Politik yang Minim Isu Lingkungan

oleh -202 kali dilihat
Politik yang Minim Isu Lingkungan
Ilustrasi - Foto: Pixabay
Anis Kurniawan

Sensasi tahun politik kian terasa. Pemilu 2024 sisa menghitung bulan. Hirup-pikuk politik mulai tampak saat melintas di ruang-ruang publik. Gambar-gambar politikus mewarnai etalase jalan, ribuan tagline dan narasi janji manis menawarkan perubahan, berseliweran.

Pada ribuan orang yang antrian masuk parlemen itu, kita berharap perubahan. Mereka berkontestasi merebut simpati pemilih. Pendekatannya bervariasi, dari jejaring pertemanan, komunitas, hingga tawaran gagasan.

Ada yang sudah bekerja sejak lama merawat basis pemilihnya dengan kegiatan-kegiatan sosial—sebagian lagi bergerak instan dan sporadis. Beberapa yang melihat kontestasi politik sebagai panggilan jiwa—atas kesanggupan, kapasitas dan gagasan—sebagian lagi sekadar coba-coba. Siapatahu bisa tembus ke parlemen. Bermodalkan teman yang banyak, tak sedikit yang melihat politik dalam kacamata kuda, banyak teman berarti peluang besar. Menerabas Pemilu adalah tantangan dan sebuah seni kemungkinan (the art of possible). Kalah menang urusan nanti, yang penting maju dulu.

Begitulah para pelancong di tahun politik ini. Mereka tak perduli akan melakukan apa mereka saat duduk di parlemen. Satu hal yang dimengerti secara faktual bahwa demokrasi saat ini sungguh-sungguh tarung bebas. Karenanya, siapa pun berpotensi menang bahkan jika hanya bermodal nyali. Sebaliknya, mereka yang datang membawa gagasan, kapasitas personalnya (perpengalaman dan berpendidikan memadai) pun belum tentu potensial di mata pemilih.

KLIK INI:  Upaya Selamatkan Terumbu Karang Maluku Utara

Pendeknya, para politikus sangatlah paham bahwa ada strategi khusus untuk menang atau meraih suara massif. Pemilih kita mayoritas pragmatis. Ibarat kata, tak ada makan gratis dalam politik. Kita berteman atau bahkan keluarga, namun urusan coblos-mencoblos: wani piro? Begitulah faktanya di lapangan—suatu realitas yang pernah membuat begitu banyak aktivis sosial yang men-Caleg, kelimpungan.

Bayangkan, ada seseorang yang bertahun-tahun bergerak mendampingi komunitasnya. Membantu tanpa pamrih, berjuang demi banyak orang serta aktif dalam aksi-aksi sosial kemasyarakatan—lantaran pengalaman ini ia pun ikut bertarung di Pemilu—ia optimis akan terpilih karena popularitas dan kebaikannya di masa silam—faktanya, ia kecewa. Ia gagal memindahkan basis sosialnya menjadi basis elektoral—semua sirna seketika.

Politik nyatanya berharga super mahal. Menggerakkan tim sukses atau bahkan konsultan pemenangan, tentu tidak murah. Wajar saja, bila dari Pemilu ke Pemilu, parlemen senantiasa di isi oleh mereka yang isi tasnya banyak. Layaknya pesta, haruslah ada makan-minum dan segala rupa. Uang harus dikeluarkan agar pesta lebih meriah.

Dari semua pergolakan dan dinamika demokrasi kita yang banal ini, apakah masih ada politik gagasan? Agaknya nihil. Gagasan nomor sepatu. Nomor wahid adalah isi tas. Wajarlah bila pada poster-poster yang dipajang di mana-mana tak ada narasi bermakna. Semuanya hambar tanpa pesan, sekali lagi tanpa gagasan.

KLIK INI:  Retornous A La Nature!

Politik nihil isu lingkungan

Lalu, bagaimana berharap perubahan? Ini topik utamanya! Kita sedang menghadapi begitu banyak masalah. Dari isu kesejahteraan, tenaga kerja, infrastruktur, Pendidikan, kesehatan, pengelolaan sumber daya alam hingga isu lingkungan hidup. Dari sederet isu ini, isu pengelolaan sumber daya alam dan isu lingkungan agak jarang jadi narasi politik.

Atas nama kesejahteraan dan ambisi perubahan, kebijakan politik kita harus diakui cenderung bermashab developmetalisme. Pembangunan, yah pembangunan. Kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur, peningkatan PAD dan seterusnya. Kota-kota dibangun tanpa perduli dengan daya dukung dan daya tamping lingkungan. Apa pun bisa dilakukan atas nama pembangunan. Ujungnya, degradasi lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam yang tak berpihak pada masyarakat kecil.

Di suatu desa di pedalaman Sulawesi, tetiba tambang galian C menyatroni. Habis bebatuan sungai direnggut escapator. Tak berselan lama, sungai itu menjelma cekungan dimana air tak mengalir seperti biasanya. Tetumbuhan di pesisir sungai lenyap tak bersisa. Walhasil, sawah-sawah yang dulunya subur menjadi tandus. Rumah-rumah penduduk kehilangan sumber mata air. Sumur-sumur mereka kering, tragedi yang tak pernah dijumpainya setelah puluhan tahun.

Tanpa belajar dari kesalahan serupa, sungai-sungai terus dihantui ekploitasi tambang galian C. Masalah sudah tentu terulang. Semua berlangsung dengan drama pembiaran. Ini belum seberapa tentunya dibanding ekploitasi tambang kelas kakap di beberapa tempat di Sulawesi tenggara, Tengah dan Selatan.

KLIK INI:  CVA, Komunitas Relawan yang Lahir dari Rahim Bencana

Tutupan lahan terus menipis. Kota-kota bahkan desa-desa kini rawan bencana. Hujan baru sesaat, air membanjiri tiada ampun. Bila kemarau, kekeringan sudah tidak terkira. Ini sudah di depan mata, namun eksploitasi sumber daya alam terus menerus terjadi laksana perlombaan. Bumi dikeruk hingga ke akarnya.

Pada sisi lainnya, kota-kota disesaki masalah klasik. Sampah, ruang terbuka hijau yang minim, drainase, kemacetan, polusi dan lainnya. Ini soal paradigma. Negeri tidak terurus baik, boleh jadi karena wakil rakyat kita sejauh ini nihil gagasan. Isu lingkungan tidak terbilang dalam kamus berpikirnya. Mereka sibuk olah strategi untuk duduk di kursi parlemen, setelah duduk mereka juga sibuk menjalani rutinitas sebagai pejabat publik—yang tanpa gagasan.

Maka, seberapa berani kita di tahun politik ini mulai mendudukkan isu lingkungan sebagai narasi penting? Lalu, menjatuhkan pilihan pada politikus yang memang punya kapasitas menyuarakan isu-isu lingkungan.

Kita lihat saja nanti!

KLIK INI:  Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api