Pembakar Kisah di Danniari

oleh -396 kali dilihat
Ilustrasi patah hati
Ilustrasi/foto-Instagram.com-maggiecoledraws
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Menua malam, jam 02: 48 danniari ‘dini hari’. Ia melihatmu sedang remasi sunyi seorang sendiri di  balai-balai bambu  depan rumahmu.  Terisak penuh duka. Ia  menghampirimu dengan was-was. Takut kamu terkejut dan lupakan sedihmu. Terasa anehkan, biasanya orang takut jika bahagia seseorang hilang. Tapi ia takut sedihmu hilang. Kamu jadi perempuan dalam kesedihanmu.

Cahaya dari teras rumah menerangimu. Pakian hijau muda terlihat serasi paluti tubuhmu.  Jika saja kamu memakai baju warna putih ia pasti takut menghampiri. Pagar  rumah sengaja  tak ditutup. Barangkali kamu  menunggu seseorang atau  telat pulang hingga pintu  terkunci dan kamu tak bisa masuk. Tapi, gadde-gadde ‘toko kecil menjual barang campuran’ masih terbuka.

“Sejak lima tahun lalu aku selalu di balai-balai ini ketika malam jatuh pada titik larutnya yang sunyi,” katamu sambil terisak tanpa menoleh. Ia  menatapmu tak mengerti.

“Kenapa, sedang menunggu seseorang?” tanyanya dengan kehati-hatian yang lumut, takut kamu tersinggung. Kamu mendongak, tersenyum sekilas dan entah kenapa kamu mulai menceritakan kisahmu

“Tolong ceritakan kisah ini pada yang lainnya. Aku ingin orang tahu ada perempuan yang memelihara mimpinya sedemikian rupa!” pintamu.

Cerita yang diceritakan dengan cerita

Tak ada kisah yang benar-benar selesai selama ada mulut mengisahkannya dan telinga mendengarnya. Aku ingin kisahku tak lesap pada tiada. Mengering lalu dilupakan begitu saja. kisah yang dilupakan adalah kengerian yang dahsyat. Aku tak ingin berakhir pada tiada. Seseorang harus mengingatku.

Aku tinggal berdua dengan nenekku yang telah menua.  Kedua orangtuaku hilang dalam hujan sebelas tahun lalu. Dan tiap malam, sejak lima tahun lalu aku terbiasa terjaga tengah malam. Aku menunggu seseorang seperti tebakanmu.  Ia seorang lelaki yang telah kukagumi. Kagum itu mengental lalu berubah cinta yang rumit dan brengsek. Aaah, mencintai rupanya adalah pekerjaan rumit yang sulit berhenti. Mencintai adalah kegilaan yang indah.

Balai-balai bambu ini jadi saksi penantianku yang malang. Tiap malam aku akan keluar ke balai-balai ini menatapi pagar. Berharap dia melangkah masuk ke sini—menemuiki dan menceritakan kisah tualangnya yang jauh dan lama. Harapan itu selalu saja pergi seiring perginya malam, namun tetap kembali—tak pernah ingkar janji pada malam berikutnya. Selalu saja begitu. Penantian ini tak mengenal kata usia.

Aku akan masuk ke rumah saat azan subuh tiba di pendengaranku, membangunkan nenek  untuk salat subuh, dan  tetap memelihara harapan dan tersenyum atas senyumnya dengan perempuan itu.  Aku tahu kamu mendengar  tangis tertahan dalam tegarku yang basa basi.

Bukan hanya  kepergian orangtuaku yang akan kubagi, tapi juga kisahku yang rahasia, lelaki yang kucinta  mencintai perempuan lain. Sialnya aku memelihara cinta dan janjinya akan tetap bersamaku, bukan satu tahun, dua tahun, tapi selamanya.  Aku menjaganya tetap biak dalam diriku.

 Mimpi yang Terus Kembali

“Kenapa kamu menceritakan kisahmu kepadaku?” tanyanya. Kamu menatapnya dengan terkejut

“Tidak bisakah kamu menunggu  hingga selesai ceritaku,” katanya dengan nada protes

“Aku penasaran.”

