Tiga Petani Asal Soppeng Gugat Menteri LHK Tuntut Ganti Rugi

oleh -183 kali dilihat
Tiga Petani Asal Soppeng Gugat Menteri LHK Tuntut Ganti Rugi
Suasana persidangan kasus 3 petani di Soppeng - Foto/Yadi
Azwar Radhif

Klikhijau.com – Tiga petani asal kabupaten Soppeng melakukan gugatan pra peradilan kepada menteri LHK, Siti Nurbaya atas penahanan yang diterima mereka selama 150 hari pada 2017 silam. Gugatan Pra Peradilan telah berjalan melalui persidangan di PN Soppeng sejak Januari lalu.

Sahidin, Jamadi dan Sukardi yang menetap di kawasan hutan Laposo Niniconang, Kabupaten Soppeng sebelumnya ditangkap oleh polisi kehutanan pada 22 Oktober 2017. Mereka dituduh merambah hutan dan melanggar UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Selama proses penahanan, ketiga petani ini mulanya di tahan di Rutan Makassar. Tak lama berselang, mereka kemudian dipindahkan ke Lapas Soppeng untuk menjalani proses penahanan selama 150 hari.

Pada 21 Maret 2018 lalu saat sidang putusan, Majelis hakim menjatuhkan putusan bebas kepada mereka dari segala tuntutan penuntut umum. Sejak itu, Sahidin, Jamadi dan Sukardi mulai mencium udara bebas diluar lapas setelah sebelumnya berbulan-bulan ditahan.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum mendakwa ketiga petani melalui UU P3H dengan tuduhan melakukan pengrusakan hutan. Majelis Hakim menolak dakwaan jaksa dan menganggap tindakan ketiga petani ini bukan yang dimaksud dalam UU ini, dimana mereka tak termasuk dalam pelanggaran menebang hutan secara terorganisasi dan untuk kepentingan komersil.

KLIK INI:  Menteri Siti: Kiprah Profesi Insinyur Indonesia harus Merespons Persaingan Global
Gugatan 3 petani

Selama proses penahanan, ketiga petani yang juga tulang punggung keluarga tak lagi bekerja,  sehingga berdampak bagi ekonomi keluarga mereka. Selain itu, dalam press release LBH Makassar, selama proses penahanan keluarga petani kecil ini juga terdampak secara psikis dan materiil.

“Penahanan yang dijalani oleh 3 Petani tersebut tidak semata masalah hukum. Namun, berdampak pada masalah ekonomi, pendidikan dan tekanan psikis hingga kerugian materil akibat penahanan selama 150 hari. Bahkan anak-anak dari 3 Petani ikut merasakan dampaknya, oleh kerena ketiganya merupakan tulang punggung keluarga sehingga kebutuhan biaya pendidikan ikut terhambat. Demikian pula yang dirasakan oleh istri dan keluarga lainnya,” jelas LBH.

Pada 29 Januari 2020 lalu, Sahidin, Jamadi dan Sukardi melakukan gugatan pra peradilan kepada Menteri LHK, Menteri Keuangan dan Kepala Kejaksaan Negeri Soppeng di Pengadilan Negeri Soppeng. Dalam gugatannya, ketiga petani mempermasalahkan  penahanan sepihak selama 150 hari sebelum putusan majelis hakim tak bersalah.

Ady Anugrah Pratama, pendamping hukum dari LBH Makassar menjelaskan, “Permohonan pra peradilan ini untuk meminta pertanggungjawaban atas penahanan yang dialami petani selama 150 hari (5 bulan), dalam bentuk ganti rugi atas kerugian yang dialami. Setelah putusan itu berkekuatan hukum tetap, 3 orang petani ini memohon ganti rugi,” tegas Ady.

KLIK INI:  Mahasiswa kirimi KLHK Surat Cinta Terkait Lingkungan

Dalam kasus ini, LBH berharap tuntutan ketiga petani ini dapat dikabulkan majelis hakim sebagai upaya penegakan keadilan kepada mereka. “Kami dari LBH berharap permohonan ini diterima dan petani mendapat ganti rugi selama ditahan,” lanjutnya.

Hingga hari ini, persidangan masih berlanjut, mengadirkan masing-masing perwakilan dari instansi yang diwakilkan oleh saksi ahli. LBH memperkirakan dalam waktu dekat persidangan telah selesai, “karena peradilan cepat, harus putus dalam 7 harii. Jadi mungkin tanggal 2 Maret sudah ada putusan hakim tunggal,” sambung pengacara LBH ini.

Gugagatan tidak berdasar?

Di lain Pihak, KLHK menganggap gugatan kompensasi yang dituntut ketiga petani kepada LHK tak berdasar, sebab membutuhkan prosedur hukum yang berlaku. KLHK yang diwakili oleh kuasa hukumnya juga menganggap putusan majelis hakim pada sidang 2018 silam itu bukan bermaksud bahwa ketiga petani ini tak bersalah. LHK tetap menganggap ketiga petani ini telah melakukan tindakan di kawasan hutan.

Marrinus Pasassung, kuasa hukum KLHK menjelaskan, “Apakah LHK akan ganti rugi atau minta maaf? Ini tidak berdasar karena harus melalui jalur hukum. Kalau yang mengatakan petani tidak bersalah, dimana yang mengatakan itu? Isi putusan mengatakan kalau perbuatan yang dilakukan petani itu ada dan terbukti. Menurut saya putusan itu tidak mengatakan kalau petani tidak bersalah,” tegasnya.

Meski begitu, pihak KLHK tetap menghormati jalannya persidangan dan menghargai putusan majelis hakim pada sidang putusan nantinya.

“Gugatan ini sah-sah saja karena siapapun di mata hukum adalah sama. Jadi tidak masalah penegakkan hukum yang kami lakukan karena memang jalurnya melalui pengadilan dan ini memang negara hukum. Bagaimanapun perkara ini masih berfulir dan putusan belum ada, karena putusan kani hormati bersama-sama,” Lanjut tim hukum sekaligus Kasubag Hukum LHK ini.

KLIK INI:  Kerusakan Hutan, Tumbuhan, dan Burung Langka di Sumba Barat Terancam Punah