Tanah dari Langit

oleh -190 kali dilihat
Tanah dari Langit
Ilustrasi - Foto: Jura Bakx on Unsplash
Ramli Lahaping
Latest posts by Ramli Lahaping (see all)

Hujan terus menyambung. Sudah tiga hari air tak henti-hentinya mengucur dari langit. Kadang berubah jadi gerimis, tetapi tak pernah benar-benar reda. Keadaan pun jadi basah dan dingin. Akibatnya, orang-orang memilih meringkuk di dalam peraduannya.

Demikian pula Sadi. Ia terus saja berdiam diri. Ia tak sanggup melakukan pekerjaan taninya. Sebagai duda, ia merasa mesti menjaga kesehatannya, sebab ia tinggal sendiri di rumah panggungnya yang menyendiri dari perkampungan, sehingga tak akan ada yang memerhatikan dirinya kalau sakit. Ia memang punya seorang anak laki-laki, tetapi sang anak sudah sepuluh bulan menetap di kota untuk berkuliah.

Tanpa terasa, hari sudah sore. Sadi lantas bangkit dari kasurnya. Ia lalu mengintip keadaan lewat celah dinding kayu rumahnya. Sekitar seratus meter di depannya, ia pun melihat sungai dengan banjir yang makin meninggi. Ia lantas memanjatkan doa, semoga tidak akan terjadi petaka.

Sesaat berselang, sorot matanya mundur dan menyenter area sekitar pohon tarra miliknya. Di sana, ia melihat buah pohon besar itu tergeletak di beberapa sisi. Dengan mengenakan payung, ia lantas bergegas mengumpulkannya sebelum malam datang dan binatang nokturnal memangsanya.

KLIK INI:  Surat Hujan

Seiring aktivitas pungutannya, ia pun berharap besok hujan reda. Jikalau demikian, ia akan berjalan sekitar 300 meter ke arah barat, ke jembatan gantung, untuk ke perkampungan seberang, lantas ke pasar untuk menjual buah tarranya. Dengan begitu, ia akan memperoleh penghasilan.

Tetapi ia mesti bersabar. Jumlah buah pungutannya terbilang sisa setengah daripada pungutannya pada hari-hari yang cerah. Itu karena separuh cabang tanamannya yang bernama latin artocarpus elasticus tersebut, telah melebar hingga menaungi area sungai. Akibatnya, ketika air membanjiri sempadan bebatuan, buah tarranya akan jatuh ke dalam arus, dan hanyut.

Peliknya, ia tak mampu mememanen buah tarranya. Di usianya yang hampir kepala lima, ia tak kuasa memanjat pohon setinggi lebih dari 45 meter itu. Kalaupun ia sanggup menaiki bagian batang tak bercabangnya setinggi sekira 30 meter dan berdiameter hampir 2 meter, yaitu dengan menggunakan tangga bambu, ia pasti kesulitan untuk mengambil buahnya di sisi pucuk dedaunannya.

Karena situasi itu, buah tarranya jadi kurang berkualitas. Itu karena setiap buah yang jatuh keras dari ketinggian, apalagi kalau mendarat di bebatuan pesisir sungai, akan bonyok, atau bahkan koyak. Kalau begitu, ia hanya akan menjualnya kepada pemilik kios di pasar dengan harga murah, di bawah harga standar yang berkisar Rp4.000 sampai Rp5.000 per buah.

Dan akhirnya, setelah memungut buah yang ada, ia pun memandang-mandangi lagi banjir yang telah membawa separuh dari bakal rezekinya. Melihat arus yang makin meninggi tersebut, ia kembali berharap pada kekuasaan Tuhan, semoga langit yang suram di atas kepalanya dan menggelap di hulu sungai, segera bergeser ke sisi bumi yang membutuhkan air hujan.

KLIK INI:  Perjalanan Menuju Hutan

Kekhawatiran dan harapannya atas keadaan itu beralasan, sebab sepanjang hidupnya, sudah empat kali banjir besar terjadi. Banjir yang tingginya lebih dari enam meter, hingga mencapai pangkal pohon tarranya. Banjir yang kurang sekitar semester lagi akan menggapai dan membahayakan rumahnya.

Sesaat kemudian, ia lantas pulang dengan hanya membawa 5 buah tarra yang biasanya berjumlah belasan kalau sungai sedang tidak banjir. Setelah itu, ia lalu naik ke atas rumahnya dan menggabungkan buah tersebut dengan 9 buah yang ia pungut sebelumnya.

Sekian lama berselang, ia hanya duduk di lantai kayu rumahnya. Hanya melayangkan pandangan ke sisi luar jendela dengan pikiran yang fokus merenungkan keadaannya yang susah secara ekonomi. Sebagai seorang petani dengan lahan yang sempit, keuangannya sungguh pas-pasan.

