Lancipan Maros, Teknologi Pertama Manusia Prasejarah

oleh -1,465 kali dilihat
Lancipan Maros, Teknologi Pertama Manusia Prasejarah

Klikhijau.com – Siang itu di sebuah gua di Desa Sabila, Kecamatan Mallawa, Maros. Tepatnya pada pertengahan November 2018. Tim arkeolog Makassar melakukan penggalian sistematis di Leang Uttangnge. Leang berarti gua dalam bahasa Makassar.

Gua ini tak memiliki nama saat pertama kali tim menyambangi gua yang berada di karst muda Mallawa. Nama barunya diperoleh setelah tim peneliti melakukan rembuk dan memutuskan mengambil nama kampung di mana lokasi gua berada. Jadilah namanya Leang Uttangnge.

Tim Balai Arkeologi Sulawesi Selatan yang melakukan penelitian di wilayah Mallawa ini sebanyak dua belas orang. Tak hanya peneliti balai arkeologi saja, namun melibatkan sejumlah instansi lain.

Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan, staf pengajar dan mahasiswa jurusan arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, alumni arkeologi Unhas adalah beberapa intansi lain yang terlibat. Tak ketinggalan tim dokumentasi dan Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung juga turut serta.

Tim ini meneliti hubungan ras manusia Toalian dan penutur Austronesia. Mencari bukti-bukti tinggalannya melalui survei hingga melakukan penggalian sistematis (ekskavasi). Tim telah melakukan penelitian selama tiga minggu saat saya bergabung.

Sejak bersentuhan dengan dunia prasesejarah, saya begitu penasaran dengan salah satu tinggalannya: Lancipan Maros. Sebagian arkeolog juga lebih senang menyebutnya Maros Point. Saya penasaran bagaimana manusia prasejarah membuat alat batu ini, termasuk namanya yang selalu melekat nama “Maros”. Nama salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan.

Mengapa arkeolog memberi nama Lancipan Maros? Apakah alat semacam ini pertama kali ditemukan di Maros? Siapa yang pertama kali mendeskripsikannya? Apakah mata panah seperti ini tak ditemukan di tempat lain? Itulah sejumlah tanya yang menyeruak kala membahas mata panah manusia prasejarah ini.

Hingga akhirnya saya melihat langsung proses penggalian untuk memperoleh peralatan manusia yang hidup ribuan hingga puluhan ribu tahun lalu ini.

Bagaimana Memperoleh Lancipan Maros?

Khairun Al Ashari, alumni arkeologi Unhas, mengambil alih penggalian sistematis. Ia menggantikan Isbahuddin, juga seorang alumni arkeologi Unhas yang berfokus membuat desain penggalian baru di dalam Leang Uttangnge. Penggalian saat itu berlangsung di teras gua. Khairun berada di lapisan (spit) tiga saat menggantikan Isbahuddin.

Ukuran kotak penggalian umumnya berukuran satu meter persegi. Ini adalah standar ekskavasi, bisa lebih luas tergantung tujuan penelitian dan petunjuk yang diperoleh. Kedalaman penggalian pun juga bergantung tujuan dan kondisi lapangan.

Pada bagian paling atas disebut spit permukaan. Umumnya berukuran 10 sampai dengan 20 cm dari patokan datar berupa benang yang telah dibentangkan saat membuat desain penggalian (layout). “Patokannya adalah titik yang paling tinggi pada salah satu sudut kotak penggalian. Bentangan benag sebagai titik padu utara-selatan dan rujukan pengukuran tiga dimensi (x/y/z). Benang tersebut kemudian disebut String Line Level,” terang Ratno Sardi, peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan.

Selanjutnya spit berikut mulai menggunakan angka (spit 1, spit 2, dan seterusnya). Ukuran lapisannya masing-masing kedalaman 10 cm.

Ia terus menggerakkan cetok besinya. Mengumpulkan kaisan tanah dan menyendoknya dengan sendok plastik besar. Kemudian mengumpulkannya di ember hijau di sampingnya. Jika ember telah penuh, lalu mengayaknya untuk memisahkan tanah dan tinggalan manusia prasejarah.

