Klikhijau.com – Pengolahan Mangrove sebagai sumber pangan lokal bukanlah hal baru bagi masyarakat pesisir di Raja Ampat. Pada webinar yang digelar KlikHijau, Jum’at (2/5/2025) bertajuk “Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Pangan dari Ekosistem Mangrove Berbasis Warga”, terungkap fakta sejarah dan kekayaan kultural yang selama ini tersembunyi di balik rimbunnya hutan Mangrove Papua.
Hal itu dijelaskan secara mendalam oleh aktivisi lingkungan dari Raja Ampat, Stevanus Wawiyai. Lebih dari sekadar sumber daya alam, mangrove menjadi denyut nadi kehidupan, terutama bagi kelompok perempuan di wilayah pesisir.
“Ditahun 2018, kami coba membentuk perkumpulan kawan pesisir, yang kemudian ada beberapa kegiatan yang mulai kami inisiasi, pertama kami melakukan pemetaan partisipatif,” Ujar Stevanus dalam pemaparannya.
Stevanus mengatakan, dalam kegiatan pemetaan partisipatif, ia membagi ruang kelola, pengelolaan sumber daya alam antara laki-laki dan perempuan. Di Raja Ampat, laki-laki akan lebih banyak mengakses laut seperti memancing, dan melakukan metode penangkapan ikan lainnya.
“Sedangkan perempuan, akan lebih dekat dengan Mangrove, maksudnya lebih dekat mengakses sumber daya di sekitaran Mangrove. Jadi perempuan dapat melakukan pemanfaatan terhadap Mangrove tersebut, seperti pengambilan buah Mangrove, mengambilan kulit kayu, dan lainnya,” tambahnya.
Dari pemetaan partisipatif ini, bisa ditemukan bahwa ternyata pengelolaan sumber daya wilayah pesisir, ekosistem Mangrove lebih banyak dilakukan oleh kelompok perempuan. Bahkan sampai 80-90% yang mengelola pemanfaatan Mangrove adalah perempuan. Ini membantah anggapan umum bahwa laki-laki lah yang lebih dominan dalam pemanfaatan sumber daya pesisir.
“Kondisi ini membuka ruang diskusi baru. Bagaimana memperkuat posisi perempuan dalam rantai ekonomi lokal berbasis pengelolaan Mangrove. Ketika bicara pengelolaan sumber daya alam dan kampanye lingkungan, tentu harus diiringi dengan upaya membangun kekuatan ekonomi bagi perempuan. “Karena itu kami mendorong pengolahan produk Mangrove sebagai pangan lokal,” jelas Stevanus.
Mangrove mungkin baru menjadi topik hangat di banyak tempat di Indonesia akhir-akhir ini, khususnya dalam wacana pengembangan produk makanan dari Mangrove.
“Namun, bagi masyarakat Papua khususnya suku Biak yang tinggal di wilayah pesisir, pengelolaan Mangrove bukanlah hal baru. pengelolaan mangrove atau pemanfaatan mangrove sudah mereka lakukan sejak abad-14. Artinya bagi orang Papua, Mangrove sudah mereka konsumsi di abad-14,” ungkapnya.
Mangrove, bersama sagu dan sorgum (gandum Papua), menjadi bekal utama dalam pelayaran masyarakat Papua di masa lampau. Salah satu jenis Mangrove yang dikonsumsi adalah Bruguiera gymnorrhiza, yang dalam bahasa lokal disebut Aiwon. Diolah dengan teknik sederhana melalui perebusan, perendaman, dan pengeringan, tapi secara ketahanan pangan, itu bisa bertahan sampai 10-15 tahun.
“Jadi sebenarnya dapat dikatakan bahwa ini merupakan kekayaan bangsa yang terpendam. Ini baru mulai diteliti secara mendalam oleh para akademisi, praktisi, NGO, yang kemudian mulai mencoba untuk memboomingkan tentang pangan lokal dari Mangrove,” katanya.
Dari luas lahan 1025,55 Ha kawasan hutan desa, terbagi mejadi 3 yaitu ruang lindung, ruang pemanfaatan, dan ruang pemanfaatan berbasis konservasi. Di ruang pemanfaatan inilah yang kemudian dilakukan pengelolaan Mangrove untuk menciptakan sebuah produk seperti tepung Mangrove, sabun padat, sabun cair, dan lain-lain.
“Dan semua anggota yang tergabung dalam kelompok yang melakukan pengelolaan ini semuanya adalah perempuan. “kemarin saja, kami baru melakukan pendampingan pelatihan pembuatan mie Mangrove,” tuturnya.
Ini memperjelas bagaimana inovasi ketahanan pangan itu melalui pengelolaan perhutanan sosial. Harapannya bagi kami adalah kelompok perempuan itu, mereka berdaulat atas sumber daya mereka sendiri.
“Mereka menjadi tuan rumah di negeri mereka sendiri. Apalagi wilayah raja ampat merupakan daerah yang ditetapkan sebagai daerah pariwisata, maka sebagai tuan rumah yang baik, mereka sudah harus siap, bukan hanya jadi penonton, tapi juga terlibat dalam pembuatan produk dari sumber daya yang mereka miliki sendiri,” lengkapnya.
Stevanus juga menegaskan bahwa pengelolaan Mangrove di Raja Ampat tidak asal pilih.
“Pada saat kami melakukan identifikasi jenis-jenis Mangrove, kami di wilayah Raja Ampat terutama di kampung Friwen dengan 16 jenis Mangrove sejati, sebenarnya hanya satu bisa dimanfaatkan untuk dikonsumsi, yaitu bruguera gymnorrhiza, dalam bahasa lokal Aiwon. Itulah yang dikelola dan dikonsumsi, dari sejak dulu hingga masa kini. Biasanya mereka kelola dengan metode dan teknik tradisional melalui proses perebusan, perendaman hingga proses pengeringan. Dan memang secara historis, bruguera gymnorrhiza adalah jenis yang ketika diolah dengan baik, maka sangat direkomendasikan untuk kedepannya dapat sebagai produk ketahanan pangan yang bsia bertahan lama,” jelasnya.
Pengolahan pangan dari mangrove di Raja Ampat bukan sekadar inovasi, ia adalah warisan kearifan lokal yang dihidupkan kembali oleh tangan-tangan perempuan pesisir demi menjaga kehidupan dan masa depan.