Tak Maukah Kau Menciumiku Sekali Saja?

oleh -143 kali dilihat
Hujan yang Berhenti di Bibirmu
Ilustrasi/foto-http://www.bianchigiulia.com/
Nona Reni

 Kayu yang Lapuk di Mata Ayah

 

Aku tak tahu rahasia apa yang ayah sembunyikan rapat-rapat dari ibu
Ketika aku berusaha mencuri dengar
Suara dobrakan pintu lebih nyaring dari dengkuran ayah.

Sedang ayah, setelah ijab qabul, cintanya ke ibu sekedar sarana menyalurkan kelakiannya. Dia lebih memilih merawat puntung rokok dari pada mencari kayu bakar

Juga lebih sering mengasah keris ketimbang mengasah pisau dapur ibu

Aku ingat betul ketika rumah ibu berhenti dibangun. Tanpa plafon dan bata merahnya tak tertutup plaster. Lalu ibu merelakan cincin kawin di meja gadai dan melepas kudanya diambil percuma oleh lelaki berseragam teman ayah.

Malam berikutnya, lelaki berseragam itu tetap datang membawa ayah, sesuatu melingkari kedua pergelangan tangannya. Semacam besi putih entah apa namanya. Ia menculik ayah. Membawanya pergi entah kemana

Hitungan hari lelaki berseragam yang menculik ayah lebih sering bertandang ke ruang tamu ibu

Hitungan hari lelaki berseragam yang menculik ayah lebih sering bertandang ke ruang tamu ibu
Setiap kali ia menyentuh tangan ibu
Maka jarum pentul ibu akan menusuk jari-jemarinya. Setengah berteriak dia berkata, aku akan menjadikanmu janda!

Lama setelah peristiwa itu terjadi, ketika musim telah ranum oleh aroma buah melon, ibu mengajakku menemui ayah di rumah barunya.

Lama setelah peristiwa itu terjadi, ketika musim telah ranum oleh aroma buah melon, ibu mengajakku menemui ayah di rumah barunya.
Rumah ayah terlalu ramai. Banyak penghuni. Tapi tidak lebih bagus dari rumah tak selesai di bangun ibu

Kutatap ayah pelan-pelan menelisik apakah ia ayah yang dahulu pandai mengasah keris?
Tapi pertanyaan itu tak mampu terlontar ketika mata kecilku melihat mata ayah.

Kenapa kau harus ikut menebang pohon di hutan itu? Tanya ibu dengan suara yang terasa menikam jantung

Aku hanya ingin memberimu kayu bakar. Kayu itu ditanam nenekku lalu mereka mengambilnya sebagai hutan kawasan. Kau seharusnya tak berhak bertanya apa-apa.

Aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan selanjutnya. Mata ibu menajam seperti jarum pentul, sedang mata ayah, tak ubahnya kayu lapuk yang dimakan rayap.
Dan lagi-lagi, lelaki berseragam itu datang memisahkan ayah dan ibu.

KLIK INI:  Mereguk Kesadaran Lingkungan Melalui Puisi Kuntowijoyo

Tak Maukah Kau Menciumiku Sekali Saja?

 

Tak terasa waktu membawamu berjalan ke kotaku.  Namun aku tak punya banyak waktu untuk merayakan kedatanganmu.

Kotaku yang konon dipenuhi mitos akan hewan purba. Namun tak banyak yang tersisa selain lelawa dan kicauannya di pusat kota.

Kau selalu penasaran apakah makhluk seperti itu benar-benar dijaring oleh jalan-jalan kosong

Atau hewan-hewan itu berkelana pada kepedihan-kepedihannya masing-masing.

Lalu matamu beralih ke akasia alih-alih ke pohon asam, pohon itu akan mati cepat, dan memang benalu memeluknya seperti aku ingin selalu memelukmu namun gagal

Bumi telah mengetahui sejak lama barangkali. Bahwa kotaku sangat ramah pada burung-burung mungil, dan langkah kaki pengembara. Seperti ia mengetahui terkadang pohon-pohon harus ditebang demi menyulap gedung tua menjadi taman kota

Kau bergerak menyusuri keramik-keramik serupa batu alam
Menegadah ke atas membiaskan ketidakterbatasan kata yang kau miliki
Aku menjelma seseorang yang begitu lapar akan tawa yang minta dipanen di wajahmu

Aku ingin sekali menyusulmu, berusaha untuk menggapai tanganmu lalu puisi-puisi jatuh begitu saja meniadakan kau dan aku

Sungguh, aku ingin kau tetap tinggal dan melupa jalan pulang.

Kau ingat bukan?

Seorang Pablo Neruda pernah berkata; kekasih, begitu panjang jalan untuk tiba pada sebuah ciuman. Untuk menjadi mempelaimu.

Tak maukah kau menciumiku sekali saja?

Nn 22

KLIK INI:  Jati Belanda Ibu