Menyimak 5 Pesan Penting dari Laporan IPCC AR6-WG II Perihal Krisis Iklim

oleh -342 kali dilihat
Menyimak 5 Pesan Penting dari Laporan IPCC AR6-WG II Perihal Krisis Iklim
Ilustrasi perubahan iklim/Foto-pixabay

Klikhijau.com – Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah merilis bagian kedua dari empat bagian Laporan Penilaian Keenam atau Sixth Assessment Report (AR6) hari ini 28 Februari 2022.

Laporan Kelompok Kerja II (WG II) ini adalah tinjauan paling komprehensif sejak IPCC merilis Laporan Penilaian Kelima (AR5) delapan tahun silam di 2014.

AR6 menjabarkan dampak dari krisis iklim serta sejauh mana kita dapat beradaptasi terhadapnya.

AR6 juga merangkum bagaimana perubahan iklim berdampak pada manusia dan ekosistem. Dibandingkan laporan-laporan IPCC sebelumnya, WG II lebih banyak mengintegrasikan ilmu ekonomi dan sosial, serta menekankan pentingnya prinsip keadilan sosial dalam beradaptasi dengan perubahan iklim.

Ada lima pesan utama tentang dampak perubahan iklim dan adaptasi di AR6 yang perkembangannya bisa kita amati sejak diterbitkannya AR5. Pesan-pesan tersebut adalah:

KLIK INI:  Studi: Krisis Iklim Harus Direspons seperti Pandemi Covid-19
  1. Perubahan iklim berdampak serius pada manusia dan ekosistem

Pada Agustus 2021, IPCC menerbitkan bagian pertama dari laporan penilaian ke-6 yang digarap oleh Kelompok Kerja I yang membidangi Ilmu Fisik  (WG I – Physical Science).

WG I menemukan bahwa gas rumah kaca dari aktivitas manusia telah menyebabkan pemanasan global sekitar 1,1°C pada periode 2010-19 dibandingkan dengan periode 1850-1900. Suhu bumi diperkirakan akan terus naik mencapai atau melebihi 1,5°C selama 20 tahun ke depan.

António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB melabeli laporan ini sebagai “kode merah” untuk kemanusiaan dengan menekankan bahwa perubahan iklim jelas merupakan hasil dari aktivitas manusia.

Pemanasan global 1,1°C telah berdampak dilihat dari peningkatan peristiwa cuaca ekstrim seperti gelombang panas, kekeringan dan banjir di seluruh dunia, termasuk peningkatan es yang mencair yang mencapai 600 Gigaton (Gt) per tahun.

Laporan Khusus tentang 1,5°C (SR1.5) menekankan bahwa dunia akan menghadapi dampak perubahan iklim yang parah bahkan dengan pemanasan 1,5°C. Dampak perubahan iklim akan semakin buruk secara signifikan jika pemanasan global mencapai 2°C atau lebih tinggi.

WGII menjabarkan, berdasarkan penelitian terbaru, pemanasan global 1,5°C akan memiliki konsekuensi serius yang tidak dapat diubah kembali, seperti hilangnya spesies dan bioma yang berbahaya bagi manusia bagi ketahanan pangan, keamanan dunia.

KLIK INI:  Membaca Pesan dalam Trilogi Buku "Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim"
  1. Cuaca ekstrem menyebabkan kerusakan terburuk di bumi

Banyak fenomena cuaca ekstrem yang dialami dunia pada tahun 2021 terkait dengan perubahan iklim yang dipicu oleh perilaku manusia. Gelombang panas Pantai Pasifik pada Juni 2021 ‘hampir tidak mungkin’ terjadi tanpa perubahan iklim.

Perubahan iklim membuat kebakaran hutan besar-besaran di California dan Oregon, panas ekstrem di Mediterania, dan banjir parah yang di Eropa Barat.

Pada bulan September, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) menyimpulkan, kekeringan paling parah dalam sejarah di barat daya AS dipicu oleh perubahan iklim.

Sementara itu di Siberia, kebakaran hutan melepaskan CO2 sebanyak yang dihasilkan Jerman dalam setahun. Pada bulan November, hujan lebat dan banjir di British Columbia diperburuk oleh perubahan iklim. Banjir ini memaksa 17.000 orang mengungsi dari rumah mereka.

AR6 juga secara jelas memaparkan bahwa masyarakat yang termiskin dan paling rentan di dunia menghadapi risiko yang lebih besar, termasuk risiko kematian dan konsekuensi kesehatan lainnya akibat cuaca ekstrem.

Dalam 10 tahun terakhir, kematian akibat banjir, kekeringan dan badai mencapai 15 kali lebih tinggi di sebagian besar Afrika dan sebagian besar Amerika Tengah, dibandingkan dengan negara-negara barat dan utara Eropa.

KLIK INI:  Mencegah Karhutla Berarti Menyelamatkan Jutaan Nyawa

AR6 mencatat, antara tahun 1970 dan 2019, lebih dari 91% kematian akibat bahaya cuaca, iklim, dan air di seluruh dunia terjadi di negara-negara berkembang.

