Serunya Mengamati Burung dari Rumah Samar

oleh -233 kali dilihat
Serunya Mengamati Burung dari Rumah Samar
David dan Taufiq Ismail saat sesi pengamatan burung dari rumah Samar - Foto: Andi Malikul Saleh
Taufiq Ismail

Klikhijau.com – Resor Ranu Darungan sedang berbenah. Hutan yang berada di selatan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini menyuguhkan keindahan alam. Tak hanya terkenal dengan kemolekan anggreknya, potensi lain pun patut dilirik. Satu di antaranya adalah keriuhan burung liarnya. Seorang petugas resor membantu saya menyelaminya lebih dalam.

Siang itu, kami tiba di Dusun Darungan, Desa Pronojiwo, Kecamatan, Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Menyapa lebih dekat geliat Resor Ranu Darungan. Salah satu resor Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Resor adalah unit tata kelola kecil taman nasional. Saya bersama rombongan bertandang pada Kamis, 3 Maret 2022.

Saya bertemu dengan David Wahyu Winedar, Petugas Resor Ranu Darungan. Ketertarikan David, sapaan akrabnya, terhadap anggrek tak sebesar Toni Artaka dan kawan-kawan. Ia punya dunia sendiri. Meski begitu, David tetap setia mengantar kami berkeliling di taman anggrek seluas 2.800 meter persegi itu.

Saat hujan masih setia membasahi bumi, saya bercengkrama dengannya. Obrolan kami mengarah ke hobi David: mengamati burung. Memancing saya untuk tahu lebih banyak.

Bercengkrama dengannya, seolah bertemu kawan lama. Menurutnya, hobi mengamati burung tak banyak digeluti, termasuk petugas taman nasional sendiri, “Di sini, di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, hanya ada beberapa orang pengamat burung. Hanya ada empat orang, termasuk saya,” ungkap David.

KLIK INI:  Afo, Cengkih Tertua Dunia yang Hanya Tersisa 3 Pohon

Mengamati burung bukanlah perkara mudah. Selain butuh alat tersendiri, kesabaran pun menjadi kunci. Terutama yang suka fotografi. Kamera dengan spesifikasi khusus dibutuhkan. Setidaknya punya kamera berjenis power shoot. Jika pun memiliki kamera DSLR, lensa tele pun menjadi wajib.

“Berbeda dengan pengamat burung dari Eropa, cukup dengan binokuler. Satu lagi, buku identifikasi. Jadi mereka cukup mengamati tingkah laku burung di alam dan mengenali jenisnya. Itu sudah cukup. Begitulah pengamat burung sejati,” tambah David.

burung
Pelanduk bukit, burung penyuka semak – Foto: David Wahyu Winedar

Sedikit berbeda dengan pengamatan burung yang lagi tren saat ini. Rasanya tanpa foto, hampa. Apalagi dengan kehadiran media sosial. Menjadi ajang aktualisasi diri melalui hasil jepretan.

Hal yang wajar, apalagi memotret burung tidaklah semudah yang kita kira. Burung sangat sensitif akan kehadiran manusia di habitatnya. Bergerak sedikit saja seketika menghilang dari pandangan. Memang butuh perjuangan.

Seorang fotografer burung profesional biasanya akan mengincar burung tertentu. Ia rela mendatangi suatu spot pengamatan, mulai puluhan hingga ribuan kilometer. Waktu yang mereka butuhkan pun bervariasi. Terkadang harus menginap beberapa hari untuk memperoleh hasil yang maksimal. Belum lagi terkadang lokasi target berada di tengah belantara. Perjuangannya pun tambah sengit. Mengarungi medan yang tak semulus melenggang di pusat perbelanjaan.

KLIK INI:  Aufa, Buah Rotan dan Manfaat Menarik yang Dikandungnya

Menemukan burung di hutan selalu menjadi tantangan. Jaminan akan bertemu burung idaman terkadang tak bergaransi. Hanya saja melalui kemampuan pemadu lokal, persentasi kemungkinannya lebih besar. Maka kehadiran warga lokal yang mengetahui keberadaan burung-burung tertentu jadi penolong fotografer.

Dari merekalah informasi keberadaan burung di suatu wilayah tersiar. Mereka biasanya mengunggahnya di dinding Facebook. Saat ini, lebih bervariasi, dari Instagram, bahkan ada juga pemandu yang merambah hiruk-pikuk Youtube. Mempromosikan spot pengamatannya. Mengundang penyuka burung liar bertandang.

