Berbagi Tips Mengelola Masalah dari Komunitas Tobonga

oleh -276 kali dilihat
Berbagi Tips Mengelola Masalah dari Komunitas Tobonga
Sampul buku Filosofi Masalah/foto-ist
Irhyl R Makkatutu

Judul Buku: Filosofi Masalah
(Kearifan-Kearifan Komunitas Tobonga dalam Mengelola Masalah)
Penulis: Abidin Wakur
Edisi: Cetakan Kedua 2019
Penerbit: P3i Press
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978-602-1261-24-3

Masalah memang suatu keniscayaan. Ia ada dan tak mungkin dihindarkan dalam hidup ini. Tanpa masalah, tentu tak ada kehidupan. Hidup tak berarti harus berlari dari suatu masalah dengan cara frustasi atau beralienasi dari kehidupan. Pada dimensi lain, masalah harus dilihat sebagai sebuah suplemen hidup—sebuah pembelajaran berharga untuk seseorang dapat terus berdinamika.

Itulah pesan utama dari buku “Filosofi Masalah” karya Abidin Wakur. Tidak seperti buku-buku lainnya yang mengulas psikologi masalah dengan serba teoritis. Buku ini menerabas pengalaman personal Abidin Wakur (penyair) dan komunitasnya bernama Tobonga di sebuah desa pelosok, Sinjai Sulawesi Selatan. Sebuah kisah tentang perjalanan “jatuh bangun” yang tak kenal lelah dalam melawan rintangan hidup yang kompleks.

Ada dua problematika kehidupan yang menarik di buku ini, pertama perjalanan hidup seorang Abidin Wakur itu sendiri, kedua soal bagaimana komunitas Tobonga yang dirintisnya. Dua sisi yang tak terlepaskan, Abidin Wakur adalah sosok unik yang di tengah jalan terjal kehidupannya memperjuangkan nilai-nilai teater dan kesenian, ia juga diperhadapkan pada liku kehidupan cintanya yang panjang. Bagaimana mungkin, seorang dalam situasi itu dapat berjalan tegak pada saat yang sama menginspirasi anak-anak kampungnya untuk berubah. Tetapi, ia melakukannya, ia menyalakan lilin dalam kegelapan, walau ia sadar bahwa dirinya sendiri belumlah cahaya benderang.

KLIK INI:  Tentang Jejak Hidup Sukses dari Filosofi Air Mengalir

Komunitas Tobonga berdiri di tengah minimnya dukungan masyarakat desa. Tak hanya itu, aksi membangun komunitas demi membangkitkan gairah anak-anak mudah kampung bukanlah perkara gampang. Terlebih disuarakan oleh seorang Abidin Wakur, seorang yang baru saja pulang dari rantau (Jakarta) dengan tidak sepenuhnya sukses dalam ukuran yang lazim.

Sebagaimana diketahui, kesuksesan bagi seorang perantau adalah ketika ia berhasil membawa pulang harta benda yang melimpah ke kampung. Di sinilah kisah perjuangan tak kenal lelah itu dimulai, Abidin Wakur dan komunitasnya harus melawan stigma negatif masyarakat yang sudah terbangun sebagai sebuah “auto minset” dalam masyarakat, bahwa hanya orang sukses secara materi yang layak sebagai inspirasi atau teladan.

Di awal berdiri, komunitas Tobonga dicemooh, dinilai sebagai sebuah aksi tak berguna dan buang-buang waktu. Apalagi, seorang Abidin Wakur menjadikan teater dan sastra sebagai warna komunitasnya. Tak terbayang bagaimana jadinya, berteater di kampung bukan? Dalam masyarakat yang kita tahu tidaklah akrab dan paham soal teater dan sastra.

Betapa rumitnya misalnya mereka mengajak anak-anak bergabung di komunitas berlatih teater atau baca puisi. Sementara mereka adalah anak-anak dengan pendidikan yang sebagian hanya tamat SD dan paling tinggi SMA.

KLIK INI:  Ekofeminisme, Tentang Relasi Gender dan Kehutanan

Memerlukan etos juang yang tinggi, pertama-tama adalah meyakinkan pada anggota komunitas perihal apa pentingnya berteater. Membangun keyakinan seperti itu seolah menantikan sebuah batu berlubang karena lentinan air hujan. Keras dan boleh jadi mustahil. Perlu waktu dan harus bersedia menanggun beban: berhadapan bergunung masalah.

“Di situlah tantangannya,” kata Abidin Wakur dalam perbincangannya di suatu diskusi. Ia punya optimisme kuat bahwa teater adalah jalan, sebuah ekspresi yang melatih kita melihat hidup dengan kepala tegak. Ini perihal, bagaimana menghadapi masalah dalam terminologi panggung sandiwara. “Saya selalu merasa ditolong oleh pengalaman berteater dalam menghadapi masalah demi masalah, sehingga saya merasa semua harus dilewati,” ungkap Abidin Wakur.

Hingga suatu waktu, buah kerja keras itu mulai tampak berkecambah. Anak-anak yang bergabung di komunitas Tobonga, pelan-pelan bermetamorfosa menjadi lebih baik. Beberapa yang sebelumnya dikenal “nakal” dan kerap terlibat aksi balap liar atau minum-minuman keras, tidak lagi menggandrungi kebiasaan buruknya.

KLIK INI:  Teologi Ekologis dan Persaudaraan Berbasis Semesta

Pelan tapi pasti, anak-anak yang sebelumnya malas bekerja mulai tertarik untuk bertani. Angin perubahan terus meliuk dan terasa hingga keluar. Lalu, di saat yang tak terduga, sebuah pementasan rakyat menampilkan pertunjukan teater yang digawangi oleh anak-anak Tobonga. Mencengankan!

Mereka tampil luar biasa, di luar dugaan. Mereka juara dan juara lagi. Pementasan di tingkat Kabupaten bahkan membuatnya keluar sebagai juara bertahan tiga kali berturut-turut. Mereka juga sempat menjuarai pagelaran pementasan teater di level provinsi dan membawanya menjadi perwakilan ke level nasional. Mereka mentas di Jakarta, yah, anak-anak kampung itu yang sebelumnya mungkin dipandang sebelah mata.

Itulah sebagian kisah yang dituturkan dengan sangat alami di buku ini. Sebuah kisah tentang apa yang disebut Abidin Wakur “perjuangan untuk bertaji”. Perjalanan hidup seseorang dan komunitas Tobonga yang berhasil menjadikan masalah sebagai pemantik untuk tetap eksis dan terbang tinggi.

KLIK INI:  Ekofenomenologi, Tentang Relasi Apik Antara Manusia dan Alam