Penelitian juga menemukan meningkatkan beban kesehatan mental akibat cuaca ekstrem. Gangguan stres pasca-trauma, kecemasan, kesedihan, dan rasa bersalah bagi yang selamat adalah sejumlah gangguan kesehatan mental yang diamati pada orang-orang yang terdampak cuaca ekstrem.

Kelangkaan sumber daya, kerusakan infrastruktur dan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan wabah penyakit akibat cuaca ekstrem juga mendorong migrasi dan perpindahan manusia dalam skala besar.

  1. Dampak krisis iklim semakin parah

Risiko iklim yang berdampak negatif pada ekosistem akan semakin membatasi jasa yang diberikan oleh ekosistem ini ke masyarakat. Masyarakat akan merasakan berkurangnya akses ke energi, semakin maraknya gangguan kesehatan, berkurangnya pasokan air, hingga gangguan pada sistem perdagangan internasional yang penting untuk memastikan pasokan pangan.

Penelitian menunjukkan, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, terjadi di 80% luas daratan dunia, di mana 85% populasi tinggal. Dampak ini akan menyebar melintasi batas-batas negara, melalui rantai pasokan global yang semakin terganggu oleh dampak iklim.

KLIK INI:  Perlu Waspada, Bakteri Mematikan Semakin Menyebar karena Perubahan Iklim

Sistem produksi pangan juga terus berada di bawah tekanan perubahan iklim. Aktivitas manusia telah mengubah 75% lahan di Bumi, dan hampir 75% sumber daya air tawar kini dipakai khusus untuk produksi tanaman atau ternak.

Sementara 25% dari total luas daratan dunia saat ini telah terdegradasi. Degradasi lahan telah mengurangi produktivitas lahan dunia sebesar 23%, pada saat produksi tanaman pertanian global meningkat 300% sejak tahun 1970-an.

Laporan Khusus tentang Tanah atau Special Report on Land (SRCCL) dari IPCC memperkirakan, tingkat erosi tanah di lahan pertanian mencapai 10-20 kali lebih tinggi (tanpa pengolahan tanah) dan lebih dari 100 kali lebih tinggi (dengan pengolahan tanah konvensional) dibanding laju pembentukan tanah.

Para ilmuwan telah memperingatkan 24 miliar ton tanah subur hilang setiap tahun, sebagian besar karena praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Jika tren ini terus berlanjut, 95% wilayah daratan Bumi dapat terdegradasi pada tahun 2050.

Peningkatan suhu akan terus berdampak pada produksi pangan. Harga biji-bijian (seperti beras, tepung gandum, jagung, sorgum dan sebagainya) diperkirakan akan naik hingga 29% pada tahun 2050, tergantung tingkat pemanasan global.

Hal ini tentunya akan berdampak pada konsumen secara global, terutama konsumen berpenghasilan rendah dan kelompok yang berisiko khusus kekurangan gizi.

KLIK INI:  Mikroplastik Telah Menyusup ke Awan dan Jadi Pemicu Perubahan Iklim?

Tidak berhenti di sini, data dari Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), satu juta spesies hewan dan tumbuhan kini terancam punah dalam beberapa dekade ke depan sebagai akibat dari perubahan iklim dan degradasi lahan. Jumlah ini lebih banyak dibanding periode kapan pun dalam sejarah manusia.

Saat ini, hanya 15% daratan dan kurang dari 8% lautan yang mendapatkan status ekosistem yang dilindungi. IPBES menyimpulkan bahwa hilangnya ekosistem telah membuat komunitas manusia lebih rentan terhadap dampak iklim. Tumpang tindihnya perubahan iklim dengan tekanan non-iklim seperti perubahan penggunaan lahan, penggundulan hutan, pembangunan infrastruktur, ekstraksi sumber daya, penangkapan ikan yang berlebihan dan polusi akan terus mengancam ekosistem dan mata pencaharian masyarakat.

Perubahan iklim saat ini mempengaruhi setidaknya 10.967 spesies dalam Red List of Threatened Species atau Daftar Merah Spesies Terancam Punah dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Satu anak jenis tikus di Great Barrier Reef di dekat Papua Nugini menjadi mamalia pertama yang dilaporkan punah akibat perubahan iklim.

Sejak AR5, lebih banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kelompok marginal, baik secara ekonomi maupun sosial, menjadi kelompok yang terkena dampak iklim pertama dan paling parah, baik di wilayah selatan dan utara dunia.

Perubahan iklim dapat menggerus PDB hingga 64% di negara-negara paling rentan di dunia, dan dampak perubahan iklim dapat semakin memperburuk marginalisasi dan ketidakadilan.

Dalam skala global, penelitian terbaru menunjukkan, jika gas rumah kaca terus baik seperti lintasannya saat ini, 215 juta penduduk miskin perkotaan di seluruh dunia akan terpapar suhu rata-rata musim panas di atas 35 °C – naik delapan kali lipat dari hari ini – yang akan meningkatkan risiko kematian akibat panas.

KLIK INI:  Energi Penyelamat Bumi itu Bernama Mangrove, Teruslah Menjaganya!

