Reforma Agraria dalam Perspektif Ekologi Politis

oleh -619 kali dilihat
Reforma Agraria dalam Perspektif Ekologi Politis
Aksi reforma agraria-Foto/Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Bagaimana reforma agraria dalam perspektif ekologi politis? Pertanyaan ini memulai artikel saya untuk melihat perdebatan publik hingga kini tentang kebijakan reformasi agraria.

Keseriusan pemerintah dalam menuntaskan konflik agraria salah satunya telah termaktub dalam penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018. Yaitu tentang Reforma Agraria yang mengatur tentang subjek penerima lahan agraria dengan tujuan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Pertanyaannya, apakah konsep reforma agraria ini dapat menuntaskan permasalahan atau malah menambah masalah?

Faktanya

Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa reformasi agraria di era ini hanya diterapkan melalui kegiatan pembagian sertifikat tanah. Dengan dalih agar masyarakat memiliki kuasa penuh atas tanahnya melalui legalisasi sesuai amanat hukum.

KLIK INI:  Mengapa Narasi Lingkungan Selalu Absen dalam Kontestai Politik?

Tentu tidak cukup jika reforma agraria hanya diwujudkan dalam bentuk pembagian sertifikat tanah.

Selain itu, problem yang terjadi di penjuru tanah air mengenai pembebasan lahan dan jenis konflik agraria lainnya masih dan bahkan makin masif terjadi.

Sehubungan dengan hal tersebut, berdasarkan data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tercatat pada 2017, terdapat 1.162 pengaduan kasus, 269 kasus atau 23,14% di antaranya terkait konflik agraria.

Data sejak tahun 2018 hingga April 2019 menunjukkan bahwa kasus agraria yang ditangani oleh Komnas HAM adalah sebesar 196 kasus. Tersebar dari 29 provinsi dengan sebaran paling banyak di Sumatera Utara (terindentifikasi 21 kasus di sektor perkebunan).

Lainnya ada di Jawa Barat (18 kasus di sektor infrastruktur), Jakarta (14 kasus di sektor infrastruktur), Jawa Timur (11 kasus di sektor perkebunan), Kalimantan Tengah (10 kasus di sektor perkebunan/kehutanan), Jawa Tengah (10 kasus di sektor perkebunan/kehutanan), dan Riau (8 kasus di sektor perkebunan/kehutanan).

KLIK INI:  Mudik dan Kampung yang Dikepung Sampah Plastik

Menilik data tersebut, sintesanya adalah reforma agraria yang digagas oleh pemerintah belum sepenuhnya terealisasi. Banyak kalangan yang menilai bahwa terdapat paradigma yang keliru dalam membaca dan menerjemahkan penyelesaian konflik agraria yang terjadi.

Dengan demikian, kasus yang terdeteksi hanya sampai pada tahap dasar permukaan dan ‘awang-awang’ saja, yaitu melalui pembagian sertifikat tanah. Padahal, kompleksitas persoalan agraria yang terjadi di lapangan juga sangat perlu menjadi perhatian bersama.

Secara umum, terdapat tiga bentuk krisis agraria yang dapat dianalisis. Diantaranya reforma agraria sesungguhnya terhenti pada ketimpangan penguasaan atas tanah, dan lingkup kasus eksploitasi sumber daya alam yang sangat masif, serta konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang terjadi tanpa adanya penyelesaian menyeluruh dan kerusakan ekologis yang memprihatinkan sehingga mengancam ekosistem alam menjadi hilang.

Hal tersebut menjadi indikasi awal perkembangan reforma agraria di tanah air. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, paradigma ekologi politis menjadi kajian dasar untuk melihat implikasi dari kekeliruan menterjemahkan kebutuhan masyarakat umum untuk kemaslahatan bersama.

KLIK INI:  Paradoks Pandemi, Ekologi dan Ekonomi
Paradigma pengelolaan sumber daya alam

Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat tiga jenis paradigma politik sumber daya alam antara lain paradigma konservasionis, paradigma developmentalis, dan paradigma eko-populis.

Secara singkat, berdasarkan pendapat dari Witter dan Bitmer, yang pertama, paradigma konservasionis yang secara umum menekankan bahwa alam difungsikan oleh manusia semata untuk pelestarian.

Kedua, paradigma developmentalis, bahwa alam digunakan oleh manusia untuk mensupportujuan pembangunan.

Ketiga, paradigma eko-populis menekankan pada cara pandang yang holistik bahwa manusia, flora-fauna, dan lingkungan pada hakikatnya adalah satu kesatuan ekosistem (Witter and Bitmer, 2005).

Paradigma-paradigma tersebut bersifat koheren dengan realitas pelaksanaan reforma agraria yang ada di Indonesia di era kontemporer ini. Pertanyaannya adalah, berdasarkan fakta yang terjadi, Indonesia menerapkan paradigma yang mana?

