Perihal Permen LHK tentang Food Estate, WALHI: Membuka Kran Deforestasi Akut!

oleh -288 kali dilihat
Perihal Permen LHK tentang Food Estate, WALHI: Membuka Kran Deforestasi Akut!
Hamparan sawah/Foto-IK

Klikhijau.com – Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate menuai kritik tajam. Regulasi ini ditengarai justru akan membuka kran deforestasi besar-besaran.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam Siaran Persnya (15 November 2020) menegaskan Penerbitan Permen LHK nomor 24/2020 akan memperkuat dominasi korporasi terhadap penguasaan lahan.

Menurut WALHI, Permen ini berpotensi menambah varian perizinan baru di kawasan hutan yang berakibat pada meningkatnya laju penebangan hutan alam dan tentu deforestasi.

Direktur Eksekutif WALHI, Nur Hidayati, menegaskan Permen ini merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar yang justru memperkuat adanya kolaborasi negara dan investasi.

“Sederhananya, Food Estate adalah konsep pertanian tanpa petani,” sebut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif WALHI dalam keterangan persnya.

KLIK INI:  Menilik Trik KLHK Kendalikan Deforestasi dan Karhutla di Indonesia

Dengan adanya Permen LHK 24/2020 ini, Nur Hidayati memperkirakan akan terjadi ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

Berdasar data ada 33,45 juta hektar atau 26,57% kawasan hutan telah dikapling untuk kepentingan bisnis korporasi. Bahkan dalam waktu 20 tahun terkahir, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan korporasi. WALHI memprediksi, Permen P.24 akan lebih memperburuk keadaan dan meminggirkan nasib petani.

3 argumentasi

Dalam analisa WALHI, ada 3 alasan mendasar mengapa pelepasan kawasan hutan untuk Food Estate justru akan menambah masalah:

Pertama, Permen ini justru akan mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup. Sesuai pengalaman sejauh ini, pelepasan kawasan hutan seringkali berujung pada kerusakan lingkungan hidup. WALHI mencontohkan pengalaman buruk di masa lalu antara lain proyek PLG di Kalimantan, hingga MIFEE di Papua.

KLIK INI:  Pegiat Lingkungan Hentikan Proyek Gigapabrik Tesla di Jerman

Kedua, regulasi berpotensi meminggirkan rakyat dan berpotensi konflik. Pendekatan korporasi dalam skala luas, menurut WALHI justru akan memperpanjang ancaman potensi konflik.

Ketiga, berpotensi menimbulkan kerugian negara. Dalam catatan WALHI, proyek-proyek Food Estate, justru menimbulkan banyak kerugian negara.

Sebagai contoh, proyek PLG dengan dana APBN hingga 1,6 triliun, gagal total untuk menjadikan lumbung pangan. Bahkan sebagian telah bermetamorfosa menjadi lahan  perkebunan sawit hingga saat ini.

7 Pasal yang kontroversi

Dari sisi substansi P. 24 setidaknya ada 7 persoalan mendasar:

Pertama, Permen ini memahami bahwa Food Estate adalah usaha pangan skala luas, sehingga pasti memiliki dampak deforestasi yang signifikan, (Pasal 1).

KLIK INI:  Menanam Kembali Hutan yang Gundul dengan Drone

Kedua, argumentasi yang dimasukkan dalam bagian “menimbang” dengan menghubungkan dengan pandemi Covid-19 tidak tepat. Faktanya, persoalan pangan adalah urusan petani, tidak disentralisasi, dan harus berbasis diversifikasi pangan.

Ketiga, ”pernyataan komitmen” izin lingkungan dijadikan dasar mengeluarkan KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) tidak tepat. Menjadi tidak logis jika “pernyataan komitmen” dijadikan dasar, sementara alih fungsi Kawasan hutan langsung dilakukan. (Pasal 4 dan 9).

Keempat, KLHS cepat tidak berdasar. Istilah KLHS cepat beberapa kali muncul bukan hanya pada proyek Food Estate tetapi juga pada proyek IKN. Penggunaan KLHS cepat tidak memiliki dasar legal yang cukup, serta rentan menghasilkan kajian yang tidak akurat. (Pasal 4).

Kelima, skema perubahan peruntukan kawasan hutan dilakukan di kawasan hutan dengan fungsi produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan, hak pengelolaan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP) dilakukan di kawasan hutan fungsi produksi dan lindung. Khusus untuk KHKP dikedokkan dengan program perhutanan sosial dan tanah objek reforma agraria (Pasal 20 huruf c). KHKP diberi durasi penguasaan ruang paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 31).

Keenam, hutan-hutan alam yang ditebang pun diberi kemungkinan insentif tidak membayar kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau dana reboisasi (DR) (Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (3).

Ketujuh, KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) yang disebutkan dalam P.24 ini mengancam hutan lindung (Pasal 4, 19, 25), lebih jauh lagi mengancam Wilayah Kelola Rakyat, khususnya masyarakat adat.

KLIK INI:  Saatnya Kita Menanti Hasil dari Revisi RKTN!