Agroekologi Sebagai Alternatif untuk Mengatasi ‘Climate Change’

oleh -157 kali dilihat
Agroekologi Sebagai Alternatif Untuk Mengatasi Climate Change
Salah satu embung pertanian Desa Kanreapia-foto/Ist
Wahyu Eka Styawan
Latest posts by Wahyu Eka Styawan (see all)

Klikhijau.com – Pada laporan IPCC tentangClimate Change and Land (2019), telah memperkirakan bahwa secara global, sektor pertanian bertanggung jawab secara langsung atas 8,5% dari seluruh emisi gas rumah kaca dan 14,5% lainnya berasal dari perubahan penggunaan lahan.

Hal ini juga disampaikan pada gelaran COP26 di Glasgow dilaporkan bahwa ada peningkatan sekitar 17% emisi global berasal dari sektor pertanian dan produksi pangan, kondisi tersebut telah terjadi selama tiga dekade terakhir.

Lalu, jika merujuk pada laporan FAO pada tahun 2019 berjudul “The share of agri-food systems in total greenhouse gas emissions Global, regional and country trends 1990–2019” mengatakan jika porsi sistem pertanian-pangan dalam total emisi gas rumah kaca menurun dari 40% menjadi 31% antara tahun 1990 dan 2019, tetapi emisi dari sistem ini meningkat sebesar 16%.

Secara lebih detail, bahwa sistem pertanian dan pangan global menyumbang sekitar 17 miliar ton emisi karbon atau turut berkontribusi sekitar 31% dari total emisi global. Sektor pertanian di Indonesia sendiri menyumbang sekitar 2,4% emisi pertanian global, dengan sektor pertanian padi yang menyumbang sekitar 57,88% dari total emisi pertanian nasional.

KLIK INI:  Dukung Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim, Pemain Sampdoria Ubah Nomor Jersey

Sementara pada laporan lain berjudul “Profil Carbon Brief: Indonesia” yang diterbitkan oleh CarbonBrief, menyebutkan jika pada rentang tahun 2015 sampai 2021, sektor pertanian Indonesia mengeluarkan sekitar 2,31 miliar ton setara CO2 (CO2e).

Sektor pertanian padi telah menjadi penyumbang terbesar emisi tersebut, diikuti oleh emisi dari fermentasi enterik pada ternak dan emisi dari sektor pertanian lainnya. Ketergantungan pada metode pertanian industrial telah memperburuk jejak lingkungan pertanian di negara ini.

Sebagai contoh proyek revolusi hijau yang dijalankan pada era orde baru, lalu proyek intesifikasi pertanian serta food estate pada era SBY, dan yang terbaru proyek food estate pada era Jokowi yang kemudian dilanjutkan pada era Prabowo.

Pertanian monokultur pada program intensifikasi, lalu ditambah dengan deforestasi pada program food estate. Paling tidak praktik semacam ini menggunakan metana dan diesel secara langsung melalui alat-alat berat untuk membuka lahan pertanian serta proses produksinya, ditambah dengan penggunaan pupuk sintetis dan bahan bakar fosil, menjadikan Indonesia sebagai penyumbang, karbondioksida, metana dan dinitrogen oksida yang cukup signifikan.

KLIK INI:  G20 Sepakati Kerjasama Peran Lautan dalam Peningkatan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim

Problem Pangan yang Diteruskan

Pada dasarnya praktik intesifikasi dan ekstensifikasi pertanian merupakan jawaban pragmatis dalam menjawab problem food security.

Di mana kondisi pangan di Indonesia yang saat ini tengah mengalami defisit, karena ketergantungan pangan pada jenis komoditas tertentu, seperti beras, gandum. kedelai dan jagung, sebagamana tercatat dalam laporan CNBC berjudul Indonesia Negara Darurat Impor Pangan! Sehingga kondisi tersebut memunculkan kepanikan, yang lantas menjadi landasan dalam membuat kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian melalui food estate.

Meski secara konsep produksi pangan akan meningkat, serta memenuhi kebutuhan pangan nasional, akan tetapi dalam praktiknya proyek food estate tidak berjalan mulus, seperti di Kalimantan Tengah dan Papua. Karena secara teknis lahan gambut di Kalimantan Tengah yang digunakan sebagai sawah dan ladang, seperti tingkat keasaman yang tergolong sangat tinggi (pH < 4), sehingga kesuburannya rendah.

