Covid-19 Berkontrubisi Terhadap Meningkatnya Sampah Plastik di Laut

oleh -338 kali dilihat
Covid-19 Berkontrubisi Terhadap Meningkatnya Sampah Plastik di Laut
Sampah yang menghuni laut/foto-nationalgeographic.grid.id
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com –  Sampah plastik di laut adalah cerita yang tak mengenal kata tamat. Berdiamnya orang di rumah karena Covid-19. Tak menamatkan cerita sampah yang menumpuk di laut, terutama di laut Indonesia.

Justru sebaliknya, Covid-19 membuat lautan kian digerogoti sampah plastik. Itu artinya ekosistem laut semakin terancam pula.

Sampah plastik adalah jenis sampah yang bebal. Tak ingin terurai dalam waktu yang singkat, ia butuh waktu bertahun-tahun.

Jika sampai di laut persoalan sampah plastik akan semakin runyam. Ia akan bergerak dibawa gelombang.

KLIK INI:  Sampah Plastik Meningkat dari Belanja Online dan Delivery Selama PSBB

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian  Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono mengungkapkan jika saat ini ancaman bagi biodiversitas laut kita adalah adanya praktik perikanan yang berlebihan (over-exploitation) dan penangkapan yang merusak (destrictive fishing).

“Ada pula masalah penangkapan menggunakan bahan atau alat tangkap berbahaya seperti bom ikan, dan racun ikan sianida yang dapat merusak biota laut,” ujarnya, Rabu, 6 Juni 2020.

Selain penangkapan ikan yang merusak lingkungan tersebut. Agus juga mengungkapkan fakta lain, yakni sampah plastik. Bahkan menurutnya ada wabah Corona yang melanda dunia memberikan kontribusi kerusakan laut berupa sampah plastik.

“Data menunjukkan adanya kenaikan sampah plastik seiring dengan meningkatnya belanja online di masa pandemi,” ungkapnya.

Aktivitas penangkapan ikan dan sampah plastik, tentu menjadi ancaman yang sebenarnya bisa saja dihentikan. Sayangnya kesadaran menuju ke arah itu masih sangat minim. Padahal menjaga laut adalah sebuah upaya mulia, yakni menjaga kehidupan.

Apakah hanya dua hal itu yang merusak laut dan keragaman hayati laut. Rupanya tidak, Agus juga mengungkapkan penyebab yang lain, yakni tekanan antropogenik dari  pembangunan di wilayah pesisir karena adanya tekanan kebutuhan lahan yang terbatas, reklamasi, penambangan pasir dan batu karang, dan pencemaran turut menambah resiko kerusakan biota laut.

KLIK INI:  Wabah Corona, Gejala Psikosomatis, dan Imajinasi Penyakit

“Tantangan perubahan iklim juga mengancam keragaman hayati kita. Seperti pemanasan laut, pengasaman laut, dan kenaikan muka air laut, di mana ini  berdampak pada perekonomian masyarakat di pesisir,” tutur Agus.

Ajakan LIPI

Melihat fenomena mengerikan itu, LIPI mengajak semua masyarakat, akademisi, dan LSM untuk bersama sama melakukan edukasi  dan monitoring terhadap terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan ikan.

“COREMAP-CTI LIPI diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk bergabung dengan LIPI dan berlatih bersama dalam monitoring hayati laut di seluruh Indonesia, sehingga kita dapat menjaga secara bersama-sama laut Indonesia,” harap Agus.

Penting diketahui bersama, wilayah laut Indonesia masuk dalam area Segitiga Karag Dunia, yaitu area dengan keanekaragaman biota laut, terutama karang, yang paling tinggi di dunia.

Saat ini, terdapat 569 spesies dan 83 genus karang keras di Indonesia. Ini berarti, sekitar 69% spesies dan 76% genus karang dunia ada di Indonesia.

Sebaran karang paling tinggi berada di daerah timur seperti Maluku, Sulawesi dan Papua. Kemudian berkurang di daerah Jawa dan Sumatra.

Kekayaan hayati di Indonesia  dipengaruhi adanya pertemua arus laut yang melewati pulau-pulau di Indonesia.

Namun, kekayaan itu tak akan ada artinya dan bertahan lama, jika kita tidak bergotong royong menjaganya. Caranya, gunakan penangkap ikan yang tidak merusak lingkungan laut, tidak membuang sampah sembarangan, dan mencegah perubahan iklim.

KLIK INI:  Pinisi Diving Club, Lahir Tak Hanya untuk Menyelam