Kisah Inspiratif dari Sekolah Sawah di Gunung Merapi

oleh -566 kali dilihat
Kisah Inspiratif dari Sekolah Sawah di Gunung Merapi
Sekolah sawah/Foto-Instagram @tukmancur

Klikhijau.com – Jawa Tengah adalah provinsi yang dikelilingi oleh beberapa gunung api yang masih aktif, salah satunya Gunung Merapi yang terkenal dengan Wedhus Gembelnya.

Siapa sangka, beberapa orang yang diinisiasi oleh mantan seorang guru SD di sana yaitu Fransiskus Xaverius Riyadi, menyulap lahan sawah menjadi peraga untuk belajar.

Mereka menamainya dengan Sekolah Sawah yang memberikan pelajaran tentang pertanian organik. Bersama dengan tim pengajar lainnya, Riyadi, sapaan akrabnya, mengajar tanpa dibayar.

Sekolah sawah dijalani siswa SD Kanisius Prontakan mulai tahun ajaran 2012/2013 hingga saat ini. Saat ini, jumlah murid sekolah tersebut tercatat 56 anak dengan enam guru.

Pelajaran sekolah sawah diselenggarakan setiap Jumat dan Sabtu. Mereka diajak berkeliling pekarangan dan sawah sekitar gedung sekolah untuk menyiapkan media tanam dari lingkungan setempat. Antara lain mengumpulkan pupuk kandang, serasah, dan tanah.

KLIK INI:  Warga Uluway, Tana Toraja Wajib Tanam Minimal 100 Bibit Kopi Jika Ingin Menikah

Kalau mau macul (mencangkul), ya sepatunya dilepas, kata Riyadi yang merupakan salah seorang guru sekolah sawah saat ini.

Murid-muridnya pun bergegas melepas sepatu dari kaki masing-masing. Kemudian bergantian memegang cangkul untuk mengaduk-aduk berbagai bahan guna pembuatan kompos di belakang sekolah mereka (SD Kanisius Prontakan, Dusun Braman, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Praktik pelajaran sekolah sawah

Sekolah itu memiliki areal pertanian seluas sekitar 1.000 meter persegi yang bakal dimanfaatkan untuk pengembangan praktik pelajaran sekolah sawah.

Pelajaran sekolah sawah membumikan anak-anak itu sebagai bagian masa depan komunitas petani Gunung Merapi.

Pelajaran yang menjadi muatan lokal di sekolah diajarkan di sekolah sawah yaitu berbasis pertanian organik. Kawasan itu terletak sekitar tujuh kilometer barat daya dari puncak Gunung Merapi.

Peserta Sekolah Sawah di lereng Gunung Merapi Kabupaten Magelang bertambah dari yang semula hanya para siswa SD Prontakan Desa Ngargomulyo, sekarang diikuti juga anak-anak dari sekolah tetangga di kawasan setempat.

Bahkan hingga saat ini sudah banyak anak-anak SD, SMP, SMA, Guru, bahkan Romo (pastur) dari berbagai daerah sudah mengikuti kegiatan sekolah sawah di lereng merapi yang dikemas dengan Live In.

Kegiatan terbaru terkait dengan sekolah sawah lereng merapi dapat kita ikuti melalui akun instagram mereka @tukmancur.

KLIK INI:  Bukan Sekadar Arisan, Ibu-Ibu di Buton Kampanyekan Penyelamatan Lingkungan

Pembukaan pelajaran sekolah sawah dimulai oleh FX Riyadi, guru di sekolah itu. Dia menjelaskan tentang berbagai jenis sayuran, seperti caisim, loncang (daun bawang), cabai, selada yang ditanam di teritis sekolah menggunakan beberapa batang pot bambu dan puluhan polybag.

Sekarang sekolah sawah sudah memiliki lahan untuk belajar sendiri yaitu terletak di Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, Dukun, Magelang.
Para siswa kelas III, IV, V, dan VI sekolah itu terlihat secara saksama memperhatikan penjelasan guru.

Selain menyangkut usia pertumbuhan, juga mengenai saat yang tepat menanam dan berbagai hama serta penyakit yang sering menyerang komoditas hortikultura tersebut beserta cara mengatasinya.

Beberapa di antara mereka juga diminta guru kelas IV sekolah itu untuk menghitung jumlah biji sayuran yang bisa ditangkar menjadi bibit tanaman.

Pelajaran tersebut untuk mendekatkan anak-anak sejak dini dengan lingkungan alam dan pertanian di kawasan Gunung Merapi. Apalagi sebagian besar masyarakat setempat hidup dari pengelolaan pertanian, terutama aneka hortikultura.

Tim Edukasi Tuk Mancur

Pengajar di sekolah sawah adalah tim yang terdiri dari masyarakat setempat yang disebut dengan tim edukasi Tuk Mancur.

Tim Edukasi Tuk Mancur kali ini memberikan bantuan berupa bakteri pengurai bahan-bahan untuk praktik pembuatan kompos dalam muatan lokal pelajaran sekolah sawah yang dijalani para siswa.

“Pelajaran pertanian ora ono pedhote, donya pertanian niku ora umum (tidak berkesudahan, dunia pertanian itu luas). Segudang,” kata Sibang, panggilan akrab Parno, guru lainnya di sekolah sawah.

KLIK INI:  Progresif, Supermarket di Asia Mulai Berlomba Gunakan Daun Pisang

Parno yang juga Ketua Kelompok Tani Sedulur Merapi Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo, itu menjadi pengampu utama muatan lokal sekolah sawah di sekolah tersebut, tanpa bayaran.

Seraya berseloroh, ia menyatakan tidak akan mengajarkan anak-anak tentang bagaimana mencari kayu bakar atau menambang pasir Gunung Merapi.

Dia mengatakan, kalau cuma cari kayu bakar, terlalu gampang dan setiap anak langsung bisa. Pergi ke hutan, kumpulkan kayu dan ranting kering, selesai.

Kalau menambang pasir, merusak lingkungan, tidak sesuai dengan yel-yel mereka, ‘Semangat budaya punya harga diri’,” katanya.

Dalam berbagai agenda kebudayaan pertanian yang dijalani anak-anak kawasan Gunung Merapi selama ini, mereka sering mengumandangkan yel-yel Anak Merapi, semangat budaya punya harga diri.

Muatan lokal sekolah sawah diselenggarakan melalui pembicaraan antara sekolah, orang tua murid, dan Tim Edukasi Tuk Mancur.

Alasannya, di sana merupakan areal pertanian yang subur karena Gunung Merapi. Budaya masyarakat adalah pertanian. Kelak anak-anak itu yang akan meneruskan menggarap pertanian.

KLIK INI:  Halo-Halo Karhutla, Cara Kalimantan Barat Kampanyekan Zero Asap