Alih Fungsi Lahan Gambut di Kalteng dan Ilusi Suram Masa Lalu

oleh -844 kali dilihat
Alih Fungsi Lahan Gambut di Kalteng dan Ilusi Suram Masa Lalu
Lahan gambut di Kalteng - Foto/Ekonomibisnis
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Rencana pemerintah untuk membagun proyek food estate di atas lahan gambut di Kalimantan Tengah (Kalteng) memang cukup mencemaskan. Meski, di satu sisi proyek ini dibuat sebagai bagian dari upaya mengatasi ancaman krisis pangan.

Fakta lainnya menunjukkan, cetak sawah di lahan gambut mengingatkan kita pada proyek gagal di era Soeharto yang dinamai Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalteng, tahun 1995. Tidak hanya gagal dan menghabiskan anggaran besar, proyek ini juga menimbulkan bencana ekologi serius hingga kini.

Pembuatan kanal besar-besar menyebabkan pengeringan gambut dan berdampak kebakatan tahunan dan bencana asap berulang sejak 1997. Saat penghujan, wilayah itu kebanjiran.

Tidak salah bila banyak pihak menilai rencana ini berpotensi jadi bencana lingkungan sebab merusak ekosistem gambut. Namun, atas nama rencana ketahanan pangan, pemerintah tampaknya serius menjalankan proyek ini.

KLIK INI:  5 Fakta Terbaru Perihal Mikroplastik yang Menggegerkan Jagat Raya, Yuk Waspada!

Melansir CNN Indonesia (11 Juni 2020), Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menargetkan optimalisasi 165 ribu hektare lahan di Kalimantan Tengah.

Lahan tersebut menurut Basuki merupakan lahan aluvial, bukan gambut, pada lahan Eks-Pengembangan Lahan Gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah. Pengembangan lokasi lumbung pangan baru sendiri menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.

Basuki mengungkapkan pengembangan program ini akan dilakukan bersama Kementerian BUMN melalui skema investasi. Dalam hal ini, Kementerian PUPR mengembangkan sarana dan prasarana dasar seperti perbaikan saluran irigasi di sekitar kawasan tersebut baik jaringan irigasi sekunder maupun primer.

Dari 165 ribu hektare lahan tersebut seluas 85.500 hektare merupakan lahan fungsional yang sudah digunakan untuk berproduksi setiap tahun. Sementara itu 79.500 hektare sisanya sudah berupa semak belukar sehingga perlu dilakukan pembersihan (land clearing) saja, tanpa perlu dilakukan cetak sawah kembali.

Kementerian PUPR mencatat, dari 85.500 hektare lahan fungsional, sekitar 28.300 hektare yang kondisi irigasinya baik. Sementara 57.200 hektare lahan lainnya diperlukan rehabilitasi jaringan irigasi dalam rangka program food estate dengan total kebutuhan anggaran Rp1,05 triliun.

KLIK INI:  Cerita dari Kampung, Tanaman Hias Keladi Tumbuh Bebas, Ambilnya Gratis Semaunya!
Kritik dan penolakan

Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) di Kalimantan Tengah belum lama ini melayangkan pernyataan keras dan penolakan atas proyek ini. Alasannya, rencana ini berpotensi menimbulkan masalah ekologi yang jauh lebih besar. Oleh sebab itu, koalisi meminta agar pemerintah belajar dari kesalahan masa lalu.

KMS yang terdiri dari Walhi, Auriga, Greenpeace, Pusaka, Save Our Borneo, JPIC Kalimantan dan LBH Palangkaraya menyebut kebijakan ini sebagai lagu lama Negara. KMS meminta dengan tegas agar pemerintah tidak lagi mengulangi kesalahan masa lalu. Pemerintah harus berhenti menggunakan pandemi sebagai alasan untuk mengeksploitasi gambut.

Melansir Mangobay (14 Mei 2020), Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan juga mengingatkan, agar pemerintah lebih berhati-hati melanjutkan proyek ini. Bila salah langkah, justru berpotensi menimbulkan kerugian lebih besar.

“Kita berkewajiban mengingatkan pemerintah, jangan sampai kegagalan pencetakan sawah di lahan gambut di masa lalu terulang kembali” kata Laode dikutip Mangobay.

KLIK INI:  Akhir Kisah Grandong, Pemakan Kucing Hidup-Hidup yang Menyebalkan

Kemitraan menyampaikan, pemerintah perlu belajar dari berbagai proses alih fungsi lahan gambut seperti jadi hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan sawit yang menyebabkan pengeringan terhadap jutaan hektar lahan gambut.

“Pengeringan ini menimbulkan kebakaran hutan dan lahan setiap tahun, menimbulkan kerugian besar secara ekonomi, kesehatan, dan sosial. Kerugian dari kejadian karhutla 2015 mencapai Rp221 triliun, sementara kerugian tahun lalu sampai Rp 73 triliun.” Lanjut Laode.

