- Siap-siap, Mobil Penghasil CO2 Bakal Dihapus - 28/03/2023
- Sederet Tanaman Hias yang Bisa Berpuasa dari Sinar Matahari - 28/03/2023
- DPR Didesak Hentikan Solusi Palsu Energi Baru dalam RUU EBET - 27/03/2023
Klikhijau.com – Rahman Arge lahir pada tanggal 17 Juli 1935 di Makassar. Selain berprofesi sebagai penulis, Rahman Arge juga adalah seorang wartawan dan politisi.
Semasa hidupnya ia cukup produktif. Ia tidak hanya menulis cerpen dan puisi, tapi juga menulis naskah teater. Ia bahkan mampu menghasilkan 11 naskah teater.
Dalam hal teater, Rahman Arge tidak hanya menulis naskah, tapi juga terlibat dalam sebagai pemain dan sutradara.
Ia pernah meraih Piala Citra sebagai aktor. Sebagai politisi, ia pernah satu periode menjabat anggota legislatif. Rahman juga mewakili NU di DPRD Sulawesi Selatan selama tiga periode dari tahun 1977-1992.
Dalam hal puisi’, Rahman Arge juga telah melahirkan banyak puisi, salah satu buku puisinya Jalan Menuju Jalan, kumpulan puisi tersebut diterbitkan oleh Rumah Karya Arge pada tahun 2007. Buku kumpulan puisi tersebut memuat beberapa puisi yang beraroma alam, berikut puisinya:
Nyanyian Anak Gunung
Dari pucuk Lebong anak bukit Malino
Senja mengapung
Dapat kulihat punggung-punggung bangau
Terbang pulang dari sawah-sawah
Lihat, anak-anak sedang menari
Bersama halimun; dijemputnya
Para sahabat alam
Hinggap di sarang-sarang bambu
Berjingkrak-jingkrak anak-anak bernyanyi:
Kondo buleng, kondo buleng
Pangngekeanga bulaeng
Arrappopi asengku
Nakusareko sisikko…*
Ketika tamak orang-orang kota
Menusuk ke bukit-bukit
Punahlah hati bertaut
Bangau-bangau dan anak-anak
Malam turun di bukit Lebong
Halimun berarak arah ke timur
Menyisakan nyanyian
Yang berangsur menjadi
Isak tangis…
Bukit Lebong, Malino, 2007
* Nyanyian rakyat Gowa, terjemahan: “Bangau putih, bangau putih/Galikan buatku emas/Kelak padiku berbuah/Kuberi engkau seikat”
Perempuan di Pantai Paotere
angin pantai ujung tanah
menari bersama
gelepar kerudungmu
pucuk-pucuk gelombang
pecah
di buritan pinisi
usia bertahan pada musim
menabur jejak panrita*
dalam waktu
tak kulihat lagi
tepi pulau Barranglompo
ketika
kerudungmu melintas laut
dan angin menjelma diriku
saling gapai dengan
bayangmu
di riak ombak
Teluk Makassar
biar hanya bayang, bayangmu
usia bertahan
di gugur setiap
musim
Makassar, 1976
*Panrita : Guru Nakhoda Pinisi
Kupu-kupu
Senja menuntunku ke puncak bukit
Seekor kupu-kupu hinggap
di bunga bakung
Sama-sama kami mencari jalan
Menuju kaki langit
Nikko, 1981
Danau Chyuzenji
Gunung-gunung mengepung rapat danau Chyuzenji
Siapakah yang meletakkannya di sini?
Perahu membawaku ke seberang
Dan kurasa ada yang menggeliat di bawah sana
Nikko, 1981