- Atasi Triple Planetary Krisis, KLHK Gelar Penanam Mangrove Serentak di 24 Titik - 24/04/2024
- Babak Baru Kasus Makelar Kayu Ilegal Asal Lutim, Berkas Dilimpahkan ke Kejari Tana Toraja - 24/04/2024
- Hari Bumi 2024: Ford Foundation Dukung BRWA Kelola Registrasi Wilayah Adat di Tapanuli Utara dan Lutra - 23/04/2024
Klikhijau.com – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sedang berupaya mencari solusi atas masalah pembukaan lahan skala kecil untuk ketahanan pangan. Seperti diketahui, ada sejumlah daerah yang membuka lahan dengan sistem pembakaran dan itu telah menjadi bagian dari kearifan lokal (local wisdom).
Isu ini jadi topik diskusi dalam FGD virtual bertajuk “Solusi Kearifan Lokal dalam Pembukaan Lahan < 2 Hektar Dengan Cara Membakar“, Selasa 14 Juli 2020.
Hadir dalam FGD tersebut antara lain jajaran KLHK dengan multipihak seperti perwakilan masyarakat adat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), anggota DPR dan DPRD, hingga para perwakilan kementerian/lembaga terkait.
Wakil Menteri LHK, Alue Dohong memimpin jalannya FGD tersebut didampingi staf dan tenaga ahli KLHK, Ilyas Asaad.
Dalam sambutannya, Alue Dohong menjelaskan bahwa penggunaan api untuk kegiatan pembersihan lahan untuk perladangan merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah terjadi dan dipraktekkan secara turun temurun oleh masyarakat adat di Nusantara khususnya di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Dilema pembakaran lahan
Seperti diketahui, selama ini ada polemik di balik diperbolehkannya pembukaan lahan dengan membakar sesuai Undang-Undang no. 32/2009. Hal ini dianggap berpotensi memicu beragam interpretasi dan terkadang menjadi polemik oleh sebagian pihak karena dianggap melemahkan upaya pencegahan karhutla.
Dalam peraturan tersebut diatur berbagai syarat sebelum diperbolehkannya membakar lahan, diantaranya maksimal 2 hektare per kepala keluarga masyarakat adat, diperuntukkan untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal. Kedua, dilakukan dengan menerapkan sistem sekat bakar sebagai upaya pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
Faktanya, dalam beberapa kasus tertentu, celah aturan ini justru dimanfaatkan dan ditunggangi oleh oknum pembakar hutan tertentu untuk lolos dari jerat hukum.
Oleh karena itu, KLHK berupaya untuk mencari solusi atas permasalahan tersebut dengan langkah afirmatif dan kolaboratif yang diawali dengan mendengarkan pandangan dari berbagai pihak,
Praktek pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat adat menurut Wamen harus ditempatkan dalam kontek regulasi yang tepat.
Hal ini penting agar kearifan lokal yang terbukti memiliki efek positif untuk membantu proses keterjaminan dan ketahanan pangan dan konservasi hayati. Jadi, tidak disalahgunakan oleh oknum tidak bertanggung untuk membakar lahan secara masif yang merugikan kepentingan umum.
“Kita harus segera menyusun naskah kebijakan untuk memperbaiki dan mempertegas pengaturan pembukaan lahan dengan cara bakar ini, agar menjadi bagian solusi permanen pencegahan karhutla seperti yang diinstruksikan Bapak Presiden,” ujar Wamen Alue.
Menanggapi diskusi, Willy M Yoseph, Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Dayak Nasional (ICDN) yang juga Anggota DPR RI Komisi VII menyatakan rumusan dan kesimpulan hasil FGD dapat dijadikan masukan untuk revisi UU yang mengatur tentang diperbolehkannya membakar lahan secara terbatas oleh masyarakat.
“Kami siap untuk membantu melalui proses revisi undang-undang. Ini yang paling pas untuk kita, bicara panjang lebar harus ada muaranya, agar masyarakat dapat terbantu,” ujarnya.