Nilai kerugian itu, katanya, di luar penghitungan sektor kesehatan, pendidikan, kehilangan plasma nutfah, emisi karbon.

Hal yang sama dikatakan Nyoman Suryadiputra, Direktur Wetlands Internasional Indonesia yang menjadi salah satu saksi hidup atas kegagalan proyek PLG secara sukarela.

KLIK INI:  Mengulik 13 Fakta Menakjubkan dari Urban Farming

Dia bilang, perlu ada kajian biofisik, sosial, ekonomi dan budaya yang lengkap. “Tidak boleh main-main dan tidak boleh sepotong-sepotong,” kata Nyoman dikutip Mangobay.

Kajian itu, kata Nyoman, paling sedikit selama satu tahun, untuk melihat pasti kondisi gambut pada dua siklus musim. “Kalau kita cuman liat sesaat, ini gambut dangkal tapi ternyata banjir saat musim hujan. Jadi harus melihat dari kacamata lebih luas dan komprehensif” jelasnya.

Menurutnya, kajian sosial ekonomi penting untuk mengetahui siapa yang akan mengerjakan lahan dan kesiapan masyarakat lokal kalau ada pendatang. Kajian sejarah juga penting untuk melihat apakah di lahan tersebut sudah mengalami penurunan permukaan lahan gambut subsiden dan bencana banjir serta kebakaran di sana.

Hal terpenting lain, katanya, pemetaan wilayah dalam penentuan pemanfaatan lahan gambut, dengan detail kesatuan hidrologi gambut (KHG) dan ketebalan gambut.

KLIK INI:  Tata Cara Penyusunan RPPEG Mulai Disosialisasikan

Nyoman mengatakan, kesalahan berulang jangan sampai terjadi apalagi Presiden Jokowi sebagai pencetus kelahiran BRG dan Indonesia pun memiliki komitmen dalam perubahan iklim. “Jika gambut dibuka untuk pertanian, pasti akan terjadi pelepasan emisi gas rumah kaca.”

Kebijakan ini perlu sangat hati-hati ini karena tidak sesuai regulasi pemerintah, seperti PP 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Peraturan Presiden No 1/2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut guna pemulihan ekosistem lahan gambut. Juga, Instruksi Presiden No 5/2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Langkah Pemerintah

Melansir Republika (11 Juni 2020), Kepala Balitbangtan Kementan, Fadjry Djufry, mengatakan, pembukaan lahan rawa sebagai food estate akan dimulai dari tahun ini. Sembari melakukan koordinasi antar kementerian serta melibatkan pakar di bidang rawa. Hal itu agar program food estate tidak mengalami kegagalan seperti yang terjadi di masa lalu.

“Kita tidak ingin mengulang kegagalan masa lampau. Ke depan kita berharap akan semakin bagus. Pengembangan akan fokus pada lahan mineral yaitu rawa lebak atau rawa pasang surut. Lahan gambut pilihan terakhir,” kata Fadjry.

Ia menjelaskan, lahan rawa memiliki karakteristik spesifik dan pengelolaan air menjadi kunci utama keberhasilan. Balitbangtan telah mengembangan dan menerapkan inovasi teknologi bidang rawa meliputi pembukaan lahan, tata air, alat mesin pertanian, serta varietas yang cocok.

Kementan, lanjut Fajdry, sudah berpengalaman dalam pembukaan lahan rawa di Sumatera Selatan dan diharapkan akan bermanfaat bagi pembukaan lahan rawa di Kalteng.

KLIK INI:  Bagaimana Membuat Suara Alam Terdengar dalam Pengadilan Kebijakan?

Namun, menurutnya, tak hanya aspek teknis yang dibutuhkan namun juga aspek non teknis yang berkaitan dengan sosial budaya setempat.

“Tidak mungkin kita bisa buka lahan rawa tanpa ada orang di sana. Kultur masyarakat juga menentukan keberhasilan pengembangan lahan rawa,” ujarnya.

Sementara itu, Wancino dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Kalteng dalam keterangannya ke Klikhijau (Sabtu, 11 Juni 2020) menegaskan, pihaknya tetap konsisten menyuarakan perlawanan.

“Kami terus melakukan upaya hukum dan kampanye penolakan atas proyek ini. Pemerintah semestinya belajar dari kegagalan masa lalu yang telah berdampak pada perubahan ekosistem dan kebakaran hutan massif. Juga kerugian sumber mata pencaharian dan korupsi SDA,” tegas Wancino.

Tidak hanya itu, alih fungsi lahan gambut juga telah memicu konflik antara manusia dan orangutan. “Secara tegas kami menolak keras, sebab masih banyak lahan non gambut yang potensial untuk cetak sawah,” tegas Wancino.

KLIK INI:  7 Film Dokumenter yang Dapat Memercikkan Rasa Cinta pada Gambut