Ancaman Puncak Musim Hujan Intai Jateng, BMGK Minta Kesiapsiagaan Ditingkatkan

oleh -13 kali dilihat
Waspada, BMKG Peringatkan Potensi Cuaca Esktrem di Beberapa Wilayah di Sulsel
Ilustrasi hujan/foto-Ist

Klikhijau.com –  Kedatangan musim hujan tidak hanya membawa harapan, tapi juga ancaman bencana. Karenanya setiap musim hujan tiba, maka kewaspadaan pun perlu ditingkatkan.

Saat ini puncak musim hujan akan menyambangi sebagian besar wilayah Jawa Tengah (Jateng) hingga Februari.

Olehnya itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan peringatan dini terkait kondisi cuaca ekstrem yang berpotensi memicu bencana hidrometeorologi di Provinsi Jateng.

Dwikorita menegaskan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah menghadapi puncak musim hujan yang diperkirakan berlangsung hingga Februari 2025.

KLIK INI:  Jejak Perjuangan Lingkungan: Meneladani Kearifan Lokal Pejuang di Masa Lalu

Hal tersebut disampaikan saat Rapat Koordinasi Antisipasi Bencana Hidrometeorologi yang digelar bersama Penjabat Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana belum lama ini.

“Sebagian besar wilayah Jawa Tengah akan mengalami puncak musim hujan hingga Februari. Namun, puncak musim hujan ini tidak serempak, terjadi bertahap mulai November, Desember, Januari, hingga Februari. Hal ini membuat potensi bencana, seperti yang terjadi di Pekalongan, masih bisa terjadi. Oleh karena itu, langkah antisipasi terus kami tingkatkan,” ujar Dwikorita, Rabu (29/1/2025).

Ada potensi banjir rob

Dwikorita juga menjelaskan bahwa intensitas curah hujan di Jawa Tengah dipengaruhi oleh kombinasi aktif beberapa fenomena atmosfer global, seperti La Nina lemah, Monsun Asia, Madden-Julian Oscillation (MJO), serta gelombang ekuatorial Kelvin dan Rossby.

KLIK INI:  Di Negara +62 Ini, Sepanjang Jalan adalah Tempat Sampah

Kondisi ini diperkuat oleh fenomena astronomis, seperti fase bulan baru, yang menciptakan potensi peningkatan curah hujan, angin kencang, hingga gelombang tinggi di wilayah pesisir. Selain itu, kelembapan udara yang sangat basah serta aktivitas konvektif lokal turut memicu pembentukan awan hujan yang menjulang tinggi. Semua faktor ini menjadi pemicu utama peningkatan risiko bencana seperti banjir, tanah longsor, banjir rob, dan angin kencang di sejumlah wilayah Jawa Tengah.

Menurut data BMKG, seluruh wilayah Jawa Tengah telah memasuki musim hujan sejak Desember 2024, dengan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari hingga Februari 2025. Dwikorita menekankan bahwa curah hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat akan terjadi di berbagai wilayah, terutama di kawasan rawan bencana seperti Pekalongan, Batang, dan Boyolali.

Di wilayah ini, ancaman tanah longsor dan banjir bandang menjadi perhatian utama. Kabupaten Boyolali, misalnya, berada dalam kondisi kritis karena keberadaan jalur sungai di lereng Gunung Merbabu yang sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Sebelumnya, Dwikorita bersama tim BMKG telah mengunjungi wilayah ini untuk meninjau langsung kondisi di lapangan dan memberikan arahan mengenai langkah mitigasi bencana.

KLIK INI:  Ke Manakah Burung Saat Hujan, Bisakah Mereka Terbang?

Selain ancaman hujan ekstrem, BMKG juga mengidentifikasi potensi banjir rob yang dapat melanda kawasan pesisir utara dan selatan Jateng. Dalam rapat koordinasi tersebut, Dwikorita menekankan bahwa upaya mitigasi bencana harus dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, TNI, Polri, hingga masyarakat.

Telah mengambil langkah antisipasi

Penjabat Gubernur Nana Sudjana menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengambil langkah-langkah antisipasi, termasuk memetakan jalur evakuasi, memastikan kesiapan drainase di kawasan rawan longsor, dan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat hingga tingkat desa. Selain itu, masyarakat juga diimbau untuk memantau informasi cuaca terkini melalui kanal resmi BMKG, seperti website, aplikasi InfoBMKG, dan media sosial.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan bahwa teknologi modifikasi cuaca (TMC) kemungkinan akan kembali diterapkan untuk mengurangi dampak curah hujan ekstrem di wilayah-wilayah tertentu. Sebelumnya, TMC telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah untuk mengendalikan intensitas hujan dan meminimalkan risiko banjir.

KLIK INI:  Mengulik 20 Alasan Kenapa Hutan Memiliki Arti Penting untuk Dilestarikan

Selain itu, BMKG telah menyampaikan informasi detail mengenai wilayah yang berpotensi terdampak bencana, termasuk daftar kabupaten, kecamatan, dan desa yang berisiko. Informasi ini dapat diakses oleh masyarakat dan pemerintah daerah untuk mempermudah langkah antisipasi.

Sementara itu, Dwikorita juga mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap tanda-tanda awal bencana, seperti retakan tanah, rembesan air dari lereng, atau pohon yang tiba-tiba miring. Jika tanda-tanda ini terdeteksi, masyarakat diimbau segera meninggalkan lokasi rawan dan melapor kepada pihak berwenang.

Di sisi lain, masyarakat yang berada di pesisir diminta untuk menghindari aktivitas di dekat pantai saat terjadi pasang tinggi atau gelombang besar. Dwikorita yakin kolaborasi dan koordinasi antara BMKG, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat meminimalkan dampak bencana yang mungkin terjadi.

“Kita semua harus bekerja sama untuk memastikan keselamatan masyarakat. Informasi yang kami sampaikan bukan hanya untuk meningkatkan kewaspadaan, tetapi juga untuk membantu masyarakat mengambil langkah konkret dalam mengantisipasi bencana,” tutup Dwikorita. (*)

KLIK INI:  Saatnya Menghentikan Hilangnya Keanekaragaman Hayati