Klikhijau.com – Pusat Kebijakan Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Pusjakstra KLHK) menggelar FGD mengenai Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Mangrove secara Berkelanjutan di Hotel Rinra Makassar (15/6).
Kegiatan ini dihadiri multi-pihak antara lain Tim Pusjakstra KLHK, Pemerintah Daerah, NGO, tokoh masyarakat, akademisi, Media dan lainnya.
“FGD ini digelar untuk menampung masukan dan pandangan teman-teman khususnya dari Pemda tentang bagaimana rencana tata ruang wilayahnya terkait ekosistem mangrove. Juga mendengar pandangan teman teman KLHK khususnya BPDAS terkait reabilitasi dana dan konservasi kawasan,” jelas Kepala Pusjakstra KLHK, Ir. Thomas Nifinsluri, M.Sc.
Thomas menekankan perlunya sinergitas dalam penyusunan rencana dan implementasi kebijakan pengelolaan kawasan di daerah.
“Kebijakan pembangunan di daerah misalnya harus mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tamping lingkungan. Ini penting karena terkait masalah pengolahan lingkungan perlu integrase lintas sektor,” tambahnya.
Kesejahteraan masyarakat pesisir
Kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan diharapkan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat di pesisir. Hal ini karena tipologi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan garis pantai yang panjang.
Menurut Thomas, ekosistem mangrove merupakan penyangga kehidupan yang strategis sebagai makcombalng antara daratan pesisir dan ekosistem laut.
“Garis pantai di Sulawesi Selatan sangat luar biasa. Ini potensi besar. Masyarakat yang ada di pesisir sangat banyak. Sehingga memang mempunyai potensi dampak terhadap eksistensi kelestarian fungsi ekosistem mangrove,” jelas Thomas.
Selain peran dan fungsi mangrove sebagai penahan abrasi, ekosistem mangrove juga memainkan peran khususnya terumbu karang yang sangat strategis dalam kehidupan ekonomi masyarakat di pesisir.
Kolaborasi restorasi mangrove
Dengan potensi yang besar tersebut, Pusjastra KLHK sedang mendorong kebijakan yang terintegrasi baik di pusat maupun di daerah. Kebijakan yang dimaksud adalah memastikan ekosistem mangrove dapat terjaga.
“Tata ruang dan kebijakan penganggaran di daerah sejatinya mempertimbangkan pelestarian ekosistem mangrove. Ini harus duduk bersama lintas stakeholders. Kolaborasi multi pihak juga diperlukan dalam restorasi mangrove,” jelas mantan Kepala Balai BKSDA Sulsel ini.
Thomas menekankan pentingnya kolaborasi dalam mendukung restorasi mangrove. Dalam hal ini masyarakat memiliki peran vital dalam pelestarian mangrove baik dari aspek kehidupan sosial, ketahanan budaya, ketahanan ekologi dan juga ketahanan iklim.
“Itulah sebabnya, dalam pengolahan kawasan yang dilihat secara seluruhan, jadi kita tidak melihat batasan administrasi suatu restorasi kabupaten kota. Kita melihatnya sebagai suatu pengolahan yang berbasis lanskap dan berbasis ekosistem,” jelasnya.
Karena itulah, Thomas menekankan agar Pemerintah Daerah memasukkan aspek daya tampung lingkungan hidup dalam rencana pembangunan jangka panjang. Termasuk melihat dari fungsi lindung, konservasi dan fungsi produksi.
“Pesannya cuma satu, kolaborasi. Konsep kolaborasi yang kita perlu dorong, tentunya mendapat dukungan dari pemerintah, seperti sarana prasarana teknologi informasi saya kira disitu kekuatan yang berkelanjutan,” tambahnya.
Selain dari tiga pilar tersebut, jelas Thomas, pembangunan di daerah wajib memperhatikan harmonisasi tiga isu strategis yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Serta yang penting adalah tata kelolahnya. Di dalam pengolahan ekosistem magrove secara berkelanjutan dan juga melibatkan kaum muda milenial, juga media dalam hal literasi konservasi edukasi tentang pelestarian mangrove,” tutupnya.