Saat mendapati temuan ia mengganti cetoknya dengan bilah bambu yang runcing. Bilah bambu ini digunakan untuk menyikap temuan yang rapuh, agar temuan tidak rusak.

Tak seberapa lama berselang Khairun berseru. Ia menjumpai Lancipan Maros utuh. Berbentuk segitiga sama kaki. Dua sisinya bergerigi dan sisi pangkal terdapat cekungan,  sengaja dibentuk oleh pembuatnya.

Ia tampak sangat senang. Khairun begitu kenal dengan Lancipan Maros. “Barang ini yang membuat saya jadi sarjana,” ujarnya. Betul saja Khairun bercerita bahwa saat menyusun skripsi, ia berfokus meneliti Lancipan Maros di Leang Panningnge, Desa Batu Putih, Mallawa, Maros.

Setelah puas mengamati temuannya, Khairun kemudian menyerahkannya kepada Elma Suriana, mahasiswa arkeologi Unhas, memberi keterangan temuan. Elma dengan sigap mengelompokknya sebagai temuan spesial.

Haidir, mahasiswa arkeologi Unhas, kemudian mengganti Khairun kala telepon pintar miliknya berdering. Menerima telepon dari rekan kerjanya yang juga sedang melakukan ekskavasi di Bontocani, Bone.

Haidir terus mencungkil bongkahan tanah yang telah dipetakkan satu meter persegi itu. Haidir berseru riang kala alat kaisnya bersentuhan dengan sebuah benda yang tak asing. Cungkilan bilah bambunya membuat alat batu segitiga tersikap. Sebuah Lancipan Maros yg hampir sempurna menampakkan diri.

Haidir memegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Menatapnya dengan seksama. Ia tampak senang, senyumnya mengembang.

Andi Muhammad Saiful, staf balai arkeologi yang sedang mengayak tanah galian juga berdiri. Menghampiri Haidir yang masih terkesima dengan karya spectakular manusia prasejarah itu.

Pada hari berikutnya, saat Isbahuddin melakukan penggalian pada spit 5 ia juga menemukan Lancipan Maros. Isbah seolah histeris mengabarkan temuan lancipannya. Khairun yang berada tepat di samping saya, bergugam: “Kok ada Lancipan Maros sampai kedalaman 57 cm. Ini sudah masuk zaman yang lebih tua.”

Manusia Toalian dicirikan dengan alat batu. Mereka hidup antara 8.000  sampai dengan 3.000 tahun yang lalu. Toalian adalah adalah manusia pembuat mata panah dengan menggunakan batu rijang (chert). Mereka belum mengenal besi kala itu. Karenanya mereka menggunakan batu sebagai peralatan sehari-hari.

Kemudian manusia Neolitik yang berasal dari China Selatan bermigrasi hingga teridentifikasi sampai ke Sulawesi.  Temuan tembikar dan alat batu dari batuan vulkanik adalah penciri peralatan manusia penutur bahasa Austronesia itu. Manusia ini hidup antara 4.000 sampai dengan 2.000 tahun yang lalu.

Saiful juga mengutarakan pendapatnya akan temuan ini. “Bahan mata panah dari batuan vulkanik, sejenis sekis. Ini menarik, karena sekis jarang ditemukan untuk perkakas seperti Lancipan Maros,” ujarnya.

Batu sekis berasal dari mineral batuan metamor atau batuan beku. Batuan ini mudah dijumpai di sungai-sungai.

“Sementara ini kami duga ada kesinambungan dua kebudayaan dari temuan mata panah ini berdasarkan material batu yang mereka gunakan,” ucap Hasanuddin, ketua tim peneliti arkeologi di Mallawa.

“Itu baru dari satu temuan alat tinggalan, kami masih meneliti lebih lanjut tinggalan lainnya untuk bisa menyimpulkannya,” tambahnya.