Begitu pun, Resor Ranu Darungan, juga bergeliat. Ciptakan spot pengamatan bagi mereka pehobi burung. “Saat ini, kami memiliki tiga spot pengamatan burung,” kata David.

David mengajak saya ke salah satu spot amatannya. Letaknya tak jauh dari Orchidarium Ranu Darungan, hanya sepelemparan batu.

Cukup berjalan sekitar lima puluh meter dari taman anggrek. Hanya butuh sedikit mendaki.

Hutan di sekitar orchidarium memang asri. Ranu Darungan juga begitu tenang, menghias. Ranu adalah danau dalam bahasa Jawa. Rombongan kami berkesempatan menikmati paduan hutan dan genangan air raksasa itu. Beberapa di antara kami juga berswafoto ria di tepi danau seluas 0,25 ha itu.

burung
Rumah samar, tampak dari belakang – Foto: Taufiq
KLIK INI:  Jaga Sumber Air, Laskar Hijau Datangkan Pohon Langsung dari Kenya

Saat tiba di spot pengamatan, David menyilahkan saya memasuki sebuah gubuk. “Kami mengistilahkannya ‘hide’, rumah kamuflase,” jelasnya.

Gubuk sederhana itu terbagi dua ruang, meski tak bersekat. Ruang pertama untuk bersantai. Hanya ada kursi panjang sederhana di sana. Ruang kedua adalah tempat pengamatan. Juga tersedia kursi seadanya dan sedikit celah. Celah berukuran 20×20 cm meter. Padanya juga tersedia sandaran mungil untuk kamera.

Saya langsung mengambil posisi mengamati. Menyadarkan kamera dan menunggu. David langsung beraksi. Memancing burung untuk datang. Ia merogoh kantongnya. Mengeluarkan gadget pujaannya. Tak lama kemudian telepon pintarnya mengeluarkan suara burung yang merdu.

Tak perlu menunggu waktu lama. Dua ekor burung berwarna coklat kemerahan bertandang. Dadanya lebih cerah. Paruh berwarna setengah hitam dan kaki coklat. “Yang coklat itu, namanya ‘pelanduk bukit’.” David memberitahu jenis burung yang saya amati.

Pemilik nama latin: Trichastoma pyrrogenys ini memang menyukai beraktivitas di semak ketimbang di atas pohon. Makanannya berupa serangga dan cacing tanah.

Tak lama kemudian seekor burung sikatan dada-merah, Ficedula dumetoria, juga datang bertandang.  Berwarna hitam dengan variasi warna putih. Dagu sampai dadanya berwarna jingga yang khas. Sementara perut dan tunggingnya berwarna putih. Saya mengamati seksama. Lompat ke sana dan kemari. Sesekali turun ke tanah. Perilakunya nampak mencari makan di batang pohon yang tumbang. Barangkali mencari belatung atau cacing tanah.

Kiacauannya yang aduhai juga menambahkan nikmat mencicipi sajian alam itu.

Saya terpukau. Tak menyangka secepat itu mereka menyapa. Saya memainkan kamera. Membidiknya. Sesekali saya mengganti mode video. Menikmati momen langka itu. Mereka tak terusik. Asalkan pengamat tidak berisik.

burung
Sikatan dada merah, burung pengicau belantara – Foto: David Wahyu Winedar
KLIK INI:  Melirik Nasib Beruang Kutub di Tangan Pemanasan Global

Saat kami mengamati burung dari rumah samar, cuaca masih mendung. “Andai pengamatan pagi dengan cuaca cerah maka burungnya lebih riuh. Bintang kami di sini, ada puyuh gonggong jawa (Arborophila javanica), berencet besar (Napothera macrodactyla), dan paok pancawarna (Hydrornys guajanus). Jika lagi beruntung tepus leher putih, Stachyris thoracica, juga akan menampakkan diri,” pungkas David mempromosikan spot pujaannya.

Jarak rumah samar dengan burung hanya berkisar sepuluh meteran. Tak lama kemudian kawan lain pun berdatangan ke gubuk. Tak mau ketinggalan merasakan sensasi mengamati burung layaknya profesional.

Bagi yang penasaran berkunjung ke Ranu Darungan, terkhusus pengamat burung, bisa ngepoin akun Instagram David: @divadgals2. Melihat jenis-jenis burung penghuni Ranu Darungan.

Sajian bird watching Resor Ranu Darungan siap menyapa penggemar burung liar. Mengamati burung dan menikmati syahdunya alam dalam satu kunjungan.

KLIK INI:  Mengenal Merbau, Kayu Khas Indonesia Berkelas Dunia yang Terancam Punah