Drainase Pertanian Berpotensi Jadi Penyebab Karhutla

oleh -272 kali dilihat
Kebakaran hutan
Kebakaran hutan/foto-lLampung Post
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Ancaman kepunahan hutan kini semakin nyata. Penyebabnya adalah pembalakan liar dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Untuk kasus kebakaran, Indonesia pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut cukup besar pada tahun 2015 lalu yang luasnya mencapai 2,6 juta hektar.

Untuk mengatasi karhutla sangat penting menjaga Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Sebab kebakaran pada lahan gambut berpotensi menyebabkan bencana alam yang menimbulkan dampak lokal, nasional, dan global.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono   menjelaskan, pembuatan drainase di lahan pada masa untuk menyiapkan lahan pertanian, menyebabkan mengeringnya lahan gambut yang meningkatkan potensi terjadinya kebakaran.

Berdasarkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.129/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional, Indonesia memiliki ekosistem gambut berjumlah 865 KHG dengan total luasan 24.667.804 hektar yang tersebar di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

KLIK INI:  Pengawasan Itjen KLHK Alami Pergeseran dari Watchdog Jadi Consultancy

“Peraturan Menteri LHK Nomor P.10/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis KHG sebagai suatu bentuk upaya langkah korektif dalam perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut,” ujar Bambang

Peraturan Menteri LHK tersebut mengatur penentuan dan penetapan puncak kubah gambut, dilakukan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL). Penentuan puncak kubah gambut dilakukan melalui pendekatan perhitungan neraca air dengan memperhatikan prinsip keseimbangan air.

Peraturan tersebut  menjelaskan, puncak kubah gambut merupakan areal yang wajib dijadikan kawasan lindung. Areal di luar puncak kubah gambut dapat dimanfaatkan dengan tetap menjaga fungsi hidrologis gambut sampai jangka waktu izin berakhir.

Sementara itu, Direktur Pengendalian Karhutla, KLHK, Raffles B. Pandjaitan menjelaskan,  pasca kejadian karhutla tahun 2015, paradigma dalam pengendalian karhutla telah berubah. Saat ini upaya pencegahan lebih diutamakan dalam upaya pengendalian karhutla. Pencegahan dimulai dengan sistem deteksi dini hotspot melalui citra satelit dan ditindaklanjuti dengan pengecekan langsung ke hotspot di tingkat tapak.

KLIK INI:  KLHK Siapkan Strategi Pulihkan Ekosistem Gambut Bram Itam Jambi

“Patroli terpadu terus ditingkatkan setiap tahunnya dengan melibatkan Manggala Agni, TNI, Polri, Pemerintah Daerah dan unsur masyarakat. Patroli terpadu ini dilakukan di desa-desa yang rawan karhutla setiap tahunnya,” terang Raffles

Sedangkan Prof. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor  menerangkan hasil penelitian yang dilakukannya bersama tim pada kejadian karhutla yang terjadi di beberapa daerah di Provinsi Riau. Dalam paparannya, Prof. Bambang menjelaskan bahwa sebagian besar kebakaran terjadi di lahan gambut.

“Oleh karena itu, sudah sepantasnya untuk mewaspadai turunnya tinggi muka air dengan mengaktifkan peran kanal melalui monitoring dan supervisi sekat kanal. Prof. Bambang menekankan perlunya secara rutin untuk melakukan patroli udara, air dan darat untuk mencegah kebakaran berlanjut dan mengantisipasi terjadinya pembiaran,” tegas Bambang

Kebakaran sering terjadi di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan konversi, maka pihak terkait diminta untuk segera melakukan penertiban/memberikan tindakan tegas dan tidak melakukan pembiaran.

Penjelasan pada tulisan di atas merupakan hasil dari dialog KLHK dengan media di Pekanbaru, Riau 8 April 2019 lalu. Dialog trsebut dikemas dalam bentuk acara Ngopi (Ngobrol Pintar) dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau.

KLIK INI:  Indonesia Angkat Kebijakan Reforma Agraria di Sidang APFC