Klikhijau.com – Hujan jatuh pelan di luar jendela. Di dalam, layar ponsel menyala. Sebuah barang masuk ke keranjang, lalu dibayar dalam satu klik. Praktis, cepat, menyelamatkan waktu—tanpa harus antri di kasir, tanpa harus terjebak macet atau melawan cuaca buruk. Belanja online telah menjelma menjadi kebiasaan harian, kadang menjadi pelarian, kadang menjadi penghibur lelah.
Namun, jarang kita bertanya: apa yang sebenarnya kita bayar dalam tiap kenyamanan itu?
Kita hidup dalam dunia yang menjanjikan segala hal dalam hitungan hari, bahkan jam. Tapi di balik itu, bumi bekerja tanpa henti. Tak bersuara, tak menuntut, namun perlahan terluka.
Menurut World Economic Forum (2020), jika tren e-commerce terus meningkat tanpa regulasi yang jelas, maka pada 2030 akan ada peningkatan 36% jumlah kendaraan pengantar di kota-kota besar, dan emisi karbon melonjak hingga 32%.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka mencerminkan napas yang semakin sesak, langit yang semakin berat menanggung polusi, dan suhu bumi yang terus merangkak naik.
Kemudahan itu juga menyisakan tumpukan kemasan: plastik, bubble wrap, kardus berlapis. Kita sering menganggapnya hal kecil—bisa didaur ulang, bisa dibuang.
Tapi kenyataannya, tak semua kemasan berakhir di tempat yang seharusnya. Banyak yang berakhir di laut, mencemari air dan membunuh makhluk yang tak pernah tahu apa itu “belanja online”.
Setiap klik juga menyisakan jejak digital. Aktivitas pencarian barang, transaksi, pelacakan—semuanya bergantung pada server yang bekerja tanpa henti, mengonsumsi energi listrik dalam jumlah besar.
Menurut laporan European Environmental Agency, jejak karbon dari aktivitas digital semakin meningkat seiring pertumbuhan e-commerce.
Dan masih ada satu sisi lain: pola konsumsi impulsif. Belanja bukan lagi tentang kebutuhan, tapi kebiasaan. Seringkali kita membeli barang yang sebenarnya tidak begitu diperlukan.
Lalu mengembalikannya karena tak sesuai ekspektasi. Proses pengembalian ini menciptakan siklus pengiriman ulang, memperbesar konsumsi bahan bakar dan emisi gas rumah kaca.
Studi dari MIT Center for Transportation & Logistics menyebutkan bahwa keuntungan lingkungan dari belanja online bisa hilang begitu saja jika pembeli sering melakukan pengembalian barang atau memilih pengiriman ekspres. Artinya, kenyamanan yang kita nikmati bisa jadi justru memperparah beban lingkungan, tanpa kita sadari.
Tapi ini bukan tentang menyalahkan teknologi atau menolak kemajuan. Ini tentang kesadaran. Tentang menakar ulang keputusan kecil yang terlihat sepele.
Karena bumi tidak pernah meminta banyak. Ia menjadi rumah bagi miliaran makhluk, menampung limbah, menyaring udara, menyediakan makanan dan tempat berlindung. Ia tidak pernah bertanya, “Apa yang kalian berikan kembali kepadaku?”
Maka, mungkin sesekali kita bisa berhenti sejenak sebelum menekan tombol “beli”. Menengok kembali: apakah yang kita inginkan benar-benar kita butuhkan?
Kadang, keputusan paling sederhana justru punya arti paling besar—bukan hanya bagi kita, tapi juga bagi bumi yang setia menerima segala jejak yang kita tinggalkan.
Kita bisa memilih pengiriman reguler ketimbang instan. Menggabungkan pembelian dalam satu paket. Mendukung toko yang menggunakan kemasan ramah lingkungan. Menjadi lebih teliti agar tak perlu mengembalikan barang. Hal-hal kecil, tapi jika dilakukan bersama-sama, bisa membuat perubahan yang berarti.
Kesadaran bukan tentang menjadi sempurna. Tapi tentang peduli. Tentang mengakui bahwa setiap pilihan memiliki dampak. Dan bahwa kita punya kuasa untuk membuat dampak itu lebih ramah bagi bumi.
Karena kenyamanan bukan satu-satunya hal yang layak kita kejar. Ada rumah yang lebih besar dari rumah kita—ia bernama bumi. Dan mungkin, saat ini, ia sedang bertanya pelan, “Masihkah kalian peduli padaku?”