Singgung Sawit Indonesia, Bill Gates Ungkap Kaitan Bencana Ekologis dan Sawit

oleh -17 kali dilihat
Singgung Sawit Indonesia, Bill Gates Ungkap Kaitan Bencana Ekologis dan Sawit
Ilustrasi sawit

Klikhijau.com – Pendiri Microsoft, Bill Gates, menulis catatan menggelitik di akun pribadinya mengenai seramnya ancaman bencana ekologis di masa datang.

Gates menuturkan bahwa aktivitas manusia di bumi telah menghasilkan sekira 51 miliar ton Gas Rumah Kaca (GRK). Ada 7 persen diantaranya bersumber dari produksi lemak dan minyak dari tumbuhan dan hewan.

Secara spesifik Gates menyoal dampak buruk industri sawit dunia terhadap lingkungan. Dengan terang, Gates singgung Indonesia dan Malaysia yang dikenal memiliki perkebunan sawit terluas di dunia sebagai penyumbang utama ancaman krisis iklim.

Gates kemudian membeberkan logika sederhana keterkaitan antara ancaman bencana ekologis dan industri sawit. Pandangan ini seolah menyindir negara penghasil sawit seperti Indonesia yang tampaknya masih terus eksis dorong industri sawit.

“Pada 2018, kehancuran yang terjadi di Malaysia dan Indonesia saja sudah cukup parah hingga menyumbang 1,4% emisi global. Angka itu lebih besar dari seluruh negara bagian California dan hampir sama besarnya dengan industri penerbangan di seluruh dunia,” Gates menjelaskan.

KLIK INI:  PLTB Sidrap Mencapai Tonggak Pencapaian Produksi Energi Bersih Terbarukan 1.000 GWh

Mengapa demikian? Tak lain karena produksi sawit memicu deforestasi akut di wilayah khatulistiwa termasuk Indonesia. Situasi ini akan berjalan berkepanjangan mengingat  kebutuhan produk makanan dan non makanan sangat bergantung pada ketersediaan sawit.

Menurut Gates, masalah pada minyak sawit tak melulu perihal penggunaannya, tetapi juga pada proses menghasilkannya. Mayoritas jenis sawit asli jenis Afrika Barat dan Tengah tidak tumbuh di banyak wilayah. Pohon itu hanya tumbuh subur di tempat-tempat yang dilewati garis khatulistiwa.

“Hal ini menyebabkan penggundulan hutan di area-area khatulistiwa untuk mengonversinya menjadi lahan sawit,” tutur Gates.

Proses ini mengancam ekosistem dan keragaman di alam. Di sisi lain, pembakaran hutan juga menyumbang emisi yang banyak di atmosfer dan mengakibatkan peningkatan suhu.

KLIK INI:  Mencari Program BMT pada Debat Paslon Bupati dan Wabup Bulukumba

Sayangnya, Gates mengakui bahwa peran minyak sawit memang sulit tergantikan. Selain murah, komoditas satu ini ttidak berbau dan cukup melimpah.

“Minyak sawit juga satu-satunya minyak nabati dengan keseimbangan lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir sama, itulah sebabnya minyak ini sangat serbaguna. Jika lemak hewan adalah bahan utama dalam beberapa makanan, maka minyak sawit adalah pemain tim yang dapat bekerja untuk membuat hampir semua makanan dan barang-barang non-makanan menjadi lebih baik,” Gates menjelaskan.

Meski sulit tergantikan karena murah dan serbaguna, Gates berharap inovasi-inovasi alternatif dapat terus dikembangkan. Gates mencontohkan Perusahaan C16 Biosciences yang mengembangkan minyak berbasis fermentasi mikroba yang tidak menghasilkan emisi. Ia berharap solusi demikian dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim dan mencegah bencana lingkungan yang lebih besar di masa depan.

Sejak 2017, C16 kata Gates telah mengembangkan produk dari mikroba ragi liar memakai proses fermentasi yang tidak menyisakan emisi sama sekali.

Meski secara kimiawi tidak sama dengan minyak sawit konvensional, namun minyak C16 mengandung asam lemak yang serupa, sehingga dapat digunakan untuk aplikasi serupa.

“Minyak ini sama alaminya dengan minyak sawit, hanya saja tumbuh pada jamur, bukan pada pohon. Sama dengan Savor, proses C16 sepenuhnya bebas dari pertanian. ‘Pertanian’-nya adalah sebuah laboratorium di tengah kota Manhattan,” kata Gates.

KLIK INI:  Koalisi EoF Apresiasi Menteri LHK atas Penolakan Sawit jadi Tanaman Hutan