Bahaya Stunting (Kekerdilan) bagi Kualitas SDM Indonesia

oleh -148 kali dilihat
Bahaya Stunting (Kekerdilan) bagi Kualitas SDM Indonesia
Ilustrasi/foto-Ist
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikijau.com – Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) menyatakan, faktor lingkungan yang buruk menyumbang 40 persen dari seluruh faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah stunting (kekerdilan) di Indonesia.

Sedangkan 30 persennya disumbang oleh perubahan perilaku masyarakat, 20 persen oleh layanan kesehatan, dan 10 persen faktor genetik.

“Artinya, perubahan perilaku mutlak harus dilakukan apabila ingin mereduksi angka ‘stunting’,” kata Riskiyana Sukandhi Putra, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan.

Seperti dilansir ANTARA, Rabu, 16 Oktober 2019, angka anak kerdil di Indonesia sebesar 30,8 persen menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Berarti pula sepertiga anak balita Indonesia mengalami kekerdilan.

KLIK INI:  Penjahat Ekologis dan Hukuman Berat yang Menantinya

Akibat dari kekerdilan yang paling nyata adalah gagal tumbuh optimal. Dapat dilihat dari postur tubuh yang pendek. Juga ditandai dengan kemampuan motorik lambat, prestasi di sekolah rendah, pun saat dewasa prestasi kerja rendah, mudah kena infeksi, serta mudah terserang penyakit.

“Pendeknya, ‘stunting’ tidak hanya menyebabkan kekerdilan pada anak, namun juga mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal. Hal ini menjadi faktor rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) karena berpengaruh terhadap produktivitas,” ucap Riskiyana.

Masalah intergenerasi

Dalam analisis Riskiyana, stunting merupakan masalah intergenerasi, di mana kehidupan sebelumnya menentukan kehidupan saat ini. Seseorang yang kurang gizi semasa kecilnya, ketika dewasa akan dibawa hingga dia menikah, hamil, dan berisiko melahirkan bayi kerdil.

KLIK INI:  Laut Indonesia Berkubang Sampah, Jepang Turun Tangan

Dampak yang lebih luas dari kondisi ini adalah menurunnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Jika pola pengasuhan dan perilaku tidak mendukung tumbuh kembang bayi yang dilahirkan, maka kekerdilan akan terus berulang pada anak generasi berikutnya.

Ini mengapa peningkatan kesadaran publik untuk mengubah perilaku menjadi kunci. Khususnya lewat strategi komunikasi perubahan perilaku.

“Hingga saat Ini sudah ada 100 kabupaten-kota yang mempunyai peraturan terkait Komunikasi Antar Pribadi (KAP), namun baru 28 kabupaten-kota yang sudah menyusun strategi komunikasi perubahan perilaku,” katanya.

Kementerian Kesehatan sendiri akan melakukan pengoptimalan peran tenaga kerja kesehatan dan kader Posyandu untuk mengomunikasikan pesan perubahan perilaku di seluruh pelosok Indonesia.

Melalui strategi komunikasi, Riskiyana berharap agar masyarakat mempraktikkan perilaku yang diharapkan. Dari hal yang sederhana seperti mencuci tangan menggunakan sabun dan tidak membuang air besar sembarangan. Serta konsumsi tablet tambah darah pada ibu hamil dan pemantauan tumbuh kembang anak lewat Posyandu.

KLIK INI:  Peringati HPSN 2020, Ini 7 Aksi Paling Spektakuler dan Meriah
Turunkan angka kekerdilan

Abdul Muis Asisten Deputi Perlindungan Sosial dan Penanggulangan Bencana Sekretariat Wakil Presiden mengatakan, pada akhir 2024 pemerintah berupaya menurungkan angka kekerdilan hingga di bawah 20 persen.

Mendorong kerja sama lintas sektor (konvergensi) menjadi salah satu usaha pemerintah dalam menangani kekerdilan. Khususnya di tingkat desa prioritas dan kabupaten-kota. Konvergensi ini dilakukan dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan intervensi di tingkat desa.

“Upaya konvergensi dilakukan untuk memastikan program pemerintah pusat, pemerintah daerah bahkan program tanggung jawab dunia usaha terintegrasi untuk pencegahan ‘stunting’,” kata Muis.

Dia menjelaskan ada tiga prioritas dalam menurunkan angka kekerdilan yang diprogramkan pemerintah. Meliputi intervensi sensitif dan spesifik kekerdilan, prioritas lokasi, dan target prioritas intervensi pada keluarga terkait 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

KLIK INI:  Repatriasi 11 Orangutan dari Negara Tetangga Lancar, Kini Mereka Tiba di Habitatnya