“Telah banyak rasa penasaran yang membawa petaka,”

“Ok, lanjutkan kisahmu!” katanya menyerah

Kamu menarik napas—menatap pagar itu—nyaris tak berkedip. Ia menatapmu, ingin duduk di sampingmu sambil menyandarkan kepalamu di bahunya. Tapi, yang dilakukannya hanyalah tetap berdiri di depanmu sambil menyandarkan tubuhnya di tembok, menghisap rokoknya dalam-dalam demi mengusir gigil yang bertebaran ke dalam dirinya.

“Sejak lima tahun lalu,  kamu lelaki pertama yang masuk ke pekarangan ini.  Karenanya aku menceritakan kisahku. Jelas?” ujarmu memecah sunyi.

“Tapi kenapa?

“Yang membuatku  malas menjawab pertanyaan karena jawaban akan melahirkan pertanyaan baru,”

“Jadi?”

“Dengarkan saja kisahku!”

Sepi terasa  menampar-nampar napas. Tatapanmu tak berubah arah ke arahnya, tetap saja ke pagar itu. Sepertinya kesendirian yang lama benar-benar telah tanak di dalam dirimu. Kamu menuangkannya  dalam piring bernama kesabaran. Ia menatap matamu, tak ada air mata di sana. Di sana hanya ada mata perempuan dengan segala tegar yang dipunyainya.

 Kenangan itu Petaka

Kamu terus saja menceritakan kisahmu. Bagimu tak ada hal paling mungkin dilakukan selain menantinya kembali untuk penuhi janjinya; menikahimu.  Dan meninggalkan perempuan itu, perempuan yang merampasnya dariku.

Saat ceritamu mengalir sungai. Kenangannya juga berpendar-pendar keluar masuk dari pikirannya. Sejujurnya ia  hampir sama denganmu,  pencinta malam, pencinta sepi, dan ia memelihara cinta yang sama. Perempuan yang ia cintai, sejak lima tahun lalu. Lebih memilih lelaki lain ketimbang dirinya. Sejak lima tahun lalu pula, pada tiap tanggal perginya perempuannya itu ditandainya dengan sebuah cerita yang ditulis penuh luka dan pada tanggal pertemuannya akan ditandai dengan menanam sebatang pohon  di kebun warisan orangtuanya di kampung, empat jam perjalanan dari ibukota provinsi.

Gempuran kenangannya jeda saat ia mendengar kamu hembuskan napasmu dengan berat. Ia menatapmu, kamu  kembali menata napas lalu ceritamu menderas. Seperti derasnya sungai Addungang  di kampungnya ketika pabosi  ‘musim hujan’.

 Menjadi Lingkaran Luka Sendiri

Aku selalu ingin mengunjungi sungai yang menelan orangtuaku—menghanyutkan rokok kesukaan Ayah di sungai itu dan kebaya kesukaan Ibu. Tapi, sejak  sebelas tahun lalu aku terkurung di rumah ini. Aku tak pernah baik-baik saja sejak orangtuaku hilang dalam hujan. Kamu tahu, aku mulai membenci sekolah sejak  usia belasan tahun. Saat guruku tak memberi izin untuk ikut orangtuaku ke sebuah kampung di selatan kota ini.  Jika saja aku diberi izin, aku bisa bersama orangtuaku merasakan ganasnya arus sungai menyeret tubuh kami. Aku bisa tahu di mana tubuh orangtuaku terdampar.

Aku tak tahu bagaimana keduanya bisa hanyut di sungai. Pamanku, saudara Ayah yang tinggal di kampung itu satu-satunya saksi kejadian pilu itu. Ia menyertai orangtuaku saat hanyut, tapi dia sendiri selamat. Rasanya ada yang ganjil. Tapi aku tak ingin curiga berlebihan. Ayah dan saudaranya itu saling menyayangi. Tak pernah cekcok.

Menurut pamanku ketika orangtuaku menyebrangi sungai, jembatan bambu tiba-tiba runtuh karena dihantam kayu yang hanyut. Pamanku saat itu belum menyebrang. Ia meraung-raung memanggil saudaranya, tapi suaranya dikalahkan hujan, ditenggelamkan gemuruh sungai. Ia berlari pulang, berteriak sepanjang jalan minta tolong. Warga berhamburan ke sungai, tapi tak ada tanda orangtuaku bisa ditemukan hingga kini. Kisah ini seperti dongeng, dongeng yang mengerikan—mengeringkan air mataku.

