Vietnam Beralih ke Energi Surya, Bagaimana dengan Indonesia?

oleh -140 kali dilihat
Vietnam Beralih ke Energi Surya, Bagaimana dengan Indonesia?
Panel surya/foto-DW
Irhyl R Makkatutu
Latest posts by Irhyl R Makkatutu (see all)

Klikhijau.com – Jika pernah menonton film dokumenter Sexy Killers, tentu akan tahu betapa buruknya dampak sumber energi dari batu bara bagi lingkungan dan kesehatan.

Meski demikian, batu bara masih tetap digunakan, khususnya di Indonesia karena dianggap paling murah biaya produksinya.

Menurut laporan Global Energy Monitor, Indonesia menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masih membangun pabrik batu bara baru dalam enam bulan pertama tahun ini.

Meski banyak dituding mencemari berat lingkungan, Indonesia memang masih tergantung pada sumber energi fossil ini. Beberapa waktu lalu, pemerintah juga diprotes akibat polusi udara dari penggunaan batu bara.

KLIK INI:  Kualitas Sperma Pria Dipengaruhi Polusi Udara

Menurut data PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), kontribusi energi terbarukan hingga Mei 2019 telah mencapai 13,42 persen.

Energi ini mayoritasnya berasal dari pembangkit listrik tenaga air dan tenaga panas bumi. Sementara kontribusi pembangkit listrik tenaga surga dapat dibilang relatif kecil.

Namun, Global Energy Monitor (GEM) mengungkapkan, kapasitas produksi batu bara menurun tajam, dari puncaknya yang mencapai hampir 13 gigawatt (GW) pada 2016 menjadi hanya 1,5 GW pada paruh pertama 2019.

Hal ini mau tak mau, negara-negara pengguna batu bata untuk energi harus berpikir ulang. Courtney Wetherby, seorang analis peneliti di lembaga penelitian Stimson Center mengatakan, energi surya mendapatkan momentumnya di Asia Tenggara.

KLIK INI:  Apakah Hak Perempuan untuk Dapatkan Energi Bersih Sudah Terpenuhi?

Meski menurut Wetherby, sebelumnya para pembuat kebijakan menilai, pembangkit energi surya terlalu mahal dan rumit untuk diintegrasikan dalam jumlah yang cukup besar dan dalam waktu singkat.

“Sentimen negatif publik terhadap batu bara dan penurunan harga panel surya secara signifikan memicu peningkatan ini,” ujarnya.

Ia menambahkan penyerapan energi terbarukan oleh masyarakat masih menghadapi banyak kendala.

“Banyak utilitas di wilayah ini menghadapi keterbatasan infrastruktur transmisi dan perlu membangun jalur transmisi tambahan. Faktor ini dapat meningkatkan harga jual listrik dari proyek-proyek baru,” katanya.

Turunnya biaya produksi energi terbarukan, juga memacu pemerintah di berbagai negara di Asia Tenggara mengevaluasi kembali rencana energi mereka.

KLIK INI:  Dinilai Tetap Eksploitasi Batubara, 'Green Initiatives' Adaro Dipertanyakan
Kepekaan Vietnam

Salah satu negara yang melakukan pembangunan energi surya terbesar ada Vietnam berkat kepastian peraturan investasi dan sejumlah insentif.

Vietnam dengan sigap menangkap momentum ini dengan membangun jejaring pembangkit tenaga surya. Dari nyaris tidak signifikan pada tahun 2017 menjadi lebih dari 4 gigawatt (GW) tahun ini.

Program pemerintah yang disebut Feed-in-Tariff (FIT) menjadi salah satu faktor sukses Vietnam membangun jaringan pembangkit energi surya.

Program tersebut diperkenalkan oleh Kementerian Perindustrian setempat pada 2017 lalu. Program FIT memberi jaminan kepada para investor, listrik tenaga surya akan dibeli dengan harga 9,35 sen dolar AS per KWh.

KLIK INI:  Penelitian Terbaru Mengungkap, Gas Beracun Kian Kepung Ruang Udara Jakarta

Konsultan energi Wood Mackenzie dalam sebuah pernyataan yang dikutip dari harian The Jakarta Post mengatakan, perhitungan ekonomi yang ditawarkan oleh peraturan FIT tersebut cukup menarik bagi para investor.

Sebagai hasilnya, Wood Mackenzie memproyeksikan, kapasitas pembangkitan panel surya terpasang di Vietnam bisa mencapai 5,5 Giga Watt pada akhir tahun 2019.

Angka ini setara dengan 44 persen dari total kapasitas pembangkitan energi surya di Asia Tenggara. Sebagai perbandingan, pada tahun lalu, kapasitas terpasang energi surya di negara itu hanya 0,134 GW.

Dengan adanya kebijakan yang menjamin pendapatan investor, para produsen listrik independen di tingkat lokal dan regional serta para pengembang merasa nyaman mengambil risiko. Karenya, proyek-proyek pun bisa meminjam pendanaan dari bank regional dan lokal.

Berkat FTI

“FIT telah terbukti menjadi alat kebijakan yang efektif dalam mendorong pertumbuhan energi terbarukan dengan cepat,” kata Rishab Shrestha, analis dan peneliti tenaga surya dari Wood Mackenzie seperti yang dimuat DW.

KLIK INI:  Sedekah Energi Hadirkan Listrik Bertenaga Surya untuk Masjid di Kaki Gunung Rinjani

Kenapa Vietnam bisa beralih ke energi terbarukan. Sementara Indonesia tetap bertahan menggunakan batu bara. Dw mengungkapkan, sebenarnya juga sudah memiliki program yang mirip-mirip dengan Vietnam.

Pada bulan Juli 2016 dirilis aturan yang menyatakan bahwa PLN akan membeli listrik yang dihasilkan pembangkit tenaga surya, dengan kisaran harga dari 14,5 hingga 25 sen dolar AS, tergantung dari wilayahnya.

Namun program ini terhenti tahun lalu setelah dikeluarkannya peraturan no. 9/2018 yang membatalkan sejumlah peraturan lain terkait energi terbarukan.

“Hal ini membuat para investor yang awalnya tertarik dengan kebijakan Indonesia. Mereka memutuskan berinvestasi di Vietnam”, ujar analis energi terbarukan Fabby Tumiwa seperti dimuat di DW.

Para investor menilai, kualitas kebijakan dan peraturan di Vietnam lebih memberikan kepastian dan kejelasan dalam proses bisnis, serta dalam pengembalian keuntungan yang lebih baik daripada Indonesia.

KLIK INI:  Hukuman Berat Menanti WNA Vietnam yang Selundupkan Satwa Liar