KLIK INI:  Pegiat Lingkungan: Jokowi Periode II Harus Perhatikan Ekologi dan Isu Kerakyatan

Berdasarkan hasil intrepretasi terhadap realitas, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma pembangunan bangsa ini masih bercorak developmentalis dan developmentalis–konservasionis.

Pertama, segi paradigma developmentalistis dapat dicontohkan pada kebijakan pemerintah yang ingin menjadikan Labuan Bajo sebagai wisata prioritas dengan merencanakan pembangunan infarstruktur demi meningkatkan investasi dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Caranya adalah dengan merelokasi bahkan menggusur masyarakat setempat.

Faktanya, masyarakat lokal menolak dengan alasan bahwa mereka tidak akan meninggalkan tanah leluhur yang sudah ditempati selama bertahun-tahun.

Selain itu, perubahan dalam segi sosial, budaya, ekonomi, barang tentu akan terpengaruh dan berubah secara signifikan jika itu terjadi.

Ini menandakan bahwa kedalaman analisis dalam mendedah permasalahan publik menimbulkan kontradiksi kepentingan bahwa keputusan pemerintah bertentangan dengan harapan masyarakat.

KLIK INI:  Upaya Yayasan Kehati dan Masyarakat Restorasi Bambu di Manggarai Timur

Kedua adalah paradigma developmentalis–konservasionis. Program pemerintah untuk menciptakan proyek peduli lingkungan atau sering disebut di media sebagai proyek hijau adalah fakta pelaksanaan kebijakan pembangunan menggunakan strategi ini.

Namun, dalam praktiknya, terjadi over-exploitation yang pada akhirnya justru berdampak negatif terhadap alam.

Propaganda yang digunakan adalah dengan menciptakan jargon-jargon hipokritis seperti eko-wisata, eco-park, dan sebaganya. Padahal, fakta terselubung di baliknya sangat mengesampingkan konsep environmental ethics.

Apa yang harus dilakukan?

Saat ini, sudah seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu menerapkan paradigma eko-populis. Ini penting demi terciptanya kesinambungan dalam hal pembangunan dengan tidak menghilangkan eksistensi alam dan lingkungan sebagai “teman asli manusia”, sehingga tercipta ekuilibrium antara manusia dan alam.

KLIK INI:  Cerita Sebatang Pohon Kelor di Muna yang Berdaun Putih Susu

Endapan historis bangsa Indonesia akan kebutuhan ekologisnya menjadi prioritas utama pemerintah dalam membaca kepentingan dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Apalagi di Indonesia, tergambar jelas masyarakat yang heterogen, memiliki keanekaragaman budaya, suku, adat, bahkan cara survive dan menjaga alam sekalipun.

Tentunya, hal ini mungkin dapat menjadi sekadar wacana ataupun dapat terimplementasikan sebagai bentuk manifestasi kehendak masyarakat. Namun, pekerjaan besar bangsa ini adalah melepaskan diri dari kungkungan lingkaran oligarki yang bermain begitu ciamik dengan mempengaruhi kebijakan.

Dampak yang sangat terasa adalah melalui produk kebijakan yang kontraproduktif dengan harapan masyarakat. Sehingga semata-mata hanya kelompok tertentu saja yang diuntungkan dengan laku kebijakan tersebut.

KLIK INI:  Memahami Suksesi Ekologi pada Ekosistem, Pengertian dan Jenisnya

Imbasnya terlihat melalui kebijakan dalam sektor agraria yang terasa kurang memihak pada alam dan manusianya. Efek naifnya adalah pengeksploitasian terhadap sumber daya yang sangat merugikan masyarakat.

Sebagai masyarakat sipil, pengawasan terhadap konteks pelaksanaan reforma agraria di negara kita harus dituntun untuk sesuai dengan paradigma eko-populis. Hal ini tentunya mengingat agar generasi berikutnya dapat merasakan dan memposisikan diri sebagai bagian dari alam.

Hal yang harus diubah sejak dini adalah pandangan umum terhadap alam. Meminjam pandangan Heiddeger dalam teori fenomenologinya yang mengkritik pandangan manusia modern di mana memandang alam sebagai sumber daya sehingga pikiran kita teracuni.

Manusia modern hanya memandang alam dari ungkapan fungsinya sehingga dengan tidak sadar implikasinya adalah pada tindakan mengeksploitasi alam.

Selain itu, pengawasan terhadap oligarki menjadi pekerjaan rumah bangsa ini. Horornya setan bernama oligarki tak hanya menjadi mimpi buruk bangsa ini, namun memang sudah menjadi kenyataan dan siapapun bisa dihantui dan kena imbasnya.

Dengan demikian, memperketat pengawasan terhadap setiap produk kebijakan publik harus menjadi perjuangan Bersama. Faktanya, kebijakan pemerintah yang bahkan dikatakan populis sekalipun pemenang dan rajanya tetap sama, yakni oligarki.

Itulah perspektif tentang reforma agraria dalam perspektif ekologi politis!

KLIK INI:  Ekologi, Pengertian, Ruang Lingkup dan Manfaatnya bagi Kehidupan