Celah hukum
Kemudian di dalam diskusi yang dihadiri sekitar 70 orang dan 34 orang diantaranya yang berbicara memberikan pendapat diperoleh beberapa rumusan diskusi.
Salah satu isu yang mencuat adalah perlu antisipasi terhadap para oknum yang mengatasnamakan masyarakat adat untuk melakukan pembakaran lahan.
Beberapa pembicara meminta agar jangan sampai kearifan lokal masyarakat dilarang bukan karena kesalahan masyarakat, namun lebih karena kebijakan pemerintah yang mengatur terkait hal tersebut belum kuat, sehingga rawan menimbulkan celah hukum.
Menutup diskusi, Wamen LHK menyimpulkan bahwa secara umum para pembicara menyetujui jika sistem perladangan tradisional dengan teknik pembakaran oleh masyarakat adat perlu terus dilanjutkan. Namun dengan catatan harus ada adaptasi, inovasi-inovasi dan teknologi agar meminimalisir dampak terhadap bencana karhutla.
Wamen LHK pun menyampaikan kesimpulan hasil diskusi yang memuat pendapat dan masukan dari para narasumber tadi, diantaranya yaitu diperlukan adanya kebijakan khusus Pemerintah terkait penetapan wilayah perladangan tradisional yang diintegrasikan dalam RTRWP/RTRWK pada masing-masing daerah yang masih memiliki tradisi dan mempraktekan perladangan tradisional.
Diperlukan juga kegiatan pemetaan wilayah berbasis tipe ekosistem (Lowland dan Upland). Inventarisasi sebaran spasial & jumlah peladang tradisional termasuk jenis komoditas yaang dibudidayakan. Termasuk soal teknologi dan kearifan yang dipakai di dalam praktek perladangan tradisional, dalam rangka penyusunan basis data (database) yg lengkap dan sahih terkait perladangan tradisional.
Kemudian perlu adanya peningkatan dan penguatan program dan anggaran, pemberdayaan, introduksi & alih teknologi pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB), akses kelola hutan, pendampingan instensif dan lain-lain dari pemerintah, swasta dan lainnya yang lebih berpihak pada kelompok peladang tradisional.
Perlunya SOP pengelolaan lahan
Dukungan dan pembuatan petunjuk-petunjuk teknis dan prosedur operasi standar (SOP) tentang pengolahan dan peningkatan produktivitas lahan agar diintroduksi dan diaksentuasikan kepada peladang tradisional.
Lalu juga perlunya eksaminasi keseluruhan produk hukum yang terkait dengan kebakaran hutan & lahan, serta bagaimana implementasinya di lapangan oleh para pihak.
Selain itu peserta diskusi pun meminta agar kegiatan perladangan tradisional selama ini tidak dimaknai secara sempit untuk budidaya padi semata. Melainkan kegiatan tersebut berkontribusi positip terhadap konservasi dan keragaman genetik (padi, sayuran dan lainnya).
Terakhir dimintakan juga oleh peserta diskusi agar sistem dan tatacara praktek serta implementasi perladangan tradisional perlu disesuaikan, dimodifikasi, dan diperkuat dengan pengaturan yang bersifat teknis-ekonomis dengan memperhatikan dinamika perubahan iklim, ruang dan waktu, dinamika sosial, teknologi serta perkembangan populasi.
Sebagai tindak lanjut FGD ini Wamen menjelaskan akan membentuk tim khusus terkait untuk menyusun narasi kebijakan terkait perladangan tradisional, “Kita mungkin akan melibatkan perwakilan bapak ibu sekalian yang hadir pada diskusi ini untuk masuk dalam tim,” tambahnya.
Wamen pun meminta kepada para pembicara agar memberikan masukan teknis dan scientific atas fakta dan data yang tadi diungkapkan dalam ruang FGD. Masukan tersebut menurutnya akan sangat berguna untuk memperkuat narasi kebijakan yang akan disusun, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan yang baik bagi pemerintah pusat dalam menelurkan kebijakan terkait hal ini nantinya.