Dari Danau Toba, Aktivis Perempuan Desak W20 Lindungi Hak Perempuan Adat

oleh -61 kali dilihat
Dari Danau Toba, Aktivis Perempuan Desak W20 Lindungi Hak Perempuan Adat
Dari Danau Toba, Aktivis Perempuan Desak W20 Lindungi Hak Perempuan Adat, Foto: Istimewa

Klikhijau.com – Sebuah banner raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatera Utara Lawan Deforestasi” terapung di atas danau Toba. Banner tersebut dibentangkan oleh sejumlah aktivis serta para perempuan pedesaan Toba, Rabu (20/7/2022).

Lewat aksi tersebut, mereka menyampaikan pesan kepada para partisipan W20 Summit di Parapat, betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

“Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi kami bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan Sumatera Utara dan sekitarnya,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

“Banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang  hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata,” tegas Aji menambahkan.

Menurutnya, perempuan adat di tanah Sumatera Utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia telah lama menjadi korban akibat ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender.

KLIK INI:  Greenpeace: Hentikan Solusi Palsu dari RUU EBET

Berbagai program pembangunan, kata Aji, telah menimbulkan konflik sosial serta kehancuran lingkungan hidup yang kemudian mengesampingkan dan bahkan melanggar hak-hak perempuan.

“Kelompok perempuan adalah kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat kasus penghancuran hutan dan perampasan lahan, serta seringkali juga mengalami kekerasan di wilayah-wilayah konflik agraria,” tegasnya.

Sementara itu, Rocky Pasaribu dari KSPPM (Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat), menerangkan, meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba.

“Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius. Atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat,  kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani,” tegasnya.

“Perampasan tanah yang dilakukan akibat kehadiran PT TPL merupakan pemiskinan struktural yang telah terjadi lebih dari tiga dekade, dan berkontribusi besar memperburuk kualitas hidup perempuan” ungkap Rocky menambahkan.

Dikatakannya, kehadiran dua perusahaan besar seperti PT Toba Pulp Lestari  (TPL) dan PT Dairi Prima Mineral (DPM) telah lama merenggut hak-hak perempuan pedesaan di wilayah Toba dan menghancurkan hutan kemenyan.

KLIK INI:  TSCA Edukasi Warga melalui Film Dokumenter tentang Lingkungan

“Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi menyebabkan krisis  iklim yang menyulitkan para petani untuk menentukan musim tanam. Para petani juga seringkali mengalami gagal panen akibat buruknya cuaca yang tidak dapat diprediksi,” tegasnya.

Rocky memaparkam, pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate.

Proyek yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan untuk menangani krisis pangan di masa yang akan datang, nyatanya malah menghilangkan budaya, pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal.

“Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan oleh pemerintah dan korporasi besar. Proyek ini, sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru, industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian dengan skema yang tampak baik di permukaan saja,” pungkasnya.

Ditegaskannya, negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia dimana secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim.

Menurut Rocky, Indonesia sebagai pemegang Presidency G20  harus memastikan bahwa ada kesepakatan yang lebih ambisius yang harus dicapai untuk mengedepankan  model pembangunan ekonomi  yang berkelanjutan, dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan, dan menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak- hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan segelintir elit.

Organisasi yang terlibat dalam kegiatan ini adalah KSPPM, Greenpeace, KPA, AKSI, RAN, AMAN, BAKUMSU, BITRA, PDPK, Petrasa, YAK,  Yapidi.

KLIK INI:  BBKSDA Sulsel Amankan Satwa Liar Endemik di Pasar Burung