Bahaya iklim juga dapat diperparah oleh perilaku manusia yang lain, seperti polusi, fragmentasi habitat, dan degradasi lingkungan.

Misalnya, suhu tinggi yang berkelanjutan yang menurunkan kelembaban tanah akan mengganggu pertumbuhan tanaman, mengurangi curah hujan, yang pada akhirnya menyebabkan kekeringan lebih panjang di Afrika bagian selatan dan tengah selama dekade terakhir sebagai akibat dari perubahan iklim.

Kombinasi kekeringan dan gelombang panas juga telah menyebabkan kebakaran hutan dan dalam beberapa kasus, diikuti oleh hujan lebat dan tanah longsor di California, dalam beberapa tahun terakhir.

Literatur akademis yang mengeksplorasi hubungan kompleks antara perubahan iklim, cuaca ekstrem, migrasi, dan konflik juga semakin berkembang. Perang saudara di wilayah Darfur di Sudan adalah contoh konflik yang menurut para peneliti diperburuk, atau bahkan dipicu, oleh perubahan iklim.

Pada tahun 1983-84, kekeringan memicu kelaparan yang menewaskan lebih dari 100.000 orang dan menyebabkan migrasi ekologi massal, terutama menuju Darfur selatan. Ketika orang bermigrasi ke berbagai daerah, polarisasi etnis mengganggu kerukunan daerah dan memicu konflik.

KLIK INI:  Pencitraan Bisa Menyesatkan Pengelolaan Lingkungan
  1. Adaptasi sangat penting dan jauh lebih diperlukan

Adaptasi dan keanekaragaman hayati terkait erat. Penerapan solusi berbasis alam (NbS) dapat menciptakan manfaat tambahan untuk adaptasi perubahan iklim, untuk alam, dan kontribusinya bagi manusia. Pada tahun 2021, IPBES dan IPCC menemukan bahwa salah satu manfaat tambahan terbaik yang terdokumentasi dari adaptasi adalah dampak positifnya terhadap kesehatan penduduk, baik fisik maupun mental. Hal ini terjadi misalnya saat pemerintah berinvestasi di infrastruktur berbasis alam dan infrastruktur hijau di perkotaan.

Demikian pula, dengan upaya adaptasi melalui pemulihan bakau yang menyimpan stok 6 miliar ton karbon dan melindungi penduduk dari banjir dan erosi. Biaya adaptasi melalui pemulihan mangrove ini dua hingga lima kali lebih murah dibanding perlindungan kenaikan permukaan laut melalui rekayasa konvensional. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, India, Bangladesh dan Sri Lanka, berinvestasi dalam restorasi mangrove.

Namun terlepas dari manfaat adaptasi, sebagian besar pendanaan iklim masih diarahkan untuk upaya mitigasi. Kesenjangan antara jumlah dana publik dan swasta yang mengalir ke negara berkembang dan jumlah yang dibutuhkan juga masih sangat lebar. Biaya adaptasi di negara berkembang diperkirakan akan naik lima hingga 10 kali lebih besar dibanding pendanaan adaptasi publik saat ini. Semakin tinggi peningkatan suhu bumi semakin besar pula defisit pendanaan adaptasi.

KLIK INI:  Presiden Jokowi: Sebagai Negara Kepulauan Indonesia Sangat Berdampak Perubahan Iklim
  1. Biaya kegagalan beraksi akan melampaui biaya mitigasi dan adaptasi

Studi telah menemukan PDB per kapita dunia akan naik 5% lebih tinggi pada tahun 2100 jika suhu stabil pada 1,5°C di atas suhu pra-industri dibanding jika suhu naik 2°C.

Hal ini berarti, membatasi pemanasan global hingga 2°C – dan bukan 4°C – dapat menghemat $17,5 triliun per tahun pada tahun 2100. Sebaliknya, kerugian akibat kegagalan beraksi membatasi pemanasan global hingga 1,5°C meningkat secara drastis – dari $1,3 triliun per tahun tanpa aksi di 2010 menjadi lebih dari $5 triliun per tahun pada 2020.

Adaptasi sudah terjadi dan akan semakin sulit dengan pemanasan yang lebih besar. Kerusakan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim dan cuaca ekstrem sudah cukup signifikan: Biaya krisis iklim di Amerika Tengah pada tahun 2010 berkisar dari 2,9% PDB untuk Guatemala hingga 7,7% untuk Belize. Siklon Tropis Pam menyebabkan kerugian dan kerusakan pada sektor pertanian Vanuatu yang nilainya diperkirakan mencapai 64,1% dari PDB pada tahun 2015. Sementara Badai Maria menyebabkan kerugian dan kerusakan sebesar 224% dari PDB Dominika pada tahun 2016.

Hampir setengah dari populasi global sudah tinggal di daerah yang berpotensi kekurangan air setidaknya satu bulan dalam setahun. Jumlah penduduk yang kekurangan air ini dapat meningkat hingga 4,8 miliar – 5,7 miliar penduduk pada tahun 2050.

*Sumber

KLIK INI:  Wu, Pendaki Seksi yang Berpulang Usai Jatuh ke Jurang di Taiwan