: ist)

Alaika Rahmatullah, koordinator kampanye Ecoton, menjelaskan filosofi di balik instalasi ini.

“Kran ini menggambarkan polusi plastik yang terus mengucur dan mencemari bumi. Untuk menghentikannya, kita perlu menutup kran atau menghentikan sumber polusinya,” terangnya.

KLIK INI:  Di Korsel, Mahasiswa Bisa Beli Kopi dan Buku dengan Tinja

Menurut Alaika, menghentikan polusi plastik dari hulu berarti:

Regulasi Pemerintah: Pemerintah harus membuat regulasi ketat untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, seperti larangan penjualan air minum dalam kemasan di bawah 1 liter yang telah diterapkan di Bali.

Tanggung Jawab Produsen: Produsen didorong untuk tidak lagi memproduksi kemasan saset dan bertanggung jawab atas sampah kemasan yang mereka hasilkan.

Kesadaran Konsumen: Konsumen harus aktif mengurangi pemakaian plastik sekali pakai seperti saset, styrofoam, tas kresek, dan botol air minum dalam kemasan.

Prigi Arisandi, pendiri Ecoton, menambahkan bahwa ancaman mikroplastik sangat nyata. Kajian Ecoton menemukan mikroplastik dalam air ketuban, air susu ibu, kotoran manusia, dan kulit manusia.

“Mikroplastik dalam tubuh akan mengganggu hormon dan berdampak pada gangguan reproduksi, imun, dan metabolisme,” ungkap Prigi.

Oleh karena itu, Indonesia sangat membutuhkan baku mutu pembatasan mikroplastik dalam air minum dan makanan laut.

Gerakan STOP plastik sekali pakai dari mahasiswa UNS ini adalah seruan bagi kita semua untuk melihat dan bertindak. Akankah kita membiarkan kran polusi terus mengucur, atau berani mengambil langkah untuk menutupnya demi masa depan bumi yang lebih sehat?