DAS Bermasalah Jadi Penyebab Utama Banjir di Sulsel

oleh -235 kali dilihat
DAS Bermasalah Jadi Penyebab Utama Banjir di Sulsel
Menteri LHK, Siti Nurbaya
Irhyl R Makkatutu

Klikhijau.com – Ia sedang duduk di depan diapit empat lelaki. Dua di sebelah kanannya dan dua di sebelah kirinya. Sesekali ia mencairkan suasana dengan candaan, yang membuat para hadirin tertawa. Tapi, pada waktu yang lain ia sangat serius.

Perempuan itu bukan perempuan biasa, ia adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di negeri ini.

Kacamata tak pernah lepas dari matanya. Semua mata seolah tertuju padanya. Siang itu di salah satu ruangan di kantor Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sulawesi dan Maluku (P3E Suma).

Perempuan bernama Siti Nurbaya tersebut sedang datang menunaikan tugasnya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.

Sepertinya itu adalah kunjungan pertamanya ke Sulsel. Bencana banjir dan tanah longsor seolah mengajaknya untuk mengunjungi Makassar dan Gowa. Kunjungannya sebagai bentuk keprihatinan atas apa yang menimpa Sulsel.

KLIK INI:  Analisis Pakar: Selain Kebijakan, 3 Hal Ini Perlu Dilakukan Menangani Hulu Sungai Bermasalah

Hari itu, Jumat 1 februari 2019 Siti Nurbaya  memimpin Rapat Koordinasi Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dan Penanggulangan Banjir Tanah Longsor di Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2019 ini.

Ia berkunjung ke Makassar dan Gowa untuk melihat langsung hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Saddang. Katanya DAS harus dilihat secara utuh sebagai lanskap

Menurutnya, yang berkepentingan dalam pemanfaat sumber daya alam adalah pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan akademisi. Dan yang paling tinggi dalam menilai atau menentukan lingkungan itu adalah akademisi, sebab akademisilah yang menganalisa.

“Jadi hari ini saya datang untuk melihat bagian hulu, sebab informasi yang beredar penyebab utama banjir ini karena ada yang salah di hulu DAS, dan setelah itu saya minta analisis dan datanya,” kata Siti, Jumat, 1 Februari 2019

Pada tanggal 26 Januari 2019 Klikhijau.com memuat berita dengan judul Makassar, Kota yang Dikepung DAS Bermasalah.

Dan memang benar,  Makassar dan sekitarnya dikepung DAS bermasalah, di antaranya Gowa dan Maros. Terbukti bulan lalu, ketiga daerah bertetangga itu diserbu banjir.

KLIK INI:  Walhi Sulsel Perkuat Gerakan Lingkungan Hidup Melalui Pelatihan Paralegal Lingkungan

Sembilan tahun yang lalu, Kompas.com pernah menulis bahwa hutan DAS Jeneberang  tinggal 8.259 hektar, artinya 13,3 persen dari luas wilayah DAS Jeneberang yang 61.733 hektar.

Jumlah itu jauh dari batas normal sebesar 47,22 persen, seperti dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Kawasan hutan terus berkurang sejak pertengahan tahun 1990-an akibat alih fungsi lahan. DAS Jeneberang didominasi pertanian lahan kering seluas 29.334 hektar (47,52 persen). Lahan semak belukar lebih luas dari hutan, yakni 12.530 hektar (20,3 persen).

Dan sekarang ini berdasarkan data, dari 303 ribu hektare lahan di wilayah aliran sungai sebanyak 103 ribu hektare merupakan lahan tanaman pertanian satu musim.

Untuk Gowa sendiri, sejak 2015, Siti mengaku melihat kerusakan hutan dan khawatir lantaran ada pembangunan di sloping zone, di lereng.

KLIK INI:  Banjir, Potret Buruk Manajemen Tata Kelola Lingkungan

“Waktu itu, saya minta unit konservasi perhatikan Malino, Gowa, karena saya sangat khawatir. Karena Malino memang lagi membangun sebagai wilayah wisata, jaraknya juga gak jauh dari Makassar,” ungkapnya.

Maka langkah yang diambil untuk penyelamatan, yakni penanganan kembali lahan semusim menjadi annual plant dan penataan ulang penanamannya, jika memungkinkan harus ada hutan sosial.

Semua harus kerja keras, dan mengubah cara berpikir aparat untuk melihat DAS sekaligus mengupayakan anggarannya.

“Tidak boleh hanya lihat anggaran APBN saja, karena ada juga kewajiban-kewajiban pemegang izin untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan. Itu juga akan kita intensifkan. Kalau perbandingan lahannya 200 ribu hektare se-Indonesia, untuk tahun ini kita dukung dengan dana perizinan itu sebenarnya bisa 400 ribu hektare,” terangnya.

Siti melihat bahwa intensitas bencana alam di Indonesia sangat tinggi selama periode 2016-2018, kejadian banjir dan longsor sudah di atas 40 kali per tahun.

“Kan ada bulan basah, jika bulan basah hanya 4-5 bulan setahun, berarti intensitas bencana sangat tinggi,” ujarnya.

Dan untuk mengantisipasi itu, siti mengatakan, dibutuhkan membangun forest management unit, yang dinamakan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) untuk mencegah bencana alam ke depannya.

KLIK INI:  Cara Unik Warga Kelurahan Dorotangga NTB Lawan Penyebaran Covid-19