Saat beristirahat di penginapan, diskusi tentang alat temuan terus berlanjut. Termasuk temuan Lancipan Maros. Seolah berada di lingkungan baru bagi saya. Namun ini membuat saya semakin antusias mengetahui lebih banyak hal lagi tentang kehidupan manusia prasejarah.

Penemu pertama Lancipan Maros

Saya berbincang dengan kolega sesama Pengendali Ekosistem Hutan, Kama Jaya Shagir. Berdiskusi dengannya tentang perjalanan Sarasin bersepupu kala bertandang ke Sulawesi. Saya bertanya: “apakah Sarasin menjumpai Lancipan Maros saat menjelajah ke wilayah karst Sulawesi Selatan?”. Ia berpikir sejenak kemudian menjawab. “Iya, betul ia menemukannya. Bisa jadi Sarasin-lah penemu pertama Lancipan Maros. Saat itu belum ada yang mendeskripsikannya, termasuk memberinya nama.”

Saya lalu mempelajari buku Sarasin yang berhasa Jerman itu. Pada Desember 1902, Paul Sarasin dan Fritz Sarasin meneliti di Leang Cakodo yang berlokasi di Bone. Selama dua hari kedua naturalis Jerman ini menelisik gua alam ini. Tak sedikit tulang dan perkakas batu ia temukan di kedalaman 10 cm.  Ia juga menemukan tulang, perkakas batu, dan sampah dapur yang melipah pada kedalaman 40 cm. Makin ke dalam jumlahnya makin sedikit.

Sarasin menemukan beberapa perkakas batu. Di antara temuannya adalah kapak batu, alat penyerut, bilah pisau, dan mata panah. “Semua perkakas dikerjakan dengan terampil oleh pembuatnya. Mata panah memiliki karakter tersendiri, begitu khas. Lancip dengan sisi bergerigi dan bagian pangkal bercabang,” tutur Sarasin dalam buku jilid keduanya “Reisen in Celebes” yang terbit tahun 1905.

Tak hanya menjelaskan bentuk dan karakter perkakas batunya, ia juga menyertakan gambarnya dengan jelas. Hingga kemudian mengantarkan arkeolog lain meneliti lebih jauh di Leang Cakodo dan sekitarnya. Begitupun dengan peneliti arkeolog zaman milenial bisa mempelajarinya.

Siapa yang Pertama Kali Mendeskripsikan Lancipan Maros?

Saya menelusuri sejumlah literatur, hasilnya bahwa Mulvaney dan Soejono (1970), pertama kali mendeskripsikan Lancipan Maros. Melalui publikasi ilmiah mereka dengan judul The Australian–Indonesian Archaelogical Expedition to Sulawesi melalui jurnal Asian Perspective volume 13. Menurutnya Lancipan Maros memiliki ciri: cekung dengan tepian bergerigi.

Arkeolog dari dua negara berbeda ini menemukan Lancipan Maros sebanyak 45 sampel di Leang Burung 1. Gua ini berada di Desa Kalabbirang, Bantimurung, Maros dan merupakan wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Dua tahun berikutnya Heekeren juga mendefinisikan Lancipan Maros yang ia peroleh dari Situs Batu Ejaya dan Panganreang Tudea, Kabupaten Bantaeng. Hekeren menemukan 143 Lancipan Maros, kemudian menelitinya dengan melihat morfologinya  secara umum. Temuan-temuannya selama melakukan rangkaian penelitian di Indonesia ia publikasikan melaui bukunya: “The Stone Age of Indonesia”. “Lancipan Maros adalah mata panah bergerigi dari batu dan memiliki sayap pada pangkal,” tulis H.R. Van Heekeren dalam bukunya yang terbit 1972.

Ciri segitiga sama kaki dengan pangkal yang berongga adalah ungkapan Presland (1979). Setelah ia menganalisis 94 sampel Lancipan Maros hasil penggalian di Situs Ulu Leang 1, Kelurahan Leang-leang, Bantimurung, Maros dan juga merupakan wilayah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Glover (1986), juga melakukan penelitian di Gua Ulu Leang 1. Hasilnya ia memperoleh pertanggalan tertua teknologi Toalian yang berlangsung 8.000 – 7.000 SM. “Teknologi Lancipan Maros dan mikrolitik geometrik berlangsung kira-kira 5.500 sampai dengan 3.500 SM,” tulisnya dalam publikasinya.

