Makassar Pasca Pilkada, Antara Euforia Demokrasi dan Ancaman Banjir

oleh -103 kali dilihat
Ketua Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia Provinsi Sulsel.
Suasana banjir di salah satu ruas jalan di Makassar pada 7 Desember 2021 - Foto/Foto seorang guru di Makassar
Junardin Djamaluddin
Latest posts by Junardin Djamaluddin (see all)

Klikhijau.com –  Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak telah usai. KPUD Kota Makassar selaku penyelenggara telah menetapkan kepala daerah terpilih meninggalkan gelombang euforia dan sejumlah harapan baru bagi warga Kota Makassar.

Ditengah tahapan akhir dari rangkaian pesta demokrasi tersebut, musim hujan datang membangkitkan memori kita akan bencana banjir yang telah menjadi rutinitas bencana tahunan yang hingga kini belum teratasi.

Masyarakat Kota Makassar tentu menitipkan banyak harapan kepada Walikota terpilih bukan hanya sekedar merealisasikan janji-janji kampanyenya akan tetapi melakukan refleksi untuk menyempurnakan janji kampanyenya dalam bentuk program nyata dan menyusun tata kelola pemerintahan yang akan datang khususnya dalam memitigasi dampak ekstrim dari dinamika curah hujan, salah satunya bencana banjir.

Kota Makassar merupakan kota pesisir yang terletak di sebelah barat Pulau Sulawesi Selatan, dan topografinya yang relatif datar membuatnya rentan terhadap bencana banjir. Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), intensitas curah hujan menunjukkan peningkatan curah hujan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada musim hujan 2023-2024, intensitas curah hujan di Kota Makassar rata-rata 300-400 mm per bulan, jauh melebihi kondisi normal.

Kondisi geografis Kota Makassar yang sebagian besar wilayahnya bertopografi rendah, sebagian besar lainnya berada di bawah permukaan laut. Kondisi topografi yang datar dan sistem drainase yang buruk serta laju pembangunan kota yang kurang terkendali menyebabkan daerah resapan berkurang dan terkonversi menjadi hunian.

Saat musim hujan dengan intensitas tinggi, aliran permukaan berpotensi menjadi genangan karena drainase yang ada saat ini tidak jelas akan mengalir dan bermuara ke mana sehingga hanya mengandalkan resapan secara alami ke dalam tanah.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin menunjukkan bahwa lebih dari 60% saluran drainase di kota ini tidak berfungsi optimal.

Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai area resapan yang terbatas semakin memperparah kondisi tersebut. Jika pun pengembangan RTH terus dilakukan, akan tetapi kurang memperhatikan faktor zonasi kerawanan banjir dan faktor pemilihan jenis tanaman yang memiliki kemampuan menyimpan air yang tinggi.

RTH Kota Makassar menurut laporan DLHD Kota Makassar tahun 2023 hanya mencapai 11,47% dari luas wilayah kotanya. Sangat jauh dari yang seharusnya yaitu 30% sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang.

Di sisi lain, Ruang Terbuka Biru (RTB) dapat dikatakan tidak maksimal untuk menampung kelebihan air permukaan saat intensitas hujan tinggi. Sungai Tallo dan Sungai Jenneberang yang membelah Kota Makassar sering meluap sehingga menambah peningkatan debit air permukaan.

Ketersediaan danau/waduk untuk penampungan sementara air hujan pun sangat terbatas, nyaris tidak ada, selebihnya yang ada saat ini lebih difungsikan untuk menampung air laut saat terjadinya air pasang. Persoalan banjir menahun inilah yang perlu kemudian dijawab oleh Walikota Makassar terpilih untuk mengintegrasikan kondisi bentang alam Kota Makassar sebagai realisasi janji kampanye dalam bentuk program mitigasi banjir untuk Kota Makassar yang tangguh dan berkelanjutan.

Menurut penulis, beberapa langkah strategis harus segera dilakukan oleh Walikota terpilih dan Tim pada masa transisi ini adalah menyiapkan kebijakan-kebijakn startegis untuk mengatasi persoalan banjir ini. Segera mungkin menyusun kebijakan peningkatan yang signifiksn terhadap RTH sebagai area resapan dan RTB sebagai area penampungan air hujan.

Target peningkatan RTH minimal 20% dari luas kota dibarengi dengan penciptaan danau/waduk buatan dengan memanfaatkan lahan yang tersedia atas dasar pertimbangan jangkauan terhadap area rawan banjir serta normalisasi sungai untuk menigkatkan daya tampung. Dengan demikian revitalisasi sistem drainase kota dapat dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi karena waduk/danau maupun sungai dapat menjadi muara aliran system drainase.

Lebih lanjut, kebijakan peningkatan RTH dan RTB harus diwujudkan dalam bentuk implementasi lanskap perkotaan yang fungsional dan estetis. Konsep ini tidak hanya bertujuan mengatasi banjir, tetapi juga menciptakan ruang-ruang sosial yang berkelanjutan. Studi komparatif menunjukkan bahwa pendekatan integratif dalam pengelolaan ruang perkotaan terbukti efektif mengurangi risiko banjir.

Pesta usai, kini saatnya membuktikan komitmen. Pemerintahan baru Kota Makassar ke depan dihadapkan pada mampu tidaknya menciptakan kota yang inklusif, tangguh bencana, berkelanjutan, dan bermartabat. Banjir bukanlah sekadar ancaman alam, melainkan refleksi dari kualitas tata kelola pemerintahan.

KLIK INI:  Demmatande, Pejuang Pemberani dari Kampung Paladan Mamasa