Saatnya Menguatkan Literasi Melek Iklim

oleh -202 kali dilihat
Saatnya Menguatkan Literasi Melek Iklim
Anak-anak diajar di ruang kelas. Kredit foto: NeONBRAND / Unsplash

Klikhijau.com – Jelang hari bumi 22 April, sejumlah kalangan terus menyuarakan pentingnya menyatukan fokus pada satu isu global yakni perubahan iklim.

Mengapa ini urgen dan mendesak untuk disuarakan? Bumi telah mendekati fase paling pencemaskan akibat dampak perubahan iklim.

Oleh Profesor Emil Salim menyebut, dunia akan menjadi neraka bagi generasi mendatang bila kita gagal mewujudkan negative zero emission atau minus karbon.

Pernyataan tegas ini dituturkan Mantan Menteri Lingkungan Hidup pada 1978 sampai 1993 ini pada Net-Zero Summit 2021 yang diadakan secara virtual oleh Foreign Policy Community of Indonesia pada Selasa, 20 April 2021.

Mengutip prediksi para ilmuan, Emil Salim menegaskan bahwa jika tak ada upaya signifikan saat ini untuk mengupayakan penuruan emisi gas rumah kaca (GRK), maka pada tahun 2050, suhu bumi bakal naik tajam antara 1,5 hingga 3 derajat Celcius. Lalu pada tahun 2100 suhu bumi bakal naik 4-8 derajat Celsius.

Itu artinya, generasi pelanjut kita yang saat ini sedang berusia 5 tahun akan menemui masa tuanya (80 tahun) dalam situasi bumi yang sangat panas. Profesor Emil menyebutnya sebagai neraka bagi manusia. Tak hanya manusia, hewan dan tumbuhan pun akan mendekati kepunahan.

KLIK INI:  Film Semesta Tayang di Makassar, Balai Perubahan Iklim KLHK Nobar di Nipah Mall

Oleh sebab itu, kata Profesor Emil, negatif emisi pada saat ini merupakan keharusan. Pernyataan ini sekaligus sebagai warning pada pemerintah yang tampaknya tidak membuat target ambisius dalm capaian minus karbon.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bahkan menargetkan minus karbon yang lebih lambat yakni 2070.

Padahal, Emil Salim menegaskan perlunya ambisi lebih progresif lagi untuk mencapai negatif zero emmision justru di tahun 2050. Ini penting sebab Indonesia adalah salah satu negara yang terkena dampak perubahan iklim yang mengerikan. Karena kita negara kepulauan dan berada di khatulistiwa.

Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan juga termasuk yang bersuara keras dan mendesak agar Indonesia sejatinya harus dapat mencapai net-zero emission di tahun 2050.

“Bahkan kami minta di daerah tertentu sudah bisa mencapai net-zero emission pada tahun 2045, bersamaan dengan Indonesia Emas, seperti di Bali,” ujar Luhut, dikutip dari tulisan Untung Widyanto (wartawan lepas yang meliput Net-Zero Summit, 20 April 2021).

KLIK INI:  Menteri Siti: Pemda Berperan Penting Atasi Perubahan Iklim
Melek literasi iklim

Pada level akar rumput, anak-anak muda khususnya Gen-Z sudah sepatutnya menyuarakan aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lebih kuat lagi. Diperlukan semakin banyak influencer dari kalangan muda yang menyuarakan isu ini agar lebih massif dan memengaruhi pola pikir masyarakat secara luas.

“Sudah waktunya kita mengusung nasionalisme iklim (climate nationalism), yaitu dimana kecintaan dan kebanggaan kita terhadap bangsa Indonesia bersatu padu dengan perjuangan kita yang gigih untuk mencegah ancaman perubahan iklim terhadap masa depan Indonesia,” demikian pernyataan sikap Dino Patti Djalal dan Adhityani Putri (Dhitri), Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah di perhelatan Indonesia Net Zero Summit.

Mereka berpandangan bahwa jangka waktu untuk mencapai net zero yang paling tepat adalah 2050 dan bahkan 2045. Mereka juga berharap konsep net zero dapat menjadi suatu jargon publik dan politik yang merakyat.

Semangat anak-anak muda saat ini perlu diperluas dan dikolaborasikan lebih kuat lagi. Pertama, keterlibatan para komunitas untuk menyuarakan aksi-aksi perubahan iklim. Kedua, pentingnya mendorong penguatan literasi iklim baik itu melalui pendidikan formal maupun informal.

Isu-isu perubahan iklim sudah saatnya diintegrasikan lebih kuat lagi dengan kurikulum sekolah. Para siswa sejak di level pendidikan usia dini sudah harus diberi pemahaman yang lebih emndalam tentang lingkungan dan bagaimana hubungannya dengan ekononomi dan kehidupan sosial.

Dari laman Earthday.org, ditekankan bahwa literasi lingkungan menjadi penting khususnya di sekolah. Literasi  akan memungkinkan kaum muda memperoleh pengetahuan tentang literasi iklim dan berbagi informasi dengan komunitas dan keluarga mereka. Hal ini penting sebab dampak perubahan iklim justru dirasakan oleh penduduk yang rentan.

Ambisi yang meningkat pada literasi iklim akan memainkan peran kunci dalam mencapai emisi nol bersih dan akan memberikan perspektif dan solusi unik untuk generasi berikutnya untuk masalah lingkungan.

Dalam praktik lebih sederhana melek literasi iklim dapat kita jadikan sebagai suatu “diskursus wacana” dominan. Diskusi-diskusi intens mengenai perubahan iklim perlu dibuka seluas-luasnya begitu pula di sosial media.

Ayo terus bergerak, sebab sejatinya setiap hari adalah hari bumi!

KLIK INI:  Tentang Climate Quitting, Fenomena Resign Demi Lingkungan