Klikhijau.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan mendesak PT Vale Indonesia untuk bertanggung jawab penuh atas pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah Lioka dan Desa Timampu, Kabupaten Luwu Timur. Desakan ini disampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Ekspos Hasil Investigasi Dampak Lingkungan akibat Tumpahan Minyak PT Vale Indonesia”, yang digelar di Makassar.
Menurut hasil investigasi WALHI Sulawesi Selatan, peristiwa tumpahan minyak tersebut tidak sekadar merupakan insiden teknis akibat kebocoran pipa, melainkan menandakan lemahnya sistem pengawasan lingkungan oleh perusahaan dan pemerintah. Selain itu, investigasi juga menunjukkan adanya ketidaktransparanan perusahaan serta ketimpangan posisi antara warga dengan korporasi tambang besar.
“Kasus ini bukan hanya soal minyak yang bocor. Ini adalah cermin dari lemahnya kontrol perusahaan dan pengawasan pemerintah terhadap dampak lingkungan. Akibatnya, masyarakat menjadi korban atas rusaknya ekosistem dan terganggunya sumber penghidupan mereka,” ungkap Zulfaningsih HS, Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial WALHI Sulawesi Selatan.
Hingga Oktober 2025, warga dari enam desa terdampak Lioka, Langkea Raya, Baruga, Wawondula, Matompi, dan Timampu masih mengeluhkan belum adanya kompensasi penuh serta mekanisme ganti rugi yang dinilai tidak transparan.
Dalam laporannya, WALHI Sulawesi Selatan mengambil dua lokasi utama untuk kajian lapangan, yaitu Desa Lioka dan Desa Timampu. Di Desa Lioka, masyarakat mengalami kerugian ekonomi yang signifikan akibat rusaknya lahan pertanian dan menurunnya produktivitas panen.
“Kerugian yang dialami per orang di Desa Lioka adalah sekitar Rp42.000.000. Karena masyarakat biasanya panen dua kali dalam setahun, maka total kerugian per orang mencapai Rp84.000.000 per tahun,” jelas Zulfaningsih HS. “Angka ini kami hitung berdasarkan penurunan hasil panen akibat pencemaran minyak dan rusaknya kualitas tanah.”
Sementara itu, di Desa Timampu ditemukan ketimpangan dalam pemberian kompensasi oleh PT Vale Indonesia. Perusahaan disebutkan pernah menjanjikan harga Rp7.000 per kilogram gabah dengan total 7.000 ton untuk dua musim tanam. Namun, nilai tersebut dinilai jauh dari cukup untuk menutupi kerugian ekonomi dan dampak sosial-ekologis yang dirasakan warga.
“Kompensasi yang ditawarkan perusahaan terlalu rendah dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang dialami petani. Air di sawah dan sungai masih tercemar hingga hari ini, menunjukkan bahwa proses pemulihan tidak dilakukan secara serius,” tambah Zulfaningsih.
Dari hasil uji lapangan, ditemukan bahwa minyak yang mencemari wilayah Lioka dan Timampu merupakan jenis Marine Fuel Oil (MFO) dengan kandungan sulfur tinggi melampaui ambang batas yang diizinkan oleh regulasi lingkungan. Hal ini diungkapkan oleh Hamrullah, perwakilan Jaringan Komunikasi Masyarakat Lingkar Tambang (JKMLT).
“Tumpahan minyak MFO dengan kandungan sulfur tinggi di atas ambang batas tidak boleh dibiarkan. Ini jelas pelanggaran terhadap baku mutu lingkungan. Sawah-sawah sudah menghitam, dan air sungai tidak bisa lagi digunakan. Ini bukan sekadar kerusakan, tapi bencana ekologis yang nyata,” tegas Hamrullah.
Hingga saat ini, sudah 59 hari sejak terjadinya kebocoran pipa minyak milik PT Vale Indonesia. Namun, warga masih harus hidup dalam ketidakpastian. Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi aliran minyak pekat yang menghancurkan ekosistem. Pertanian berhenti, nelayan kehilangan tangkapan, dan mata pencaharian masyarakat terhenti total.
“Sawah-sawah tidak lagi bisa diolah. Para nelayan tak lagi mudah menangkap ikan. Sementara di sisi lain, mereka masih sibuk menjalankan aktivitas pertambangan tanpa menunjukkan tanggung jawab atas kerusakan yang mereka timbulkan,” lanjut Hamrullah.
Direktur WALHI Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin, menegaskan bahwa PT Vale Indonesia harus mengakui kelalaian dalam prosedur pengelolaan limbah dan membuka seluruh informasi terkait sistem pengelolaan limbahnya secara transparan.
“Kami meminta Vale untuk bertanggung jawab penuh atas seluruh dampak ekonomi dan lingkungan yang disebabkan oleh kebocoran pipa minyak yang mencemari sungai hingga Danau Towuti. Kami juga menuntut agar Vale segera melakukan pemulihan terhadap sungai, irigasi, dan danau yang tercemar minyak,” tegas Muhammad Al Amin.
Ia menambahkan bahwa kasus ini menunjukkan bagaimana ketimpangan kekuasaan antara korporasi tambang besar dan masyarakat lokal membuat warga sering kali menjadi korban yang terpinggirkan.
“Ini bukan hanya soal pencemaran. Ini soal keadilan lingkungan yang harus ditegakkan. Jangan biarkan masyarakat menanggung beban akibat kelalaian perusahaan,” kata Al Amin.
Konferensi pers ini menjadi bagian dari komitmen WALHI Sulawesi Selatan untuk memastikan keadilan ekologis ditegakkan. WALHI juga mengajak aparat penegak hukum, pemerintah daerah, serta seluruh elemen masyarakat untuk bersinergi dalam memastikan korporasi bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkannya.
“Kerusakan lingkungan akibat kelalaian industri tambang tidak boleh terus dibebankan kepada masyarakat. Sudah saatnya ada penegakan hukum yang berpihak pada keadilan ekologis,” tutup Muhammad Al Amin.