Perlahan-lahan, kecemasan lalu menghantuinya. Kemarin malam, ia mendapatkan telepon dari putranya yang meminta kiriman uang untuk keperluan kuliah. Ia memang masih punya tabungan untuk ia kirimkan kepada sang anak. Tetapi untuk besok-besok, ia takut akan kehabisan.

Hingga akhirnya, ia teringat obrolannya dua bulan yang lalu dengan Jasing, tetangga seberang sungainya, dengan rumah yang hampir selurus dengan rumahnya. Kala itu, ia menyeberangi sungai yang tidak sedang banjir untuk ke pasar menjual buah tarranya dan ubi jalarnya. Ia lantas singgah di rumah Jasing, sembari menunggu mobil sewa untuk ia tumpangi.

KLIK INI:  Akar Leluhur

“Apa penghasilan Bapak menguntungkan dari buah tarra Bapak di seberang?” tanya Jasing, seorang petani yang merupakan pendatang lima tahun yang lalu, saat mereka tengah membahas mengenai perongkosan kuliah anak mereka masing-masing.

Seketika, Sadi tersenyum miris. “Kalau cuma mengandalkan buah tarra itu, aku tentu tak berdaya, Pak. Musim berbuahnya, kan cuma sekali dalam setahun. Apalagi, harganya murah karena peminatnya minim, sebab orang lebih suka buah lain. Belum lagi, harga untuk buah tarraku kerap dipatok murah sebab ukurannya kecil dan kualitasnya buruk karena jatuh sendiri dari pohonnya. Tetapi syukur, aku membudidayakan ubi jalar dan singkong yang bisa menambah penghasilanku.”

Raut Jasing lalu tampak semringah. “Nah, kalau begitu, aku usul, tanamlah jagung sepertiku, Pak. Hasilnya lebih menguntungkan.”

Serta-merta, Sadi menghembuskan napas yang panjang. “Mau tanam di mana, Pak? Lahanku di seberang sangat sempit. Kalaupun kupaksakan menanam jagung, hasilnya tidak akan baik. Jagung tidak akan tumbuh subur karena pohon tarraku menaunginya.”

Jasing sontak tertawa pendek. “Nah, karena itulah, Pak. Aku sarankan, tebang saja pohon tarra Bapak. Bayangkan saja, kalau pohon tarra itu hilang, lahan Bapak jadi sangat lapang. Bapak pun akan bisa menanam jagung sampai ke pinggir sungai, sepertiku.”

Seakan berat hati, Sadi menggeleng. “Aku tidak berani, Pak. Bagaimanapun, pohon tarra itu peninggalan kakekku. Dahulu, ia berpesan bahwa siapa pun keturunannya yang mewarisi tanah di seberang, tidak boleh menebang pohon itu.”

KLIK INI:  Pada Nama Kecilmu

“Loh, apa alasannya?” sergah Jasing.

Sadi mengangkat bahu. “Aku sendiri tak paham. Tetapi almarhum ayahku pernah bercerita kalau kakekku yang seorang tokoh adat, menanam pohon tarra itu untuk keperluan adat. Daunnya yang lebar, digunakan untuk tempat makan kalau ada pesta adat. Karena itu pula, dahulu, acara adat sering diadakan di bawah pohon tarra itu, seperti acara adat dengan memasak makanan pakai bambu. Makanya, di dekat pohon tarra itu, juga ada pohon bambu.”

Jasing lantas mendakwa, “Jadi Bapak menganggap pohon itu keramat dan Bapak takut kena tulah kalau menebangnya?”

Dengan raut pasrah, Sadi mengangguk saja.

Sontak, Jasing berdecak. Tampak menyayangkan. “Zaman sudah berubah, Pak. Kita tidak seharusnya menakutkan hal semacam itu lagi.” Ia lantas tergelak sekali. “Apalagi, acara adat sudah sangat jarang. Kalau pun diadakan, juga tidak menggunakan daun tarra lagi. Karena itu, pohon tarra itu sudah kehilangan kegunaannya.”

Sadi hanya menyengir.

“Anakku yang kuliah pendidikan agama, sudah memberikan pemahaman kepadaku kalau kita tidak semestinya percaya pada hal-hal yang mistis. Aku yakin, anak Bapak pun sudah berpikiran maju seperti itu. Anak Bapak pasti setuju juga untuk menebang pohon tarra itu,” sambung Jasing.

KLIK INI:  Segelas Kopi Pertemuan

Sadi lantas menggeleng-geleng. “Dua bulan lalu, saat anakku pulang, ia malah berpesan juga agar aku tidak menebangnya.”

“Lah, kenapa? Apa alasannya?” tanya Jasing, tak habis pikir.

