LKM Idealis 2025 Bahas Krisis Iklim: Jaring Nusa Dorong Kepekaan Sosial dan Advokasi Mahasiswa

oleh -27 kali dilihat
LKM Idealis 2025: Mahasiswa Unifa Diperkenalkan pada Krisis Iklim oleh Jaring Nusa Dorong Kepekaan Sosial dan Advokasi Mahasiswa. (Foto: Ist)

Klikhijau.com – Jaring Nusa Kawasan Timur Indonesia (JN KTI) memberikan edukasi lingkungan sebagai topik ulasan dalam meningkatkan kepekaan sosial dan advokasi mahasiswa dari Universitas Fajar (Unifa) Makassar.

Kegiatan Latihan Kepemimpinan Mahasiswa (LKM) Identitas Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (Idealis) 2025 yang berlangsung di Universitas Fajar (Unifa) Makassar digagas oleh Badan Eksekutif Mahasiswa  (BEM) Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) Unifa pada Rabu, 12 Oktober 2025.

Kegiatan yang dibuka secara resmi oleh Rektor Universitas Fajar, Dr. Mulyadi Hamid, S.E., M.Si. mengusung tema “Optimalisasi Human Capital: Strategi Kepemimpinan Berbasis Data untuk Akselerasi Inovasi di Era Disrupsi (AI-Driven)”.

Muhammad Riszky, mewakili sekretariat Jaring Nusa menjelaskan bahwa isu lingkungan merupakan yang terus menjadi perbincangan saat ini terutama di tengah krisis iklim yang semakin parah.

“Krisis iklim telah kita rasakan dampaknya. Sudah banyak data-data ahli lingkungan yang menjelaskan dampak nyata dari krisis iklim,” ujarnya.

Dalam kegiatan yang dihadiri sekitar 80 mahasiswa baru juga mendapatkan berbagai contoh nyata berbagai praktik buruk yang menyebabkan berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat di pesisir, laut dan pulau kecil. Hal ini menunggu dukungan dan peran mahasiswa yang merupakan agen perubahan dan harapan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan suara-suara rakyat yang termarjinalkan.

KLIK INI:  Peredaran Satwa Liar Dilindungi di Sulawesi Utara Mulai Ditertibkan

Menurut Riszky, dampak krisis iklim telah memperparah tekanan yang dihadapi oleh masyarakat dan ekosistem yang ada di pesisir, laut dan pulau kecil. Hal itu semakin diperparah dengan industri ekstraktif di pulau kecil, krisis air bersih di pesisir hingga penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan.

“Data menunjukkan untuk Kawasan Timur Indonesia saat ini memiliki 11.117 pulau kecil dari total 16.671 di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika masyarakat dan ekosistemnya menghadapi berbagai tekanan yang menyebabkan ruang hidupnya terancam,” terangnya.

Ia mencontohkan bahwa di Pulau Sangihe, terancam industri ekstraktif tambang emas yang menyebabkan berkurangnya tutupan hutan, ekosistem laut yang tercemar, hingga hak-hak masyarakat yang diabaikan.

“Warga di Pulau Sangihe telah bertahun-tahun menempuh berbagai jalur litigasi dan non litigasi untuk menghentikan segala bentuk praktik pertambangan yang mendegradasi ekosistem dan kehidupan masyarakat,” jelas Riszky.

Dengan memberikan gambaran kondisi lingkungan saat ini, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian sosial pada mahasiswa. Tidak sekadar mengetahui namun juga terlibat langsung melalui aksi-aksi lingkungan yang akan mereka lakukan kedepannya.

“Isu lingkungan akan menyebar ke berbagai aspek kehidupan sehingga mengenalkan isunya akan meningkatkan kepekaan sosial mahasiswa dan mendorong langkah konkret melalui advokasi,” pungkasnya.

Sebagai orang yang aktif melakukan kampanye, Riszky mendorong para mahasiswa untuk lebih peka terhadap isu sosial yang bisa dimulai dari lingkungan kampus, mengaktifkan kajian isu di organisasi dan menelaah berbagai fenomena sosial termasuk yang berada dalam kampus.

Urgensi Kepekaan Sosial dan Advokasi Mahasiswa

Urgensi Kepekaan Sosial dan Advokasi Mahasiswa terletak pada peran strategis perguruan tinggi sebagai agent of change dan moral force. Mahasiswa, sebagai kelompok intelektual terdidik, memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya unggul secara akademis, tetapi juga peka terhadap disparitas dan masalah yang ada di masyarakat.

“Kepekaan sosial membekali mahasiswa dengan kesadaran kritis bahwa ilmu pengetahuan dan keistimewaan pendidikan harus digunakan untuk melayani kemanusiaan, bukan sekadar kepentingan individu. Tanpa kepekaan ini, edukasi hanya akan menghasilkan kaum elitis yang terisolasi dari realitas sosial,” tegas Riszky.

Menurutnya, advokasi kemudian menjadi manifestasi nyata dari kepekaan tersebut, mendorong mahasiswa untuk aktif berpartisipasi dalam mencari solusi dan memperjuangkan keadilan. Inilah yang memastikan bahwa lulusan perguruan tinggi nantinya bukan hanya pencari kerja, tetapi juga pembentuk peradaban yang peduli dan solutif.

Oleh karena itu, Kepekaan Sosial dan Advokasi adalah prasyarat bagi pembentukan kepemimpinan masa depan yang berintegritas dan berempati. Di tengah kompleksitas masalah seperti ketidaksetaraan ekonomi, krisis lingkungan, dan isu hak asasi manusia.

“Suara mahasiswa yang terorganisir dan beradvokasi menjadi kekuatan penyeimbang ( check and balance) terhadap kekuasaan dan kebijakan yang merugikan publik. Aktivitas advokasi melatih keterampilan penting seperti berpikir kritis, komunikasi efektif, negosiasi, dan problem-solving di dunia nyata, yang jauh melampaui pembelajaran di kelas,” urai Riszky.

Dengan mengasah kepekaan dan kemampuan advokasi, mahasiswa memastikan bahwa ilmu yang mereka peroleh relevan dan berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat secara luas, sekaligus mempersiapkan mereka menjadi pemimpin yang mampu membawa perubahan positif dan berkelanjutan.