Glover juga meneliti bahan baku Lancipan Maros. Ia mendapati bahwa chert dan vulkanik adalah bahan batuan yang digunakan manusia prasejarah untuk membuat Lancipan Maros. Penelitian ini berlangsung di situs Batu Ejaya. Pertanggalan Lancipan Maros ia peroleh angka 4.700 hingga 4.300 SM.

Saya menemui Suryatman di kantor Balai Arkeologi Sulawesi Selatan. Ia juga telah melakukan penelitian Lancipan Maros di Situs Batu Ejaya saat menyelesaikan sarjana sastranya pada tahun 2017 lalu.

“Saya menemukan lima Lancipan Maros setelah melakukan penggalian. Beratnya rata-rata 1,51 gram. Hanya pada bagian lateral mengalami peretusan, bagian pangkalnya tak mengalami pengerjaan intensif,” tutur Suryatman, saat ini menjadi staf balai arkeologi.

Bagaimana dengan penelitian Lancipan Maros yang dilakukan Khairun? Khairun melakukan penelitian lanjutan tentang temuan tinggalan dari Situs Leang Panninge.  Ia berfokus menelisik konsep dan tahapan pembuatan Lancipan Maros.

Pemuda tambun ini menganalisis artefak batu hasil ekskavasi kerjasama Balai Arkeologi Sulawesi Selatan dengan University Sains Malaysia dan Unhas Makassar yang dilakukan pada tahun 2015. Ia mulai meneliti di awal tahun 2018 lalu.

Manusia prasejarah membuat Lancipan Maros dengan membuat serpihan (support) terlebih dahulu. Support merupakan hasil pelepasan pertama dengan teknik direct percussion. Ini adalah bentuk dasar berbentuk segitiga sebagai cikal bakal untuk membentuk Lancipan Maros.

Setelah memperoleh serpihan yang baik berbentuk segitiga mereka lalu mulai memberikan sentuhan.

“Manusia pembuatnya terlebih dahulu membentuk support. Jika ia sudah memperoleh bentuk yang ideal. Mereka lalu melakukan pengerjaan lanjutan. Meretus bagian pangkal dan atau kedua sisi lateralnya,” Khairun menjelaskan proses pembuatan Lancipan Maros.

Eksperimental Artefak Batu

Selain mendalami zooarkeologi, Saiful juga mempelajari lebih jauh eksperimental artefak batu. Mempraktekkan cara membuat artefak yang dilakukan manusia prasejarah.

Ia menunjukkan ke saya, cara membuat Lancipan Maros kala itu. Ia telah mencari chert saat kami melakukan survei situs baru. “Bongkahan batu chert ini disebut batu inti,” terangnya.

Tak ketinggalan ia menyiapkan batu pemukul dari jenis batuan andesit berbentuk bulat. Ukurannya tak lebih dari segenggam.

Ia mengeluarkan batu inti dan mulai memukulnya dengan batu andesit tadi. Dengan beberapa kali pukulan serpihan-serpihanpun mulai berserakan di depan kami. Ia mulai menunjukkan ke saya serpihan yang potensial untuk menjadi Lancipan Maros. “Proses selanjutnya membuat cekungan pada pangkal dan gerigi di sisinya,” ujarnya.

Bagaimana langkah membuat Lancipan Maros?

Pada bagian manakah dari sisi lancipan mereka bentuk lebih awal? “Saat membuat Lancipan Maros manusia prasejarah ini membuat cekungan pada sisi pangkal terlebih dahulu. Setelah itu mulai membuat geringi pada dua sisinya,” ujar Khairun.

“Bagian pangkal ini berfungsi untuk memudahkan lekatnya ujung panah,” tambahnya.

