Memahami Bumi Sebagai Rahim Ibu

oleh -435 kali dilihat
Memahami Bumi Sebagai Rahim Ibu
Ilustrasi-google

[hujau]Tak akan ada ibu bumi kedua, bila ibu bumi telah tiada[/hujau]

Demikian petikan lirik lagu bernas yang dilantunkan oleh sebuah band “The Green Grunge Gentlemen”, Navicula. Lagu berjudul Ibu ini seolah membuka mata, mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga bumi agar tetap lestari dan mendudukannya sebagai kerahiman dengan penuh cinta kasih.

Bumi, dalam kosmologi timur dipahami berdasarkan konsep feminin di mana terdapat hubungan dialektis yang saling melengkapi satu sama lain.

Misalnya hubungan antara penciptaan dan pengrusakan, penyatuan dan pemisahan menjadi siklus pergerakan alam semesta yang sifatnya dinamis. Vandana Shiva (1988), menyatakan dalam filsafat India terdapat Prakriti (alam) dan Purusha (manusia). Hubungan antara keduanya harus saling memelihara.

Hal ini berbeda dengan pandangan Barat terutama pasca pencerahan dan revolusi industri terjadi. Mereka memosisikan antara kedua entitas tersebut terpisah, bahkan salah satunya ada yang mendominasi.

Pandangan yang kontradiktif antara keduanya dipenuhi dengan dualisme dan pendikotomian. Pandangan yang menempatkan bumi sebagai subordinasi kekuasaan manusia menjadikannya sebagai obyek eksploitasi semena-mena.

KLIK INI:  Saat Komunitas Literasi Berkebun: Tanam Pohon Tin, Panen Rambutan

Bumi dikeruk dengan serampangan sehingga muncullah krisis ekologi yang dewasa ini justru semakin menggurita. Developmentalisme-lah yang disebut-sebut sebagai biang terjadinya krisis ini.

Sejak revolusi industri, pembangunan sudah mengabaikan bumi sebagai terra mater (baca: Ibu Pertiwi, di Hindu disebut Dewi Bhumi, di Yunani disebut Dewi Gaia) dan mengubah kedudukannya menjadi ceruk yang bisa dieksploitasi dan dijarah dengan begitu ganas.

Paradigma pembangunan yang antroposentris sudah barang tentu mengelola sumber daya alam sebagai komoditi yang mementingkan nilai tukar dan nilai tambah.

Demikianlah kapitalisme bekerja. ia berhasrat untuk mengeruk, mengeksploitasi secara besar-besaran dan alam terus menerus menanggung derita demi profit yang ingin diraih para pemodal.

Terdapat satu paket perangkat untuk melegitimasi hal itu. Ilmu pengetahuan sebagai landasan epistimologisnya, egosentris sebagai bangunan etiknya, dan reduksionisme sebagai landasan operasionalnya. Lengkap sudah cara kapitalisme memperlakukan alam dengan buasnya.

Ilmu pengetahuan yang ditopang oleh kuasa kapitalisme telah membuat Ibu Pertiwi bersusah hati. Paradigma pembangunan yang secara brutal telah menghancurkan tatanan kosmis terutama antara manusia dan alam ini seyogianya harus saling menopang satu sama lain agar seimbang.

Alam ditundukkan karena sifat tamak manusia. Ambang ekologi yang mendekati senjakala ini, disadari atau tidak sekarang dan ke depan semakin dirasakan daya rusaknya.

KLIK INI:  Memilih Wakil Rakyat Peduli Lingkungan

Alhasil alam mengalami disekuilibrium atau ketidakseimbangan dan sulit untuk mencapai keseimbangan intensional antara alam dan manusia.

Rahim adalah metafora dari ibu yang telah memberikan kehidupan. Maka dari itu, aksi-aksi pemulihan krisis ekologi menjadi suatu keharusan sebagai upaya mempertahankan dan melindungi bumi dari kerusakan yang kian parah. Bukan malah menganggap bumi sebagai obyek dan bagian dari kapital yang bisa dieksploitasi semaksimal mungkin.

Sejenak kita menengok keberanian ibu-ibu di Rembang, Jawa Tengah yang mempertahankan rahim mereka, yakni Cekungan Air Tanah (CAT) yang memberi mereka kehidupan.

Air sangat penting bagi masyarakat pegunungan kendeng terutama untuk bercocok tanam. CAT Watu Putih misalnya. Ialah situs yang memberikan kehidupan namun ketenteraman mereka kena usik dan amukan kapital dengan menambang pasir sehingga konturnya berubah.

Maka tak heran kegigihan ibu-Ibu dengan mengecor kaki di depan Istana Negara adalah perwujudan atas keterpasungan atas membabi-butanya eksploitasi sumber daya alam. Pun semangat itu semakin membara sejak adanya perencana pendirian pabrik semen. Ini belum lagi kisah-kisah perjuangan lainnya dalam mempertaruhkan hidupnya demi merawat ibu bumi.

Kendati upaya pemulihan krisis ekologi adalah bagian dari cara etis dan menghormati nilai-nilai luhur alam, seyogianya ini menjadi bahan refleksi bersama dan setidaknya menyadari bahwa manusia dan makhluk hidup lainnya yang bernaung di bumi statusnya setara.

Semuanya mempunyai martabat yang sama tak terkecuali makhluk non-hayati. Semua bentuk perikehidupan mempunyai ciri khas masing-masing.

Harmoni inilah yang justru memperkaya kehidupan sehingga antara satu dengan yang lain tidak saling ada yang mendominasi dan terciptalah ekuilibrium.

KLIK INI:  Pendugaan Cadangan Karbon, Tren Sisi Pandang Hutan Terkini