- Kayu Bitti, Penyelamat Perahu Pinisi - 26/04/2025
- Keladi Hias dan Ibu - 05/04/2025
- Katilaopro, Pakan Andalan Anoa yang Meresahkan Petani - 02/04/2025
Kabut Malino
kabut malino menepi di mata.
ada ricik hujan, juga desir angin antarkan gigil
kita tunggui hujan berubah jadi pelukan.
gigil jadi bara api, memanggang luka nganga
di malino, desir angin adalah gemuruh rindu.
riuh berkejaran dalam diri sendiri sebagai air terjun
“gemuruh adalah guru,” katamu.
“tuntun kita menerka antara cahaya atau bahaya,” lanjutmu
aku tatapi matamu, cari cahaya atau bahaya di sana.
tak ada apa-apa selain kabut tipis yang berubah jadi mainan anak-anak
“kita adalah pelayat bagi diri sendiri,” katamu lagi.
kutatapi kembali matamu, cari diriku di sana sebagai anak kecil yang kehilangan mainan.
tak ada apa, tak ada siapa. sepi mengental
“malino itu rumah bagi tualang untuk pulang sebagai tulang punggung,” kataku
kau menatap mataku
“rumah adalah matamu,” katamu.
kita lalu berkejaran dalam kabut, jadi sepasang tali sepatu.
Kindang, 2024
Sehabis Hujan
malino, aku suka aroma bungamu sehabis hujan. dan desir angin antarkan gigil ke kepalaku yang sedang panas memecahkan 1+1 sama dengan berapa?
sehabis hujan tak ada jejak kaki lama di halaman rumah. semua serba baru dan asing. tapi, aku selalu ingat bekas telapak kakimu. dapat berbentuk angka panjang sebagai bilangan usia
malino, aku juga suka rimbun pohonmu. sembunyikan aku dari bayanganku sendiri di siang hari.
aku akan melihat sinar matahari menggeledah sudutmu. mencari bayanganku yang ditelan rimbun pohonmu. aku bisa menipu matahari, seperti guru menipu muridnya jika 1+1 sama dengan dua.
malino, pada desir angin yang tak menua itu. aroma kekasih kau terbangkan ke hidungku. buatku bersin-bersin lalu flu berat.
mataku akan dipenuhi air mata. tempat minum para cacing atau lintah. aku senang menjamu mereka, asal hujan tetap ada
Kindang, 2024