Rumput Laut dari Tangan Ibu-ibu Pulau Sembilan

oleh -634 kali dilihat
Rumput Laut dari Tangan Ibu-ibu Pulau Sembilan
Aktivitas ibu-ibu di Pulau Sembilan - Foto/Ist
Azwar Radhif

Klikhijau.com – Rumput Laut menjadi komoditas ekspor utama untuk sektor kelautan dan perikanan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan tingginya permintaan dalam dan luar negeri untuk bahan baku khas pesisir laut ini.

Melimpahnya permintaan bahan baku rumput laut disebabkan banyaknya jenis komoditas industri yang menggunakan rumput laut sebagai bahan baku utamanya.

Pada 2019 lalu, Indonesia merajai pasar perdagangan global untuk komoditas rumput laut. Data dari FAO (Food and Agriculture Organization) mencatat, Indonesia menguasai sebesar 80% perdagangan global rumput laut untuk jenis Eucheuma cottoni.

Sementara itu, menurut pemaparan Kadis Kelautan dan Perikanan Sulsel, Sulkaf S Latief dikutip dari Bisnis.com menjelaskan bahwa Sulawesi Selatan menyumbang 30% dari total perdagangan rumput laut nasional.

Banyaknya ketersediaan rumput laut tak bisa dilepaskan dari usaha budidaya rumput laut yang biasanya dilakukan masyarakat pesisir. Di Sinjai, tepatnya Pulau Buhung Pitue, salah satu pulau dari 9 pulau di kecamatan Pulau Sembilan menjadi salah satu daerah penghasil rumput laut terbesar di Kabupaten Sinjai.

Melalui tangan puluhan ibu-ibu istri nelayan yang begitu lihai mengikat bibit rumput laut di sela-sela tali kapal, agar-agar kemasan yang berbahan rumput laut dihidangkan di meja keluarga di daerah lain.

KLIK INI:  Jamaluddin Abu Bahas Budaya “Akkammisi” di COP28 Dubai 2023

Dari sudut pinggiran pulau Buhung Pitue, terlihat puluhan ibu-ibu duduk melingkar, mengitari bibit rumput laut yang siap diikat. Aktivitas ini dilakukan mereka setiap harinya, dimulai sejak pagi hari hingga menjelang sore. Kegiatan mengikat rumput laut sebenarnya terlihat cukup sederhana.

Para ibu ini hanya perlu mengikat bibit rumput laut dengan cara memasukan batang bibit ke dalam lingkaran tali kapal sembari mengencangkan ikatannya. Karena alasan ini juga, sebagian besar ibu-ibu ini memilih bekerja sebagai pengikat bibit rumput laut, “karena pekerjaannya cukup mudah,“ ujar salah satu dari mereka.

Alasan lainnya menurut penuturan mereka, karena para ibu ini tak memiliki pekerjaan lain, terutama di rumah-rumah mereka. Sebab para suami mereka tengah berjuang di tengah laut lepas. Sebagian besar lelaki dewasa di pulau ini bekerja sebagai nelayan penangkap ikan tongkol atau disebut pa’tongkolo.

Aktivitas ini memakan waktu yang cukup lama. Para nelayan yang didominasi oleh sawi (pekerja kapal) akan mengabdikan dirinya di kapal milik punggawa sampai selesainya masa kerja. Salah seorang pria renta yang dulunya juga seorang sawi menjelaskan, “biasanya paling cepat 17 hari, kalau yang lama bisa 9 bulan di laut,” jelasnya.

Selain pekerjaan yang tak terlalu sulit, upah yang diterima para ibu ini dirasa cukup untuk dipakai makan sehari-harinya. Dalam pekerjaan mengikat rumput laut ini, upah dibayarkan dengan hitungan perkilonya.

KLIK INI:  Corona Ubah Perilaku Berkendara Warga Filipina Jadi Ramah Lingkungan

Setiap 1 kilo rumput laut yang mereka ikat akan diberi upah Rp. 3.500. Untuk satu harinya, sebagian besar ibu-ibu ini mampu mengikat 10 kilo rumput laut atau ditukar dengan upah Rp. 35.000. Upah mereka akan dibayar sekaligus jika telah mencapai nominal beberapa juta rupiah.

Salah seorang ibu menjelaskan, “uang ini untuk dipakai makan sehari-hari bersama anakku. Apalagi suamiku belum pulang selama beberapa bulan, jadi nelayan pattongkolo’ (penangkap ikan tongkol),” tuturnya.

Budidaya rumput laut

Rumput laut yang telah diikat tadi akan disimpan di pinggiran pulau dekat tempat jemuran rumput laut. Sebelum itu, untuk mengapungkan dan memberi penanda, tali rumput laut akan diselipkan botol plastik untuk memudahkan mengambil rumput laut ini.

Biasanya esok hari, nelayan dari pulau Kambuno akan singgah di tepi pulau untuk mengambil bibit-bibit ini, untuk selanjutnya di budidayakan di perairan dekat pulau mereka. Bibit rumput laut tadi akan disimpan di satu tempat kemudian dibiarkan membesar beberapa hari kedepan.

KLIK INI:  Forest Healing, Energi Menyembuhkan dari Belantara Hutan

Setelah dianggap telah layak panen, rumput laut ini kemudian akan dijemur di penjemuran selama beberapa hari hingga betul-betul kering. Salah satu penanda dari keringnya rumput laut adalah warnanya yang nampak mulai kuning kecoklatan.

Di pulau Buhung Pitue sendiri, ada beberapa tempat penjemuran yang berada di tepi laut. Biasanya anak-anak kecil pulau yang bertugas menjemur rumput laut ini.

Usaha budidaya rumput laut ini sebenarnya dimiliki oleh beberapa pengusaha kecil di pulau Kambuno, tetangga sebelah pulau Buhung Pitue. Pemilik usaha berperan menyiapkan bibit rumput laut sekaligus memasarkan rumput laut kering ke luar Pulau.

Daerah yang menjadi pasar utama penjualan rumput laut kering ini adalah Kota Makassar. Disana, menurut penuturan beberapa pekerja, rumput laut kering akan dibeli perusahaan dengan harga Rp. 10.000 perkilonya.

Rumput laut ini nantinya akan digunakan sebagai bahan baku utama produksi agar-agar kemasan. Meski begitu, beberapa ibu-ibu nampaknya asing dengan agar-agar, komoditas yang mungkin tak lahir tanpa kerja keras mereka.

KLIK INI:  Komitmen Utomodeck Group Menjawab Tantangan SDGs di Indonesia