Hal ini disebabkan oleh kandungan unsur hara makro dan mikro seperti fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg), tembaga (Cu), seng (Zn), mangan (Mn), dan besi (Fe) yang umumnya lebih sedikit dibandingkan tanah mineral. Akibatnya, hanya beberapa jenis tumbuhan tertentu yang mampu tumbuh di lahan gambut.

Lalu untuk di Papua, kegagalan produksi pangan seperti beras juga disebabkan oleh persoalan teknis, seperti kondisi lahan. Merujuk pada buku Ekologi Papua yang dieditori oleh Kartikasari dkk (2007), bahwa jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia, tanah di Papua memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah.

Kondisi ini berkaitan dengan tingginya keanekaragaman ekosistem hutan di Papua, yang memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi pada luas lahan yang sama jika dibandingkan dengan pulau-pulau di wilayah Indonesia bagian barat. Akibatnya, tanah di kawasan hutan menjadi lebih rentan dan sulit pulih Kembali setelah mengalami deforestasi.

KLIK INI:  5 Dampak Kebisingan Terhadap Invertebrata Laut dan Ekosistem

Alih-alih memproduksi pangan dan memenuhi kebutuhan pangan, justru sebaliknya malah merusak ekosistem, khususnya lahan gambut dan hutan hujan tropis. Sehingga dampaknya ganda, di satu sisi persoalan defisit pangan tidak teratasi, di satu sisi emisi yang dikeluarkan semakin tinggi.

Atas persoalan tersebut, seharusnya memang belajar mengenai persoalan pertanian dan pangan yang berkelanjutan, bukan hanya produksinya tetapi juga ekosistem penunjangnya. Dalam hal ini, agroekologi dapat menjadi jawaban atas persoalan pangan dan ekologi yang tengah dihadapi saat ini.

Agroekologi Sebagai Alternatif

Agroekologi muncul sebagai alternatif berkelanjutan untuk menggantikan praktik pertanian konvensional. Konsep ini seperti yang coba disampaikan oleh FAO pada laporannya berjudul “The 10 Elements of Agroecology Guiding the Transition to Sustainable Food and Agricultural Systems”, yang mengatakan jika agroekologi merupakan sistem pertanian yang mengitegrasikan ekologi dalam setiap prosesnya. Seperti berfokus pada peningkatan keanekaragaman hayati, daur ulang sumber daya, dan meminimalkan kebutuhan akan input eksternal seperti pupuk sintetis.

Agroekologi tidak hanya menangani dampak lingkungan dari pertanian, tetapi juga berupaya memberdayakan petani kecil dengan mempromosikan keadilan sosial dan kedaulatan pangan.

Kunci agroekologi menurut catatan berjudul “Agroecology: the science of natural resource management for poor farmers in marginal environments” yang ditulis oleh Altieri (2002), terletak pada model pertanian yang menekankan biodiversitas pada agroekosistemnya, atau mudahnya model yang meniru ekosistem alami untuk meningkatkan daur ulang nutrisi dan pengendalian hama, sehingga mengurangi kebutuhan akan bahan kimia berbahaya.

KLIK INI:  Sungai-Sungai Masa Kecil

Praktik-praktik seperti agroforestri, rotasi tanaman, penanaman tanaman tumpangsari, dan penggunaan pupuk hijau meningkatkan kesuburan tanah dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Misalnya, agroforestri melibatkan integrasi pohon dan semak ke dalam sistem pertanian, menyediakan naungan dan meningkatkan keanekaragaman hayati, sedangkan penanaman tumpangsari membantu mendiversifikasi tanaman, meningkatkan pengendalian hama, dan pemanfaatan nutrisi.

Mark Otieno (2024) dalam chapter “Climate Change Mitigation Strategies and Carbon Storage in Agricultural Systems” menunjukkan bahwa agroekologi tidak hanya menangani ketahanan pangan tetapi juga berkontribusi pada mitigasi emisi gas rumah kaca melalui praktik yang meningkatkan penyerapan karbon di tanah.