Sejak orangtuaku tiada aku mulai dimanjai kesendirianhingga suatu senja yang gerimis, seseorang datang mengetuk pintu rumah ini. Ia ingin membeli rokok sama sepertimu. Ia terperangah melihatku yang baru bangun tidur, memakai daster dan belum mandi bahkan belum sempat menyisir rambut.

Ia membeli rokok dengan tergesa kemudian melangkah pergi. Aku memperhatikannya, ia menoleh empat kali sebelum benar-benar menghilang dari pandanganku. Sejak kejadian senja ituia sering datang membeli rokok, hanya rokok, tak pernah membeli yang lain. Dan lama-kelamaan seperti cerita pada umumnya yang mudah ditebak, kami saling akrab dan saling jatuh cinta. Lalu seperti yang kuceritakan di awal. Ia meninggalkanku sejak lima tahun lalu, dan aku menunggunya di balai-balai ini sejak lima tahun lalu pula hingga kini.

 Kisah yang Terus Kembali

Ia dan kamu tak saling menyebutkan  nama masing-masing—tak ada perkenalan. Kamu enteng saja di danniari yang sepi cekam, kamu tak takut ia berbuat nekat kepadamu. Ia lelaki normal dan kamu perempuan normal pula. Sepi acap kali mendorong seseorang saling menghangatkan.

Secara kebetulan saja ia lewat dan mampir. Ia sangka kamu  menjagai gadde-gadde itu. Ia butuh rokok untuk menyelesaikan sebuah cerita yang ditulisnya. Besok, tepat lima tahun  perpisahannya dengan  Hanima, kekasihnya. Ia selalu saja menandai perpisahan itu dengan sebuah tulisan. Dan  rokok selalu jadi pengusir kebuntuan ketika menulis. Tapi, ia ingin berhenti merokok. Janjinya setelah menyelesaikan ceritanya malam ini. Rokok nyaris merenggut nyawa malam ini. Ia mengisap rokoknya sambil mengendarai motor dan hampir tabrakan dengan truk yang melaju kencang.

Ia juga akan mengenang tanggal pertemuannya dengan Hanima, 18 Agustus dengan menanam satu pohon.  Ia bermimpi kelak akan berubah hutan yang bisa jadi tempat rekreasi yang nyaman bagi para kekasih yang kehilangan orang yang dicintainya. Diam-diam ia  ingin mengajakmu ke kebunku itu.

Ia menarik napas dan mengusap matanya dengan punggung tangannya. Tatapannya memanah kepadamu. Untung saja saat itu kamu tak menoleh kepadanya. Jika saja menoleh kamu akan temukan air matanya, dan barangkali kamu akan menertawakannya sebab ia menangis. Tapi, kamu harus percaya lelaki juga menangis jika mengenang kepergian orang yang dicintainya.

“Aku memilih jadi akar, menyerap air untuk hijaukan daunnya. Aku memilih jadi jarum untuk menambal bajunya yang sobek, aku memilih jadi lilin untuk terangi gelapnya. Dan aku memilih menggenggam mimpiku kepadanya. Jika kelak ia tahu ada perempuan lain mencintainya, aku ingin itu aku,” katamu membuyarkan lamunannya yang mulai kian basah.

“Kamu perempuan yang tangguh,” katanya seenaknya dan seolah sangat datar. Padahal hatinya berdesir. Itu pertama kalinya ia memuji perempuan sejak lima tahun lalu. Perempuan terakhir yang dipujinya adalah  Prawati. Perempuan menanak luka di hatinya sejak lima tahun lalu.

Prawati, perempuan yang membuatnya menyukai malam, menyukai aroma hujan. Menyukai luka dan menyukai merayakan cintaku yang tak sampai. Ia merayakan kegagalannya dengan  menanam pohon yang dinamai pohon cinta dan menulis kisahnya sendiri berlembar-lembar, lalu setelah dituliskan, ia akan membakarnya. Abunya ia tabur di atas pohon yang ditanamnya itu—menjadikannyaa pupuk. Ia  berharap pohon-pohon yang ditanam akan jadi tempat yang sehat. Dikunjungi mereka yang patah hati. Mereka yang memelihara cintanya.