Tidak semua Lancipan Maros ini utuh. Utuh memiliki arti bahwa dua sisinya yang tegak bergeringi dan pada sisi lain terdapat cekungan.

Saat meneliti di Leang Panningnge Khairun hanya mendapati 69 Lancipan Maros, sisanya berupa support yang diperoleh dari ekskavasi. Dari 69 Lancipan Maros tersebut hanya ada dua yang utuh. Bagaimana kondisi lancipan lain? “Ada yang murni dari serpihan yang membentuk segitiga,” terangnya.

“Ada yang pada sisi pangkal saja yang memiliki cekungan, sisi lainnya tak bergerigi. Ada juga yang hanya satu sisi yang bergeringi dan memiliki cekungan pada bagian pangkalnya,” tambahnya.

Ukuran Lancipan Maros tidak begitu besar. “Ukuran Lancipan Maros yang saya teliti, panjangnya rata-rata antara 2 sampai dengan 3 cm, lebarnya sendiri antara 1 sampai dengan 1,5 cm,” pungkas Khairun dengan semangat.

“Pada bagian lateralnya memiliki gerigi yang berjumlah 4-9 buah,” tambahnya.

Lancipan Maros Sebagai Alat Berburu

Lancipan Maros merupakan teknologi pertama yang dibuat oleh manusia prasejarah melalui pemikiran. Manusia pembuatnya memiliki konsep untuk membuat alat batu ini. konsepnya adalah Lancipan Maros di antaranya berbentuk segitiga, tajam, serta yang tak kalah pentingnya memiliki gerigi di bagian lateral dan cekungan pada bagian pangkalnya.

Apa fungsi Lancipan Maros bagi pembuatnya? Lancipan Maros adalah mata panah untuk berburu. “Dari segi bentuk fisik dan ukuran Lancipan Maros lebih tepat sebagai mata panah. Seperti halnya lancipan yang ditemukan di berbagai belahan dunia, indikasi umumnya sama, hanya stylenya yang berbeda,” Ratno menjelaskan.

Beberapa referensi juga menyebutkan bahwa Lancipan Maros sebagai mata tombak. Ratno kemudian menanggapinya. “Kalau disebut mata tombah tidak tepat. Karena mata tombak umumnya lebih besar dan tebal, seperti kimberly point dari Australia. Jika ukurannya seperti Lancipan Maros, kecil dan tipis, maka secara fisika tidak akan tercipta momentum dalam pelemparan menuju sasaran.”

Spekulasi tentang Lancipan Maros umumnya digunakan untuk berburu dengan menggunakan busur panah sebagai pelontar. “Penggunaan Lancipan Maros disesuaikan dengan jenis binatang buruannya. Mata panah berukuran besar, 2 – 3 cm, untuk berburu binatang besar: babi hutan, babirusa, dan anoa. Lancipan Maros ukuran kecil, 0,5 – 2 cm, untuk berburu binatang kecil: kuskus sulawesi, kelelawar, tikus dan burung,” Ratno menguraikan.

“Dugaan ini dikuatkan dengan temuan cut mark pada tulang binatang hasil penggalian. Penggalian di Bontocani menemukan Lancipan Maros utuh dan patah berasosiasi dengan tulang-tulang binatang pada lapisan yang sama,” tambahnya.

Temuan alat batu ini adalah awal mula manusia berburu untuk memperoleh makanan. Karenanya tak sedikit hasil penelitian arkeologi menunjukkan adanya asosiasi antara Lancipan Maros dengan tulang-tulang binatang yang menjadi makanan manusia prasejarah kala itu.

Ini baru satu alat tinggalan. Tak sedikit bukti tinggalan lain yang diperoleh dari wilayah berbatu gamping di wilayah Maros dan Pangkep. Betapa kawasan karst ini menyimpan berjuta misteri yang menunggu eksplorasi dari ilmuan. Karenanya tak berlebihan jika wilayah ini mendapat perhatian ekstra agar eksistensinya terus terjaga dan lestari.

KLIK INI:  Hari Bumi Dirayakan Secara Virtual di Tengah Pandemi Covid-19