Misalnya, adopsi pupuk organik dan praktik pengelolaan lahan berkelanjutan dapat secara signifikan mengurangi jejak karbon dari kegiatan pertanian. Selain itu, Vikas dan Rajiv (2024) “Agroecological approaches to sustainable development” melihat bahwa, keterlibatan dan pendidikan masyarakat memainkan peran penting dalam keberhasilan implementasi praktik agroekologi, karena mereka mendorong pemahaman yang lebih dalam tentang metode berkelanjutan di kalangan petani.

Keterlibatan masyarakat ini sangat penting untuk mempromosikan adopsi praktik yang meningkatkan ketahanan terhadap dampak iklim sambil memastikan ketahanan pangan.

KLIK INI:  Gletser di Puncak Jaya akan Hilang, Indonesa Patut Berduka

Lebih lanjut, Carolina (2024) “Evidence of agroecology’s contribution to mitigation, adaptation, and resilience under climate variability and change in Latin America” menyampaikan bahwa agroekologi terbukti cukup efektif dalam sistem pertanian kecil, di mana petani sering menghadapi dampak perubahan iklim. Petani kecil sering kali menjadi yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, dan pendekatan agroekologi memberikan solusi yang berkelanjutan dan adaptif.

Pada dasarnya, pendekatan agroekologi ini berfokus pada pemanfaatan pengetahuan dan praktik lokal, yakni mengintegrasikan teknik-teknik tradisional dan inovasi teknologi, seperti memadukan dengan IoT dan AI untuk membantu dalam pemodelan, bantuan teknis pemantauan hingga pemasaran.

Agroekologi tidak hanya meningkatkan ketahanan pangan tetapi juga memperkuat kapasitas adaptasi petani terhadap variabilitas iklim. Hal ini mencakup diversifikasi tanaman, penggunaan pupuk organik, dan praktik konservasi tanah yang semuanya berkontribusi pada peningkatan produktivitas dan keberlanjutan lingkungan.

Tantangan dan Peluang Agroekologi

Meskipun potensial, agroekologi menghadapi beberapa tantangan dalam upaya memperluas adopsinya. Salah satu hambatan utama adalah kurangnya akses terhadap pengetahuan dan sumber daya bagi petani kecil.

Hampir mayoritas petani di Indonesia masih mengandalkan praktik konvensional dan mungkin akan enggan mengadopsi metode baru, terutama jika melibatkan perubahan signifikan pada sistem pertanian mereka.

Salah satu faktornya adalah tekanan ekonomi pada petani untuk memaksimalkan hasil dan keuntungan, sebab petani akan lebih rasional serta realitis (baca James Scott “Moral Ekonomi Petani”), di mana akan mempertahankan praktik yang sama, selagi bisa memenuhi kebutuhannya.

Praktik agroekologi mungkin memerlukan lebih banyak waktu dan usaha dalam jangka pendek, yang bisa menjadi penghalang bagi petani yang mencari hasil cepat. Namun, manfaat jangka panjang dari agroekologi, seperti peningkatan kesehatan tanah, pengurangan biaya input, dan peningkatan ketahanan iklim, menjadikannya investasi yang layak untuk masa depan pertanian.

Peran serta pemerintah melalui kebijakan, serta sokongan pendanaan, memainkan peran penting dalam mendukung transisi menuju agroekologi. Misalnya pemerintah Indonesia, harus memunculkan inisiatif kebijakan yang mempromosikan praktik agroekologi, serta menyediakan insentif finansial bagi petani dapat membantu mempercepat adopsi metode pertanian berkelanjutan.

Selain itu, program penelitian dan pelatihan harus diperluas untuk membekali petani dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan praktik agroekologi secara efektif.

Agroekologi menawarkan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh pertanian konvensional. Di mana pertanian konvensional turut menyumbang emisi, lalu dampaknya ke perubahan iklim yang berdampak langsung ke produksi pangan, baik kualitas maupun kuantitas.

Tentunya, melalui usaha mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi ke dalam sistem pertanian, agroekologi mempromosikan keanekaragaman hayati, mengurangi emisi, dan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. Meskipun implementasinya akan memakan waktu yang cukup lama, memperluas praktik agroekologi, dengan mempertimbangkan potensi manfaatnya bagi ketahanan pangan, mata pencaharian petani, dan keberlanjutan lingkungan, menjadikannya strategi yang penting untuk masa depan pertanian yang lebih berkelanjutan dan pro-iklim

KLIK INI:  Indonesia Peringkat 24 dalam Climate Change Performance Index 2021