Permasalahan Konservasi Berada di Moral, Bukan pada Masalah Teknis?

oleh -473 kali dilihat
Strategi Penyelamatan Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Ilustrasi konservasi/foto-greeners.co
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

[hijau]Dakwah lingkungan penting untuk terus dilakukan[/hijau]

Klikhijau.com – Kamu percaya tak ada kisah yang benar-benar selesai? Seperti halnya sebuah acara, meski telah resmi ditutup, tak akan selesai. Sebab di dalamnya ada kenangan, ide, pendapat, dan solusi yang harus terus disuarakan.

Apalagi jika acara itu setingkat International Congress for Conservation Biology (ICCB) 2019. Tentu banyak gagasan, pendapat bahkan solusi yang tak mengenal kata selesai untuk dikabarkan dan terapkan.

Iya, CCB) 2019 yang dilaksanakan di Kuala Lumpur belum lama ini memang patut dibincangkan. Meski acara telah berakhir.

KLIK INI:  BBKSDA Sulsel Jalin MoU dengan Klikhijau untuk Penguatan Literasi Konservasi

Kongres tersebut mendatangkan peserta dari berbagai penjuru dunia ini. Mempertemukan akademisi, peneliti, praktisi, hingga perwakilan lembaga pemerintah yang berkecimpung di bidang konservasi biologi dan lingkungan

Nah, yang dibahas ada acara itu adalah konservasi (sesuatu yang tak akan selesai). Menurut tulisan Dewi Purningsih di greeners.co bahwa menjaga kelestarian alam memang merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat, suku, budaya, dan agama.

Ada sesi pada acara tersebut yang bahas tentang upaya kelompok agama Islam dalam mendorong konservasi keanekaragaman hayati.

Sesi itu cukup menarik, sebab yang menjadi pembicara adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (PLH & SDA MUI), Dr. Hayu Susilo Prabowo.

Dia mengatakan bahwa saat ini MUI memiliki enam hukum fatwa MUI untuk melindungi lingkungan, yakni fatwa satwa langka, karhutla, pengelolaan sampah, daur ulang air, air sanitasi, dan penambangan ramah lingkungan.

KLIK INI:  BBKSDA Sulsel Peringati Hari Hutan dan Air dengan Kampanye Konservasi dan Tanam Pohon Bersama

“Untuk masalah konservasi, permasalahannya berada di moral, bukan masalah teknis atau ilmu hayati. Namun, moral inilah yang harus diperbaiki caranya dengan moral juga pendekatannya. Salah satunya dengan moral keagamaan dengan bahasa kemanusiaan,” ujar Hayu seperti yang ditulis Dewi Purningsih

Pentingnya edukasi menjaga kelestarian alam

Dia menambahkan, dakwah yang menyinggung tentang lingkungan ini dinilai efektif untuk memberikan edukasi bagaimana cara menjaga kelestarian alam pada para jamaah. Oleh karenanya, dakwah lingkungan ini sangat di dorong MUI untuk terus dilakukan.

Untuk menjaga keseimbangan ekosistem, MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Pelestarian Satwa Langka Untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem. Mengingat bahwa firman Allah SWT memerintahkan untuk berbuat kebajikan (ihsan) antar sesama makhluk hidup termasuk di dalamnya dalam masalah satwa langka.

“Dijelaskan bahwa berbahaya jika kita membunuh seekor harimau yang nantinya akan berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem dan bisa membuat mudharat (rugi) kita sendiri. Membunuh pun juga merupakan perlakuan dosa. Jika hukum negara tidak bisa ditegakkan, hukum agama akan ditegakkan di akhir hayat,” ujarnya.

KLIK INI:  Begini Peran TNTP sebagai Kawasan Konservasi dan Pendorong Kemajuan Wilayah

Hayu mengatakan bahwa fatwa dan dalil memiliki dua akar pemikiran yakni naqal dan akal. Fatwa ada karena dicipatakan dan dibuat karena adanya permintaan dan isu di masyarakat. Pembentukan fatwa lingkungan ini pun melibatkan masyarakat, pemerintah, dan ahli.

Hal senada disampaikan Dr. Fachruddin Mangunjaya, Ketua Pusat Pengajian Islam PPI Universitas Nasional ini menyampaikan bahwa fatwa basisnya dari Al-Quran, Hadist serta pendapat Ulama (ijtihad).

“Jadi 3 faktor itu merupakan satu pararel, dan tak bisa dipisahkan antara lingkungan dan kehidupan manusia begitu dalam Islam. Semuanya saling berkesinambungan,” ujar Fachruddin.

Fachruddin melanjutkan bahwa hukum islam dan hukum positif (sesuai Undang-Undang) harus dibedakan. Karena hukum fatwa yang dikeluarkan oleh MUI ini digunakan sebagai penguatan hukum pemerintah yang sudah ada.

“Karena memang MUI bagian entitas negara untuk memperkuat sesuatu yang sudah ada karena prinsip negara kita ini kolaboratif,” ujar Fachruddin.

Dengan adanya kongres tersebut diharapkan dapat menjadi acuan. Acuan bagi berbagai pihak dalam melakukan praktik konservasi keanekaragaman hayati agar tetap lestari dan terjaga.

KLIK INI:  Sang Profesor dan Konsep 3P Untuk Konservasi Alam dan Lingkungan Indonesia