Dear Para Pemaku Pohon, Kalian Membunuh Masa Depan!

oleh -166 kali dilihat
Dear Para Pemaku Pohon, Kalian Membunuh Masa Depan!
Gambar yang diambil di jalan Tentara Pelajar Kota Makassar - Foto: Ist
Anis Kurniawan

Klikhijau.com – Pemilu 2024 sudah dekat. Bulan-bulan terakhir ini, pepohonan jadi sasaran para politikus. Di sepanjang jalan, poster-poster dengan ragam ukuran menempel erat di pepohonan. Sebagian besarnya terpasang karena paku. Yah, mereka memaku pepohonan—melukai.

Paradoks

Ini tentu paradoks. Apa sebab? Pertama, mereka mengklaim diri sebagai calon pemimpin yang akan merepresentasi suara rakyat di parlemen. Kedua, mereka (sebagian besarnya) adalah kalangan terdidik dan terbilang tokoh. Ketiga, mereka sekonyong-konyong memberi harapan dan menawarkan perubahan.

Untuk ketiga hal tersebut, mengapa mereka melukai pohon?

Sebagai pemerhati lingkungan, melihat pohon dipaku sungguh miris. Menyedihkan! Kami terheran-heran: “apakah mereka lupa bahwa pepohonan juga makhluk hidup?” Melukai pohon berarti merusak satu bagian penting dalam kehidupan.

Melukai pohon berarti membunuh masa depan dan menyakiti ciptaanNya. Politikus sejatinya punya kualitas mendengarkan dan kedalaman empati, termasuk pada pepohonan.

KLIK INI:  Momen Hari Gerakan Sejuta Pohon, Begini Pesan Bermakna Guru Besar UINAM!

Pohon-pohon memang bukanlah voters dalam demokrasi, tetapi pohon adalah stakeholders, lebih tepatnya speechless stakeholders. Pohon itu hidup, ia berbicara dengan bahasanya sendiri. Bila ia terluka atau terganggu oleh sesuatu, pertumbuhannya menjadi terhambat bahkan mati.

Bila pohon mati atau dirundung sakit karena dipaku, apa tak berlebihan kita disebut pembunuh? Pohon memberi oksigen untuk bernapas dan menangkap karbon dioksida agar tak melulu berkumpul di atmosfer. Pohon memberi kebaikan sepanjang hidupnya.

Bahkan dalam kesunyian, pepohonan memberi kebaikan tanpa pamrih. Cobalah berhenti sejenak di sebuah pepohonan dan mengajaknya berbincang. Peluklah tubuhnya yang hebat dan tabah. Sebagai manusia yang berakal, saya yakin kita dapat merasakan getaran jiwa yang hidup darinya.

Satu pohon dapat memberi ketersediaan oksigen untuk sekira 5 orang, maka merusaknya sama dengan merampas hak hidup sehat banyak orang. Pada puluhan pohon yang terus dipaku, jelas satu Tindakan yang tak berperikemanusiaan bukan?

KLIK INI:  Yuk Kenali Forest Restoration Project: SDGs Together!

Pohon dan cinta

Pohon butuh cinta, penghargaan. Karenanya, Ia perlu dijaga sebagai sebuah sistem. Dalam struktur tubuhnya ada jaringan-jaringan yang saling terhubung, memaku batangnya berarti merusak kambium—suatu bagian yang amat rentan. Bila paku dari besi kemudian menancap dan berkarat di tubuhnya, akan ada lubang yang memungkinkan semut dan rayap-rayap berkelindan. Pohon akan keropos perlahan, lalu tumbang. Mati.

Bayangkan, apa bedanya dengan tubuh manusia yang ditusuk paku secara sengaja?

Luka pada pohon karena ulah para pemaku adalah satu sisi, katakanlah dari aspek ekologisnya. Sampai di sini, jelas tiada perdebatan lagi. Pohon tak selayaknya dipaku, dilukai.

Maka politikus yang memasang poster dirinya dengan memaku pohon adalah tindakan barbar. Paradoksal. Bagaimana mungkin ada pemimpin dan wakil-wakil kita di parlemen yang tabiatnya barbar dan buta hati?

Para pemaku pohon boleh jadi kehilangan daya cinta, ini dari aspek makna. Dalam fenomena sosial yang kompleks, makna-makna terselubung di balik realitas. Tugas kita tentu menangkap makna di baliknya agar kita memahami esensinya.

KLIK INI:  10 Januari, Hari Gerakan Sejuta Pohon, Sejarah dan Link Twibbon untuk Sosmed

Seperti sebuah nukilan, barangsiapa yang menjaga alam, maka alam akan menjaganya pula. Sebaliknya, kerusakan di muka bumi tak lain adalah ulah manusia itu sendiri. Defisit empati dan daya cinta pada tetumbuhan adalah wajah kepemimpinan kita yang abai terhadap isu-isu keberlanjutan (sustainability).

Pantas saja, semakin kesini semakin terang benderang, bagaimana kebijakan (policy) sangat permisif pada investasi. Tanpa memandang seberapa besar dampak lingkungan dari investasi tersebut, semua bisa berjalan atas nama pembangunan. Jangan-jangan karena konstruksi politik dan demokrasi kita kehilangan daya cinta. Mati rasa!

Politik yang berpihak

Kembali ke topik awal mengenai pohon-pohon yang dipaku, apakah mereka tidak tahu bahwa melukai pohon itu tidak etis? Rasanya tidak juga. Saya yakin, mereka sangat memahami betapa pohon tidak boleh dipaku. Selain itu, regulasi mengenai pelarangan pemasangan alat kampanye pada pepohonan juga sangat jelas telah tertuang dalam PKPU nomor 15 tahun 2013 pasal 17. Para calon peserta Pemilu, tentu sudah harus mematuhinya.

Maka sudah saatnya kita memberi hukuman sosial pada para pemaku pohon. Bila ia politikus, bolehlah kita garis merah sama-sama. Kita jadikan satu poin ini sebagai syarat utama calon wakil kita di parlemen atau di pemerintahan: tidak memaku pohon.

Setelah itu, tugas kita bersama adalah mengawasinya. Catat dan bila perlu kampanyekan para politikus pemaku pohon tersebut sebagai yang kurang layak dipertimbangkan.

Selanjutnya, tugas penyelenggara Pemilu tentu haruslah tegas pula. Harus ada sanksi yang tegas dan tak tebang pilih. Ini penting agar drama ini tidak jadi parodi yang terus berulang di setiap momen politik.

Pendeknya, kita menghendaki politikus yang berpihak pada lingkungan hidup, pada keberlanjutan, pada pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan. Untuk tugas besar ini rasanya mustahil tumbuh dari politikus bermental barbar memaku pohon.

Dear para politikus, jangan menusuk kami dari belakang dengan memaku pohon!

KLIK INI:  Deforestasi dan Kerusakan Ekosistem Memicu Merebaknya Wabah