Kehilangan Keanekaragaman Hayati Mengancam Sistem Pangan

oleh -794 kali dilihat
Kehilangan Keanekaragaman Hayati Mengancam Sistem Pangan
Ilustrasi - Foto/SlideShare
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Seluruh dunia menyadari bahwa alam merupakan penyangga kehidupan bagi masyarakat bumi. Kehilangan keanekaragaman hayati berarti mengancam sistem pangan.

Itulah mengapa, tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni 2020 adalah “TIME FOR NATURE”. Sebuah topik yang relevan untuk menyadarkan kembali masyarakat internasional betapa manusia bergantung dengan alam, baik untuk kebutuhan pangan, udara bersih, air, bahan obat-obatan dan jasa lingkungan lainnya.

Selain itu, manusia juga perlu menyadari arti penting makhluk hidup lainnya seperti hewan (satwa) yang dalam berkehidupan saling bersinggungan sebagai makhluk penghuni bumi.

Dalam webinar yang diselenggarakan Food and Agriculture of the United Nations (FAO) di Roma tanggal 5 Juni 2020, Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu menyampaikan bahwa pandemi ini telah menunjukan ketergantungan yang sangat erat antara manusia, satwa dan lingkungan.

Menurut Qu Dongyu, kehilangan keanekaragaman hayati tidak hanya meningkatkan kerentanan manusia terhadap penyebaran penyakit. Namun juga menjadi ancaman yang serius bagi sistem pangan, produksi pertanian dan mata pencaharian masyarakat.

KLIK INI:  Bersama Komunitas, KLHK Peringati Hari Lingkungan dengan Bersihkan Sungai Ciliwung
Pengalaman Indonesia

Dalam Webinar tersebut, Indonesia diwakili Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Jenderal KSDAE, KLHK. Wiratno menyampaikan pengalaman Indonesia dalam mengelola keanekaragaman hayati melalui pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan dari aspek ekologi maupun sosial.

“Indonesia telah melakukan serangkaian tindakan korektif dalam mendukung penurunan laju deforestasi global melalui pengelolaan Karhutla dengan perbaikan peringatan dini, antisipasi dan mitigasi,” kata Wiratno.

Tindakan korektif lain, lanjut Wiratno meliputi penanganan perhutanan sosial dan pengelolaan keanekaragaman hayati di luar kawasan konservasi. Termasuk juga pengelolaan hutan berkelanjutan, rehabilitasi hutan dan lahan, penegakan hukum, serta pengelolaan gambut melalui moratorium izin baru.

“Indonesia juga sedang mendorong pemanfaatan secara tepat dan pengaturan muka air tanah dengan teknologi hidrologi,” jelas Wiratno.

Wiratno juga menyampaikan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dan pekerja di lapangan. Sejauh ini KLHK menggelar sejumlah penelitian berkerjasama dengan masyarakat sekitar kawasan hutan dalam melakukan bioprospeksi atau pemanfaatan sumber daya genetik yang mendukung kebutuhan pangan dan farmasi.

KLIK INI:  Berdaulat Pangan Melalui Keragaman Pangan Lokal

Sebagai contoh, penelitian Candidaspongia sp. di TWA Teluk Kupang untuk anti kanker. Dan penelitian mikroba berguna bagi tanaman di TN Gunung Ciremai yaitu Cendawan (Hursutella sp dan Lecanicillium sp).

Juga riset Isolat bakteri pemacu pertumbuhan (C71, AKBr1, dan AKS), dan Isolat bakteri antifrost (PGMJ1 dan A1).

“Pemanfaatan  ekosistem serta konservasi jenis dengan pendekatan ekowisata berbasis masyarakat dapat menjamin jasa ekosistem tersebut dapat berkelanjutan. Sebagai contoh Desa Saporkren dengan Pengamatan Burung Cendrawasih serta Ekowisata Tangkahan,” kata Wiratno.

Webinar ini juga menekankan pentingnya penguatan kerjasama dan kolaborasi dengan pendekatan One Health yang menjembatani kesehatan manusia, satwa, tumbuhan dan ekosistem.

Saat ini, FAO juga concern melakukan penelitian terkait pengelolaan tumbuhan dan satwa liar yang berkelanjutan serta perlindungan dan pencegahan manusia dan satwa dari ancaman penyakit.

Di forum ini ditegaskan pula bahwa tekanan yang berlebihan kepada alam telah meningkatkan resiko penularan penyakit dari satwa liar kepada ternak maupun dari hewan kepada manusia.

Oleh sebab itu, hubungan antara manusia, hewan dan lingkungan haruslah berjalan harmonis.

KLIK INI:  Sengkarut di Pesisir Takalar dan 6 Tuntutan Aliansi Selamatkan Pesisir