 Memejam Masa Lalu di Matamu

Azan subuh terdengar dari masjid dekat rumahmu. Kamu pamit membangunkan nenekmu. Dan ketika kembali, segelas kopi hitam mengepul kamu sajikan.

“Berhentilah merokok!” pintamu, matamu teduh menatapnya. Jauh dari kesan memerintah

Kamu perempuan ketiga yang memintanya berhenti merokok, yang pertama ibunya dan yang kedua Prawati—perempuan yang hampir saja dinikahinya jika  tak pergi pada entah.  Ia mematikan rokoknya di asbak lalu menyeruput kopi seduhanmu. Itu gelas ketiga, sebab di warkop tadi ia telah menandaskan dua gelas kopi.

Kamu terus saja  menceritakan kisahmu denga Ruangtada  lelaki yang merampas ceriamu dengan beringas. Kamu geram dan menutup hatimu untuk para lelaki—kecuali untuk Ruangtada kamu mencintainya sangat dalam— sangat rapat.

Setelah kopinya habis,  ia pamit pulang. Ia tak menanyakan namamu, dan kamu tak menanyakan namanya. Namun, ia berjanji akan menemuimu secepatnya.  Akan diceritakan pula kisahnya yang  mirip kisahmu.

 Perempuan Penggenggam Mimpi

Ia kagum padamu yang memelihara mimpi cintanya denga rapat. Penuh rahasia. Ia  buru-buru ingin sampai lalu menulis tentangmu. Melupakan tulisan kisahnya selanjutnya perihal Prawati. Ia temukan kisah di matamu, meski entah harus dimulai darimana. Apakah dari kedua orangtuamu yang hilang dalam hujan atau dari kesepianmu atau tentang sungai di kampungnya.

Pikirannya mengembara jauh, lalu kesadaran tetiba saja merasukinya. Pikiran aneh merentang di hadapannya,  jangan-jangan orangtuamulah yang hanyut di sungai itu. Sekitar sebelas tahun yang lalu, warga geger karena jembatan roboh dan orang terjatuh ke dalam sungai. Umurnya saat kejadian itu masih lima belas atau enam belas tahun. Yang ia dengar, hingga kini mayat kedua orang itu belum ditemukan.

Kisahmu seperti rindu yang memaksa untuk terus kembali. Menyergap dari sisi sunyi yang paling cekam. Kisahmu adalah kisah mulai berputar di kepalanya, menebalkan imajinya. Serupa hujan yang selalu kembali pada musimnya, serupa akar yang selalu mencari tanah gembur, serupa benang yang butuhkan jarum untuk melintasi sobekan kain lalu merapatkannya.

Ia terus saja mengingat ceritamu, bagaimana jika Prawati-lah yang menjadi perempuan yang dicintai kekasihmu, Ruangtada itu. Bagaimana jika Ruangtada, kekasihmu yang merampas Prawati, kekasihnya. Bagaimana jika….???

Terlalu banyak kata bagaimana berlalu lintas di pikirannya di perjalan pulang subuh itu. Karenanyalah, ia memutar balik motornya ke arah rumahmu. Tapi, ketika ia sampai pagar rumahmu telah terkunci.

 Menjahit Kisah

Jika kamu memilih jadi lilin akan ada yang memilih jadi apinya. Jika kamu memilih jadi jarum akan ada yang rela jadi benangnya. Jika kamu memilih jadi akar akan ada yang ikhlas menjadi tanah. Maka  ia ingin menjadi seperti inginmu. Menceritakan  kisahmu meski ia tahu menceritakan kisah yang hampir mirip kisahnya serupa menjahit celana sobek yang melintasi jarak antara paha kiri dan kanan. Jika tak rapat angin akan melesap masuk, jika tak kuat akan kembali sobek. Mempermalukan pemiliknya di tempat umum. Terkesan gampang, namun rumitnya lebih tumpuk. Namun sebuah kisah serumit apa pun itu tetap perlu dikisahkan. Ia tetap ingin menuliskan kisahmu.

Saat ini ia sedang di depan Notebooknya yang berwarna biru, sedang memikirkan memulai kisahmu darimana. Sudah dua jam ia memikirkannya dan hanya ini yang berhasil dituliskannya. Sebuah kisah yang terbakar di danniari, di mata seorang perempuan.