“Katanya, pohon tarra itu bagus untuk lingkungan. Akarnya menancap dan mencengkeram tanah, sehingga bisa mencegah abrasi akibat banjir,” terang Sadi.

“Dan Bapak percaya?” sidik Jasing.

Sadi mengangguk. “Ia kuliah di fakultas kehutanan, dan ia tergabung dalam organisasi pencinta alam. Kukira, ia paham soal itu.”

Jasing sontak mendengkus dan menggeleng-geleng. “Aku sih tidak percaya. Buktinya, sudah lima tahun aku membeli lahan di samping rumahku ini, lalu menamaninya dengan jagung sampai ke tepian, tanpa menanam pohon besar di pinggir sungai, apalagi semacam pohon tarra, tetapi lahan kebunku tidak tergerus banjir.”

KLIK INI:  Menghidupkan Air

Sadi pun melayangkan senyuman. “Setiap orang punya pendapat, Pak,” tanggapnya, diplomatis.

Obrolan mereka akhirnya berhenti. Tak lama berselang, mobil penumpang datang. Sadi lantas berangkat ke pasar beserta pendapatnya tentang pohon tarranya.

Tetapi kini, saat ia terpikir soal bekal kehidupannya di masa depan, terutama untuk perongkosan kuliah putranya, Sadi jadi menimbang-nimbang saran Jasing. Ia membayang-bayangkan kalau dengan menebang pohon tarra itu, lahan kebunnya akan jadi memadai untuk bercocok tanam. Pun, ia bisa mendapatkan penghasilan dengan menjual kayu pohon tarra itu untuk orang yang butuh bahan untuk membangun rumah.

Namun lama-kelamaan, ia tak juga menetapkan sikap. Ia tetap khawatir jadi kualat kalau menyalahi wasiat kakek dan ayahnya, yang seturut pandangan putranya. Karena itulah, ia mulai terpikir untuk membeli lahan baru, agar ia bisa mempertahankan pohon tarra itu, sekaligus mewujudkan keinginannya untuk bercocok tanam jagung seperti warga yang lain.

Sayangnya, opsi barunya itu, terkendala persoalan biaya. Ia memang masih punya tabungan untuk membeli lahan di desa sebelah, pada sebuah kawasan kehutanan yang telah dilepaskan pemerintah untuk menjadi lahan perkebunan. Harganya terbilang murah. Tetapi ia mesti menimbang keras, sebab ia bisa kehabisan tabungan untuk keperluan yang mendesak.

KLIK INI:  Pohon Kenangan

Belum lagi, dalam membangun pertanian pada lahan yang baru, butuh biaya yang tak sedikit untuk menggaji para pembabat, lalu membeli bibit, pupuk, racun, dan lainnya. Pun, pasti butuh tenaga yang banyak dan waktu yang lama untuk sampai pada masa panen yang belum tentu berhasil.

Akhirnya, sampai malam tiba, Sadi tak juga mengambil keputusan perihal masa depan penghidupannya.

Hujan makin deras. Ia kemudian menjalani rutinitas malamnya. Ia memasak, makan, mencuci piring, lalu menonton televisi. Hingga akhirnya, aliran listrik tiba-tiba terputus. Ia pun beranjak ke kamarnya dan berbaring di atas kasur. Dan sebelum memejamkan mata, ia lantas memanjatkan doa, semoga ia segera mendapatkan jalan keluar perihal lahan pertaniannya.

Hujan tambah deras. Ia lantas terlelap pulas dan tak lagi mendengar gemuruh banjir dari sungai. Ia tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya, hingga ia terbangun dengan keadaan yang berbeda. Hujan telah reda, dan langit tampak cerah.

Setelah cahaya matahari mulai membias di sisi timur, ia lantas turun dari rumahnya. Ia bermaksud kembali mencari buah tarra yang jatuh dan bisa ia bawa ke pasar. Tetapi seketika, ia terkejut, sebab sekeliling pohon tarranya telah dipenuhi lumpur akibat banjir yang naik semalam. Tanaman ubi jalar dan singkongnya pun telah sirna.

Sekejap berselang, perhatiannya lalu menembak ke seberang sungai. Di sana, jagung-jagung Jasing pun tampak lenyap tersapu banjir. Dan mirisnya, separuh lahan kebun Jasing telah hilang tergerus arus yang memotong lurus, hingga rumah Jasing tinggal beberapa meter saja dari sisi aliran sungai.

Dengan serta-merta, ia pun terkejut hebat setelah menoleh pada area sekitar pohon tarranya dan pohon bambunya. Di situ, telah timbulnya lahan baru yang cukup luas, yang terbentuk dari tumpukan material dan endapan lumpur. Daratan itu muncul sebab aliran sungai telah bergeser ke seberang, setelah melahap dan memakan sisi kebun Jasing.

KLIK INI:  Menakar Seduhan Kopi untuk Ayah