Menanti Perwujudan Keadilan Iklim Demi Bumi dan Rakyat Indonesia!

oleh -38 kali dilihat
Menanti Perwujudan Keadilan Iklim yang Menyelamatkan Bumi dan Rakyat Indonesia!
Ilustrasi kandidat Capres 2024 - Foto: Sindonews

Klikhijau.com – kandidat Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) akan melangsungkan debat yang mengangkat isu pembangunan berkelanjutan, lingkungan hidup, energi, sumber daya alam, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa.

Sayangnya, isu keadilan iklim belum masuk menjadi tema khusus di dalam debat nanti. Hal ini menunjukkan adanya persepsi yang menyepelekan urgensi perubahan iklim sebagai sebuah krisis yang nyata telah terjadi dan akan terus mengancam kehidupan manusia.

Krisis iklim hanya dipandang sebagai isu ‘tempelan’ dari isu-isu lainnya. Mengingat peran krusial Presiden-Wakil Presiden terpilih dalam pengambilan kebijakan iklim ke depan, masyarakat sipil di Indonesia menuntut agar isu keadilan iklim dibahas secara khusus dalam debat keempat Capres dan Cawapres.

“Krisis iklim wajib masuk dalam debat karena merupakan permasalahan lingkungan hidup terbesar yang dihadapi Indonesia. Kaum muda sebagai pemilih terbanyak harus memprioritaskan isu ini dalam Pemilu karena yang akan merasakan dampak terparahnya hingga di masa depan.” ujar Decmonth Pasaribu dari Extinction Rebellion Indonesia.

Di Indonesia, krisis iklim telah memicu terjadinya cuaca ekstrem dan bencana iklim yang berdampak buruk terhadap kehidupan rakyat Indonesia, termasuk diantaranya gagal panen dan memburuknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Kerentanan Indonesia terhadap dampak krisis iklim adalah yang ke-3 tertinggi di dunia (Bank Dunia, 2021).

KLIK INI:  Konservasi Harimau Sumatra dengan Kearifan Lokal “Inyiak Balang”

Ancaman kerentanan tersebut mencakup juga kerusakan ekosistem laut dan hilangnya pulau-pulau kecil serta kampung-kampung pesisir di Indonesia. Kegagalan Indonesia mengantisipasi krisis iklim, menurut laporan Sintesis IPCC AR6 akan berdampak pada kerugian ekonomi nasional hingga 7% pada tahun 2100.

Pada akhirnya, dampak dari kegagalan menangani krisis iklim mesti ditanggung oleh kelompok rentan yang selama ini berkontribusi paling kecil atas peningkatan emisi gas rumah kaca.

Kendati dokumen visi-misi Capres-Cawapres menyebutkan beberapa kata kunci terkait persoalan krisis iklim, tetapi tidak ada peta jalan (roadmap) yang jelas untuk menyelesaikan akar persoalan dari krisis iklim.

Krisis iklim tidak dapat dijadikan isu ‘kedua’ dan haruslah menjadi pembahasan tersendiri karena telah menyebabkan kehilangan, kerusakan dan kerugian yang tidak sedikit dan mungkin tidak dapat dipulihkan bagi rakyat Indonesia.

Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan menekankan pada keterbatasan akses, kontrol, dan penguasaan terhadap sumber daya membatasi kemampuan masyarakat khususnya kelompok rentan untuk beradaptasi dengan dampak krisis iklim.

“Agenda Politik Feminis Perempuan harus menjadi substansi dalam visi misi dan platform jangka Panjang dari produk politik 2024. Memastikan Gender Action Plan yang berkekuatan hukum dan menjamin akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan masyarakat rentan serta mengakui pengetahuan dan pengalaman perempuan di dalam kebijakan dan aksi aksi iklim yang tidak eksploitatif dan bersumber dari dana utang“, ujarnya.

KLIK INI:  Gakkum KLHK Gagalkan Perdagangan Ilegal Gading Gajah dan Opsetan Harimau

Pengembangan adaptasi saat ini tidak berorientasi pada ekosistem pulau-pulau dan manusia yang tinggal di dalamnya. Sejumlah proyek bernuansa adaptasi seperti reklamasi pantai justru merusak ekosistem asli yang semestinya dipulihkan bahkan menghasilkan penggusuran.

Pembangunan di sektor pangan yang semestinya berorientasi pada mengatasi dampak perubahan iklim yang berbeda-beda pada kepulauan Indonesia, diseragamkan lewat proyek-proyek food-estate. Hal ini justru malah menimbulkan kerentanan baru karena pembukaan lahan yang besar dan monokultur serta berpotensi menimbulkan risiko pada ketahanan dan kedaulatan pangan. Adaptasi semestinya melindungi dampak perubahan iklim melalui ketahanan ekosistem dan keanekaragaman hayati lokal serta melindungi hak komunitas sambil meningkatkan kapabilitas masyarakat lokal agar mampu beradaptasi,” tegas Torry Kuswardono dari Yayasan PIKUL.

Krisis iklim juga memperpanjang ketidakadilan yang sudah ada atau bahkan membentuk ketidakadilan baru melalui upaya mitigasi dan adaptasi yang tidak partisipatif, inklusif, serta berlandaskan solusi-solusi palsu. Satrio Manggala, Manajer Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI Eksekutif Nasional menekankan pada pentingnya mendesak komitmen para kandidat capres pada debat ke-IV terhadap aksi iklim yang partisipasif dan inkusif, bukan dengan skema palsu mitigasi iklim.

“Menghentikan solusi palsu yang mengatasnamakan proyek mitigasi perubahan iklim seperti ekspansi tambang nikel yang membabat kawasan hutan. Dalam catatan WALHI, pembukaan kawasan hutan untuk konsesi tambang nikel jumlahnya naik dari kurang lebih 700.000 Ha menjadi 1.000.000 Ha pada tahun 2023. Harusnya solusi yang dijalankan untuk mitigasi perubahan iklim berbasis pada kebutuhan rakyat, dilakukan secara partisipasi dan inklusif.” Tegasnya.

Ketidakadilan iklim juga diperparah oleh minimnya regulasi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip keadilan iklim terarusutamakan dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan. Masih banyak peraturan yang tumpang-tindih dan belum menjadi jawaban terhadap kerusakan lingkungan, masih mengutamakan kegiatan padat karbon, dan minim dukungan terhadap adaptasi.

Para kandidat harus menunjukkan komitmen untuk mewujudkan keadilan iklim, salah satunya melalui pembentukan regulasi dan kebijakan yang menempatkan keadilan iklim sebagai inti.

“Prinsip-prinsip keadilan iklim perlu diarusutamakan dan dimandatkan oleh suatu regulasi yang mendorong distribusi akses dan kelola sumber daya. Sayangnya ini belum menjadi fokus kebijakan dalam visi-misi para kandidat. Oleh karena itu, kebijakan yang berlandaskan keadilan iklim harus menjadi tawaran solusi menangani perubahan iklim karena mencegah pembuatan kebijakan iklim yang bersifat parsial, mengingat perubahan iklim adalah masalah struktural. Adanya Undang-Undang Keadilan Iklim dapat membantu pengambil kebijakan untuk melihat dan mewujudkan prakondisi serta pendukung utama solusi krisis iklim secara berkeadilan seperti akses informasi, akses partisipasi, pengakuan dan perlindungan masyarakat rentan, penguatan penegakan hukum, serta distribusi manfaat di skala lokal.” ujar Syaharani, Peneliti ICEL.

KLIK INI:  Perdagangan TSL Berbasis Online Kian Marak, RUU KSDAHE Perlu Segera Disahkan