Klikhijau.com – Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai (AKAMSI) mendatangi Kantor Gubernur Jawa Timur hari ini untuk menyerahkan laporan hasil temuan lapangan dan kajian ilmiah mengenai kondisi kritis Kali Surabaya, yang disebut telah memasuki tahap darurat ekologis.
Aksi ini dilakukan menyusul insiden ikan mati massal terbaru di Wringinanom dua hari sebelumnya.
AKAMSI, yang terdiri dari Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON), AksiBiroe, dan Surabaya River Revolution, menyoroti beberapa permasalahan utama yang menyebabkan degradasi parah di Kali Surabaya, Rabu, 21 Mei 2025.
Ribuan Bangunan Ilegal Kepung Sempadan Sungai
Berdasarkan pemetaan spasial citra satelit (2015-2025), AKAMSI menemukan 4.641 unit bangunan ilegal berdiri di atas sempadan Kali Surabaya. Bangunan-bangunan ini tidak hanya melanggar PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, tetapi juga merampas ruang resapan air dan menjadi sumber langsung pencemaran limbah rumah tangga dan industri.
Penyebaran bangunan ilegal ini teridentifikasi di empat kabupaten/kota: Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya, dengan pertumbuhan tercepat di segmen tengah sungai (Gresik dan Sidoarjo). Rio Ardiansa, anggota AKAMSI, menegaskan bahwa ini adalah wujud nyata dari ketidakpedulian sistem terhadap kondisi sungai.
Mikroplastik Ancam Ekosistem dan Kesehatan Manusia
Penelitian AKAMSI juga mengungkap keberadaan mikroplastik dalam berbagai organisme sungai, mulai dari plankton, kepiting air tawar, hingga udang.
Mikroplastik jenis fiber adalah yang paling dominan ditemukan di seluruh titik sampel, dengan konsentrasi tertinggi di hilir (Karangpilang dan Kramat Temenggung).
Uji laboratorium FTIR menunjukkan kandungan polimer berbahaya seperti Polyethylene (PE), Polypropylene (PP), dan PET, yang berasal dari limbah rumah tangga dan industri.
Ilham, tim peneliti mikroplastik, memperingatkan bahwa paparan mikroplastik pada organisme perairan dapat berdampak serius jika masuk ke tubuh manusia melalui konsumsi ikan. Mikroplastik bahkan sudah ditemukan pada plankton, produsen primer dalam rantai makanan.
Kualitas Air Menurun Drastis dari Hulu ke Hilir
Pengukuran kualitas air menunjukkan penurunan signifikan Dissolved Oxygen (DO) dari 4,69 mg/L di hulu (Wringinanom) menjadi hanya 1,95 mg/L di hilir (Karangpilang).
Skor Biotik juga menurun drastis, dari “Sehat” di hulu menjadi “Tidak Sehat” di hilir. Peningkatan suhu air dan hilangnya vegetasi sempadan semakin memperparah kemampuan sungai untuk mendukung kehidupan akuatik.
Sistem Pengelolaan Sampah Desa yang Gagal
AKAMSI menemukan bahwa meskipun sebagian besar desa di sepanjang Kali Surabaya memiliki fasilitas pengelolaan sampah terpadu, 33,3% segmen desa tidak memiliki Tempat Pengelolaan Sampah (TPS), dan 86,67% desa masih mengelola sampah dengan cara dibakar.
Kondisi ini menyebabkan kebiasaan membuang sampah langsung ke sungai masih lazim terjadi.
Ikan Mati Massal Berulang Tanpa Penyelidikan Tuntas
Insiden ikan mati massal di Wringinanom pada 19 Mei 2025 adalah kejadian berulang yang hampir terjadi setiap tahun, namun tanpa investigasi tuntas.
Yosua Asa Firdaus, anggota AKAMSI lainnya, mengungkapkan bahwa diamnya masyarakat dan pemerintah secara tidak langsung telah menjadikan sungai sebagai kuburan ikan.
Tuntutan AKAMSI dan Respons Pemerintah Provinsi Jawa Timur
AKAMSI mengajukan sejumlah tuntutan kepada Gubernur Jawa Timur, di antaranya:
1. Penertiban menyeluruh terhadap semua bangunan ilegal di bantaran Kali Surabaya.
2. Restorasi fungsi ekologis sempadan sungai sebagai zona hijau dan resapan air.
3. Penerapan sistem pengelolaan sampah terpadu di seluruh desa dalam DAS Kali Surabaya.
4. Monitoring kualitas air secara rutin dengan publikasi terbuka.
5. Investigasi tuntas terhadap kejadian ikan mati massal dan sumber pencemarnya.
6. Penerbitan Peraturan Gubernur Jawa Timur tentang Perlindungan dan Penataan Sempadan Sungai.
Menanggapi tuntutan AKAMSI, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur, Pak Nur Kholis, menyampaikan apresiasi atas aspirasi yang disampaikan. Ia berjanji akan segera mengumpulkan OPD terkait (BBWS, PDAM, PU Pengairan, PJT) untuk menindaklanjuti kasus ikan mati massal di Kali Surabaya.
Terkait penyediaan TPS3R dan fasilitas persampahan di desa-desa, pihaknya akan meneruskan tuntutan tersebut kepada pemerintah daerah. Masalah bangunan liar juga menjadi perhatian, dan koordinasi dengan BBWS akan dilakukan untuk penertiban.
Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup DLH Provinsi Jawa Timur, Pak Ainul Huri, menambahkan bahwa timnya telah melakukan investigasi terkait sumber pencemaran ikan mati di Kali Surabaya.
Dugaan awal terkait pabrik gula belum terbukti karena pabrik tersebut belum beroperasi. Namun, informasi tentang tetes tebu akan ditelusuri lebih lanjut, karena bisa berasal dari pabrik penyedap rasa atau pabrik gula.
Ainul Huri menegaskan bahwa sanksi bagi pelaku pencemaran akan tegas, bahkan bisa berupa pidana, dan meminta partisipasi masyarakat untuk memberikan informasi jika terjadi insiden ikan mati massal.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara OPD, pelaku usaha, dan pegiat lingkungan dalam menjaga sungai, dengan pelaku usaha harus mengelola limbah dengan baik, dan masyarakat menjadi garda terdepan dalam melaporkan dugaan pencemaran.