Reforma Agraria dan Isu Pergeseran Lahan Pertanian di Indonesia

oleh -577 kali dilihat
Reforma Agraria dan Isu Pergeseran Lahan Pertanian di Indonesia

Judul Buku: Reforma Agraria
Penulis: Dr. Ir. Suardi Bakri, MP.
Penerbit: Bukuta Cipta Litera
Cetakan pertama: 2018
Tebal: 200 halaman

Kebijakan (policy) pemerintah di bidang pertanian mengalami perubahan dari setiap rezim kekuasaan politik di Indonesia.

Jika pada masa Orde Baru  yang dapat dilihat secara konseptual pada setiap Rencana Pembangunan lima tahun (Repelita).

Paradigma kebijakan pembangunan pertanian bertujuan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Untuk memperluas lapangan kerja dan produksi orientasi ekspor, maka di akhir tahun 90-an atau era reformasi telah bergeser pada tujuan agribisnis yang lebih kompleks. Yaitu meningkatkan peran serta (partisipasi), efisiensi dan produktivitas petani.

Sayangnya, desain kebijakan pembangunan pertanian belum sepenuhnya dapat mendongkrak tingkat kesejahteraan petani.

Sektor pertanian juga belum menciptakan distribusi sumber daya ekonomi yang merata. Petani kecil di pedesaan mayoritas hanya menjadi kelas pekerja yang belum sepenuhnya bisa menikmati hasil jerih kerjanya secara maksimal.

Ada masalah mendasar, di samping beberapa masalah lainnya yakni soal kepemilikan lahan.

Buku ini secara spesifik melihat betapa masalah krusial di sektor pertanian kita adalah terjadinya ketimpangan penguasaan lahan pertanian.

KLIK INI:  KLHK Luncurkan Buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 Edisi Bahasa Indonesia

Jika dilihat dari struktur kepemilikan lahan secara nasional pada tahun 1973 terlihat adanya ketimpangan. Yaitu yang menguasai lahan di bawah 0.5 ha merupakan kelompok tertinggi (46%).

Menyusul kelompok yang mengusai lahan pertanian 1.0-5.0 ha (27%), 0.5-1.0 ha (25%) dan sisanya (2%) mengusai lahan di atas 5 ha.

Terdapat pergeseran setelah 10 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1983. Sebagaimana data yang disajikan oleh Torbecke dan Pluijm (1993),  kelompok rumah tangga yang mengusai lahan di bawah 0.25 ha merupakan kelompok terbesar (27%).

Menyusul kelompok rumah tangga yang mengusai antara 0.5 – 1.0 ha (22%), 0.25-0.5 ha (20%) dan terendah yang mengusai lahan 3 ha atau lebih (6%).

Jika dilihat bahwa pada tahun 1973 kelompok rumah tangga yang menguasai lahan di bawah 1.0 hektar 71% menjadi 69% pada tahun 1983, maka pergeseran rumah tangga petani yang menguasai lahan di bawah 1.0 ha hanya 2% selama kurun waktu 10 tahun.

Masalah ketimpangan lahan terjadi di pedesaan yang memang menjadi tumpuan produksi pertanian di Indonesia. Riset dalam buku Reforma Agraria ini mengkaji dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pola penguasaan lahan pada dua desa.

Masing-masing desa dengan sawah dataran rendah dan desa dengan sawah dataran tinggi di Sulawesi Selatan.

Dua desa tersebut, masing-masing di Kabupaten Sidenreng Rappang yang merupakan penghasil pangan, utamanya padi. Di Kabupaten Enrekang yang secara tradisional dikenal bukan sebagai kabupaten penghasil utama beras, melainkan penghasil utama komoditi pertanian lainnya yaitu sayuran dan hortikultura.

Kabupaten Sidrap mewakili kabupaten yang memiliki hamparan lahan sawah dataran rendah. Sedangkan Kabupaten Enrekang merupakan kabupaten yang memiliki lahan sawah di dataran tinggi.

Hasil kajian dalam buku Reforma Agraria menunjukkan bahwa pada sawah dataran rendah ketimpangan penguasaan lahan lebih tinggi dengan tolok ukur indeks Gini 0,68.

Kelompok penguasaan lahan di bawah 0,5 ha yang sangat dominan  (58,92%) serta rata-rata penguasaan lahan lebih sempit  (0,91 ha). Dibandingkan pada sawah dataran tinggi dengan tolok ukur indeks Gini 0,26, dominasi kelompok penguasaan 1,00-2,00 ha (51,72%)  dan rata-rata penguasaan lahan 1,06 ha.

KLIK INI:  Ekofeminisme, Tentang Relasi Gender dan Kehutanan

Oleh sebab itu, diperlukan suatu desain kebijakan pembangunan pertanian yang arahnya lebih spesifik terhadap kelompok penguasaan lahan. Utamanya kelompok penguasaan di bawah 0,5 ha.

Pemerintah disarankan menyiapkan upaya-upaya menampung dan memfasilitasi limpahan tenaga kerja sektor pertanian dengan menggalakkan usaha-usaha off-farm dan non-farm di pedesaan.

Selain itu, revitalisasi kelompok tani perlu diupayakan agar petani-petani kecil tidak didominasi oleh petani kaya dan tuan tanah. Untuk menghindari program pembangunan pertanian hanya menguntungkan petani kaya dan petani berlahan luas dalam satu kelompok.

Di sektor pemerintah, disarankan membuat regulasi berkearifan lokal terhadap transaksi pemindahan penguasaan (jual beli, sakap, garap, gadai maupun sewa) lahan sawah.

Ini untuk mencegah terakumulasinya lahan pada petani kaya dan petani berlahan luas serta semakin dominannya kelompok penguasaan lahan di bawah 0,5 ha.

Pemerintah juga disarankan memasukkan unsur distribusi lahan selain produksi dan tolok ukur makro lainnya dalam tujuan pembangunan pertanian.

Sehingga keberhasilan pembangunan pertanian tidak hanya dilihat dari pertumbuhan produksi tetapi juga pada distribusi penguasaan lahan yang wajar dan berkeadilan.

Buku ini menjadi semakin menarik karena penulisnya membahasnya dengan berbasis teori memadai ditunjang pengalaman empirik yang panjang.

KLIK INI:  Kejutan dan Pengetahuan Baru tentang Gen dan DNA dalam “The Biology of Belief”
oleh